Manchester City keluar sebagai juara Piala Capital One setelah menang dramatis lewat adu penalti melawan Liverpool. Laga yang berlangsung di Stadion Wembley, Minggu (28/2/2016) malam WIB tersebut harus diselesaikan lewat adu penalti, karena keduanya bermain imbang 1-1 pada waktu normal.
City berhasil unggul lebih dahulu melalui gol dari Fernandinho pada menit 49 babak kedua. Namun keunggulan tersebut berhasil digagalkan oleh Coutinho pada 7 menit jelang waktu normal usai. Pada saat extra time kedua kesebelasan gagal mencetak gol meski menghasilkan beberapa peluang berbahaya.
Pada saat adu penalti kiper Man City, Willy Caballero, berhasil menjadi pahlawan setelah menggagalkan tiga tendangan penalti Liverpool. Gelar ini adalah gelar keempat Piala Liga atau yang sekarang disebut Piala Capital One The Citizens. Terakhir kali mereka menjuarainya adalah pada musim 2013-2014.
Berikut beberapa catatan pertandingan tersebut:
Menjauh dari Sepertiga Akhir
Liverpool sebenarnya mencoba inisiatif serangan dari menit pertama, pasukan Juergen Klopp langsung menggempur pertahanan Man City. Namun gebrakan tersebut ternyata tak berlangsung lama, perlahan jalannya pertandingan justru dikuasai oleh The Citizens.
Kedua kesebelasan punya masalah yang hampir sama, yakni kesulitan memasuki sepertiga akhir lawan. Meski secara taktik permainan keduanya jauh berbeda. City lebih banyak mengandalkan Aguero sendirian di depan sedangkan Liverpool lambat perihal transisi serangan.
Bisa jadi baik Pellegrini maupun Klopp bermain sedikit berhati-hati mengingat ini adalah partai final. Akibatnya adalah tidak ada gol tercipta pada babak pertama. Total sebelum turun minum Liverpool melakukan 6 tembakan sedangkan Man City cuma 3. Hanya saja tidak ada tembakan tepat sasaran yang dilakukan The Reds, sedangkan lawannya berhasil mencetak 1 melalui peluang Aguero.
Garis Pertahanan Tinggi vs Transisi Lambat
Salah satu ciri khas permainan Pellegrini selama menjadi manajer Man City adalah pengusaan bola dan permainan cepat melalui umpan-umpan pendek. Salah satu konsekuensinya adalah dengan membuat garis pertahanan tinggi agar punya banyak opsi umpan. Begitu juga saat laga kali ini, empat bek mereka berusaha tidak turun terlalu dalam dan menjaga jarak dengan gelandang agar tetap rapat.
Millner dan Coutinho beberapa kali sampai harus terjebak offside karena hal tersebut. Situasi ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Juergen Klopp dengan memberi banyak ruang kepada Sturridge atau Firmino. Namun keduanya justru harus tertahan di tengah karena cara main Liverpool yang lambat dan terlalu kaku.
Ketika menguasai bola di sepertiga akhir, Liverpool lebih banyak menahan terlebih dahulu ketimbang langsung mendistribusikan ke kotak penalti. Hal ini karena sekali lagi, Sturridge dan Firmino terlalu pasif di tengah.
Kemenangan Lini Tengah Man City
Manuel Pellegrini menerapkan formasi dan susunan pemain di lini tengah yang sama ketika mengalahkan Dynamo Kyiv di ajang Liga Champions beberapa waktu lalu. Cederanya beberapa pemain inti yang menjadi penyebabnya.
Bukannya menempatkan Yaya Toure di belakang Aguero dan menggeser David Silva ke sayap. Pellegrini justru menduetkan Toure bersama Fernando sebagai poros ganda dan memberi tugas Silva sebagai pemain no 10. Sedangkan sayap kanan justru diisi oleh Fernandinho, pemain yang menghabiskan sebagian besar waktu bermainnya sebagai gelandang bertahan.
Pada babak pertama posisi Fernandinho sebenarnya merupakan titik lemah. Ia minim pergerakan di sisi sayap, begitu juga soal pertahanan. Posisinya kerap jebol oleh pergerakan Moreno dan Coutinho. Namun kesalahan tidak bisa dilimpahkan sepenuhnya kepada pemain asal Brasil tersebut.
Fernandinho sepertinya diberi tugas berlapis oleh Pellegrini untuk menjaga sayap dan tengah sekaligus. Ketika bertahan ia selalu sedikit ke tengah dan seolah Man City sedang menggunakan tiga gelandang bertahan sekaligus. Karena hal ini juga lini tengah mereka mampu meredam pergerakan Liverpool.
Henderson dkk seolah dipaksa untuk terus melakukan umpan silang dan banyak bermain secara diagonal. Fernandinho akhirnya juga mampu memberi kontribusi besar lewat golnya pada awal babak kedua.
Willy Caballero dan Eksekutor Aneh Liverpool
Pellegrini kembali memberi kepercayaan kepada kiper keduanya, Willy Caballero. Manajer asal Chile tersebut memang selalu memilih Caballero ketimbang Joe Hart di ajang Capital One. Sepertinya ia ingin memberi kesempatan anak asuhnya tersebut agar mendapat menit bermain yang cukup. Kepercayaan yang akhirnya berhasil dibalas tuntas dengan menjadi pahlawan saat adu penalti.
"Saya lebih baik kehilangan gelar (Capital One) ketimbang kata-kata saya. Banyak media yang menunggu untuk mengkritik saya jika Willy Caballero membuat kesalahan,"Â kata Pellegrini seusai pertandingan.
Penjaga gawang berusia 34 tahun asal Argentina tersebut berhasil menghentikan tiga tembakan pemain Liverpool. Meski pada tendangan pertama ia sempat âdipermalukanâ oleh Emre Can melalui tendangan panenka. Menghentikan tendangan penalti tiga kali secara berurutan merupakan catatan luar biasa untuk seorang penjaga gawang.
Caballero memang layak disebut pahlawan namun yang menjadi sorotan lain adalah pilihan eksekutor penalti Liverpool. Kecuali sepakan Emre Can, tiga eksekutor penalti lainnya yang gagal adalah Lucas, Coutinho, dan Lallana. Kapten (Henderson) dan wakil kapten (Millner) tidak diberi kesempatan untuk membuka keunggulan di awal sebagai eksekutor.
Selain dua pemain tadi, di skuat Liverpool juga masih ada penyerang yang seharusnya punya kemampuan baik sebagai eksekutor, yaitu Sturridge dan Origi. Pasca pertandingan Juergen Klopp mengatakan bahwa Sturridge tidak ia jadikan eksekutor karena mengalami cedera. Sedangkan untuk penendang kelima ia serahkan pada Millner, tidak ada kesempatan untuk Henderson yang notabene merupakan kapten tim.
Komentar