Silvia dan Sergio Cunningham duduk di ruang tamu sebuah bangunan di kawasan Paseo de la Castellana, Madrid. Keduanya duduk di hadapan meja kecil yang terbuat dari marmer dan terdapat tumpukan foto di atasnya. Foto-foto itu merupakan kenangan Laurie Cunningham, suami Silvia dan ayah Sergio, seperti posenya di samping Stadion Bernabeu.
Ya, Cunningham adalah seorang pesepakbola. Tapi sayangnya, ia meninggalkan dunianya itu lebih cepat. Bukan karena sengaja gantung sepatu, namun karena maut merenggutnya di tikungan La Coruna, kawasan Puetro Hierro Madrid, 15 Juli 1989. Saat itu Cunningham berusaha menghindari sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan karena bannya kempes. Tapi duar! Cunningham justru menabraknya dan ia merenggang nyawa dalam usia 33 tahun. Kematian yang dianggap terlalu muda.
Meninggalnya Cunningham meninggalkan duka yang mendalam. Bukan hanya bagi sepakbola Inggris, namun juga untuk sepakbola Spanyol dan negara-negara lainnya yang sempat menyaksikan aksinya pada 1980-an. Cunningham sendiri lahir di Archway, London. Ia memulai karir sepakbolanya di Leyton Orient pada 1974.
Cunningham menghayati karir sepakbolanya sebagai pemain sayap kiri. Jika dibandingkan dengan pemain saat ini, gaya permainannya dulu disebut-sebut mirip dengan Theo Walcott, winger Arsenal. Nama Cunningham mulai melejit ketika diasuh Ron Atkinson sewaktu memperkuat West Bromwich Albion. Cunningham bergabung dengan West Brom setelah tiga tahun bersama Leyton. Di West Brom-lah ia membentuk kerja sama yang mematikan bersama Cyrille Regis dan Brendon Batson. Trio itu dikenal sebagai The Three Degrees (Si Tiga Derajat).
Penampilan gemilangnya bersama West Brom menarik perhatian Ron Greenwod, Manajer Kesebelasan Negara Inggris saat itu, sehingga ia dipanggil Greenwod dan menjadi pemain kulit hitam kedua di Inggris setelah Viv Anderson. Tapi sebelumnya, Cunningham adalah pemain kulit hitam pertama Inggris U-21. Cunningham menjalani debutnya bersama Inggris menghadapi Wales.
Rekam jejaknya saat itu membuat Real Madrid tertarik merekrutnya hingga ia didatangkan dengan harga 950 ribu poundsterling. Jumlah tersebut terhitung besar pada zamannya. Cunningham pun menjadi pemain termahal Inggris setelah Kevin Keegan. Kepindahannya ke Madrid adalah awal dari terciptanya sejarah.
Dan sejarah itu menjadi nyata melalui foto yang dikenang Silvia dan Sergio di sebuah meja marmer. Foto-fotonya di Stadion Bernabeu adalah waktu ia diresmikan menjadi pemain Madrid. Cunningham memakai setelan rapi dengan jas bewarna abu-abu, dasi tebal, sepatu warna putih yang berkilau dan tentu saja, senyuman yang sumringah, "Dia harus menjadi penyerang terbaik di dunia mengingat berapa banyak Madrid membayar untuknya," ujar Alfredo Di Stefano saat itu.
Cunningham pun menjawab wanti-wanti dari Di Stefano. Ia mencetak dua gol pada laga debutnya dan memenangi dua gelar pada musim perdananya. Saat itu Cunningham berhasil meraih La Liga dan Copa del Rey 1979/1980. Bahkan dari semua legenda-legenda Madrid, ia pemain pertama yang meninggalkan Stadion Camp Nou dengan tepuk tangan para rivalnya, suporter Barcelona. Seisi Stadion Camp Nou berdiri dan bertepuk tangan untuknya, walau Barca dikalahkan oleh Madrid dengan skor 2-0. Atas aksi-aksi Cunningham saat itu, koran AS membuat berita hari itu berjudul "Orang yang Berlari Merusuhkan Camp Nou". Judul itu merupakan kalimat yang diucapkan para suporter Barca saat melihat aksinya.
Hal itu yang membuatnya kembali dipanggil Inggris untuk mengikuti Euro 1980. Kegemilangannya bersama Madrid tidak membuatnya lupa kepada Atkinson yang membesarkan namanya. Cunningham pun menyanggupi keinginan Atkinson, yaitu bergabung dengannya yang saat itu membesut Manchester United. Pada April 1983, Cunningham pindah ke United dengan status pinjaman. Cunningham pun menjadi pemain pertama yang pindah dari Madrid ke United.
Cunninham tidak melegenda dengan Leyton, West Bromwich dan Madrid saja, namun ia juga pernah menjadi bagian dari klub lain. Sepanjang 15 tahun karirnya, ia bermain untuk sepuluh kesebelasan di empat negara berbeda di Inggris, Spanyol, Prancis dan Belgia. Cunningham pernah mencicipi Prancis dengan memperkuat Olympique Marseille. Sementara di Belgia, ia memperkuat Charleroi.
Memang waktu Cunningham bersama sebuah kesebelasan jarang terlalu lama. Kendati demikian, ia adalah pemain yang mencetak berbagai sejarah di sepakbola Eropa. Maka, bukan tanpa alasan suporter Rayo Vallecano membentangkan spanduk besar tentangnya ketika melawan Eibar pada akhir pekan lalu. Spanduk besar itu menggambarkan Cunningham bersama Hugo Maradona. Keduanya memperkuat Vallecano pada 1988 sampai 1989. Spanduk itu dibuat sebagai peringatan hari kelahirannya yang jatuh pada 8 Maret lalu.
Khusus bagi Cunningham, ia dua kali memperkuat Vallecano. Cunningham pertama kali memperkuat Vallecano pada 1986, sebelum ia pindah ke Charleroi dan Wimbeldon. Kemudian ia kembali ke Vallecano pada 1988 dan meninggal berstatus sebagai pemain klub itu pada akhir musim. Cunningham adalah legenda bagi sepakbola Eropa. Namanya harum di tanah matador. Patungnya pun kokoh berdiri di dekat Finsbury Park, kawasan rumahnya sewaktu tumbuh bersama Leyton.
Sumber lain: Daily Mail, ESPN FC.
(pik)
Komentar