oleh Pangeran Siahaan
Siang hari di pusat kota Berlin, tak jauh dari Alexanderplatz, ratusan polisi Jerman bersiaga dengan seragam anti huru-hara. Mobil-mobil polisi diparkir sedemikian rupa di dekat stasiun metro, hampir menyerupai blokade. Hackescher Markt, pusat konsentrasi polisi kala itu, jaraknya jauh dari Stadium Olympia, tempat Jerman berlaga melawan Inggris malam harinya. Satu-satunya alasan mengapa aparat keamanan bersiaga satu di tempat itu adalah karena para suporter tandang Inggris yang menyerbu Berlin menjadikan sebuah pub Irlandia di stasiun itu sebagai tempat bersenang-senang sebelum bergerak menuju stadion.
Pertandingan baru akan berlangsung pukul 20.45, tapi sedari siang ribuan putra-putri Ingerland sudah mabuk bir dan bernyanyi-nyanyi dengan lantang di bawah tatapan heran setengah kagum dari warga lokal yang lalu lalang. Bendera-bendera St. George terbentang di mana-mana, lengkap dengan identitas asal sang pemilik klub. Ada yang dari Blackpool, Sunderland, Wigan, Rotherham, hingga Hull.
Selain Chelsea, bendera dari suporter klub-klub kuat tradisional era Premier League tak terlihat. Bukan rahasia lagi, fans klub-klub besar enggan mendukung timnas Inggris. Anda akan jarang sekali melihat bendera St George dengan tulisan âMUFCâ, misalnya. Bagi mereka, klub lebih penting dari tim nasional. Dengan alasan yang serupa pula mengapa fans-fans klub semenjana, terlebih dari divisi rendah, antusias sekali ikut bertandang bersama timnas Inggris. Bagi mereka, Three Lions adalah satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk melancong ke Eropa daratan atas nama sepakbola.
Ironi adalah salah satu karakter Britania yang kental dan kenyataan bahwa para fans Inggris ini memilih berkumpul di pub Irlandia adalah ironi terbesar. Kekonyolan ini lebih menjadi ketika mereka bernyanyi âNo surrender to the IRAâ dan âF*ck the IRAâ di depan pub bernama Kilkenny. Entah apa perasaan sang pemilik bar. Mungkin ia punya tumpukan uang hasil penjualan bir yang melimpah hari itu untuk menyumbat telinganya dan pura-pura tidak mendengar.
Ini memang bagian paling kentara dari kultur away suporter timnas Inggris. Berhubung timnasnya miskin prestasi dan tak punya apa-apa untuk dibanggakan, maka yang selalu masuk repertoire lagu wajib mereka adalah lagu-lagu dengan referensi tentang perang atau kejayaan masa lalu.
Sudah banyak yang memprotes soal hal ini karena perang adalah sebuah bencana kemanusiaan yang tak terelakkan dan merujuk kepadanya adalah sebuah tindakan yang tidak hanya insensitif, namun juga politically incorrect.
Namun fans sepakbola memang tidak peduli dengan political correctness. Maka lagu-lagu seperti âHave you ever seen the Germans win the war?â atau lagu provokatif yang sejatinya adalah lagu propaganda era Perang Dunia, âTen German Bombersâ, tak mungkin tidak dinyanyikan oleh para fans tandang ini, terlebih dalam pertandingan yang berlangsung di Berlin.
Sama seperti Kerajaan Inggris yang melebarkan kekuasaan ke semua penjuru dunia, fans tandang Inggris selalu memiliki mentalitas ekspansi teritorial. Inilah mengapa ke mana pun mereka bepergian untuk menonton tim nasional, fans Inggris akan menyerbu pusat kota dan menggantung St Georgeâs Cross di semua sudut yang bisa mereka temui. Seperti anjing yang mengencingi tanah untuk menandai teritorinya, fans Inggris pun gemar âmengencingiâ tempat mereka bertandang. Sesungguhnya ini adalah pujian.
Mentalitas ekspansional ini tidak melulu milik fans sepakbola Inggris semata. Di semua tempat liburan terkemuka di bumi ini, pelancong Inggris memiliki reputasi urakan dan tukang berisik. Hal ini tidak serta merta berarti bahwa mereka melakukan kejahatan, tapi ketika segerombol orang Inggris berkerumun di tanah asing ditemani alkohol, maka mereka akan bersenang-senang dengan gegap gempita.
Fans Inggris mungkin fans sepakbola yang paling sering menyanyikan lagu kebangsaannya sendiri, entah sebelum pertandingan atau ketika laga berlangsung. Setiap interval tertentu, mereka akan mengumandangkan God Save The Queen seolah-olah itu adalah lagu pop termutakhir.
Sepakbola memang selalu menjadi lahan subur bagi jingoisme nasionalistik dan lagu-lagu fans Inggris membuktikan hal tersebut. Maka merupakan sebuah hal yang segar ketika mereka menyanyikan lagu-lagu yang tak ada hubungannya dengan adu besar-besaran buah pelir.
âDont Take Me Homeâ telah menjadi mars tidak resmi dari fans Inggris dalam setahun terakhir. Lirik seperti âI dont wanna go to work. I just wanna stay here, drinking all the beerâ adalah gambaran sempurna dari sepakbola sebagai eskapisme bagi para suporternya. Bagi para away fans, menyeberangi laut mendukung tim nasional lebih dari sekadar upaya untuk menonton sepakbola. Ini adalah upaya pelarian dari realita kehidupan.
">March 26, 2016Trying to blend it with the England away fans by.......munching donuts
https://twitter.com/fCfAyyiHhF
â Pangeran (@pangeransiahaan) https://twitter.com/pangeransiahaan/status/713751919139930116
Satu-satunya pemain yang namanya dinyanyikan oleh fans Inggris hanyalah Jamie Vardy. Entah mengapa, tapi besar kemungkinan ada faktor kedekatan emosional yang dirasakan oleh para fans terhadap Vardy. Ya, hampir semua pesepakbola berasal dari kelas pekerja, sama seperti mayoritas fans tandang ini. Tapi ketika para pesepakbola lain telah ditemukan bakatnya ketika remaja dan mendapatkan privilese tersendiri, kita semua tahu pergelutan Vardy dengan hidup dan karirnya. Para fans ini lebih mampu mengidentifikasi diri mereka dengan Vardy, sang pahlawan kelas pekerja.
Ketika tiba saatnya bergerak menuju ke stadion, polisi mengisolasi konsentrasi massa pendukung Inggris yang akan menumpang kereta. Aparat membentuk formasi yang pada dasarnya mengelilingi seluruh suporter Inggris dari berbagai sisi demi alasan keamanan. Inilah mengapa perjalanan suporter tandang yang dikawal polisi tidak selalu berarti bahwa suporter tersebut cemen. Dalam konteks partai di Berlin ini, polisi tidak hanya melindungi suporter Inggris dari ancaman eksternal, tapi juga mencegah suporter Inggris dari kemungkinan berbuat onar di kota orang.
***
Mudah memang untuk menganggap bahwa Jerman tidak serius dalam pertandingan di mana mereka kalah 2-3. Tapi ketika peluit akhir berbunyi, cemoohan bergema di Stadion Olympia. Orang Jerman tidak suka kalah, apalagi kalah dari Inggris. Berani-beraninya tim overhyped dan overrated seperti Inggris mempermalukan juara dunia di kandang sendiri.
Tribun tandang Inggris, yang sudah meledak dengan euforia ketika anak kampung seperti Jamie Vardy mengelabui kiper terbaik dunia dengan backflick, menggelegar dengan lebih lagi ketika Eric Dier mencetak gol kemenangan di injury time. Hasil ini meneruskan catatan historis yang diam-diam mengejutkan: Inggris tak pernah kalah dari Jerman di Berlin.
Beberapa penonton lokal di kiri-kanan saya menggeleng kepala melihat skor akhir. Tak mungkin tim mereka yang juara dunia itu bermain seburuk itu. Kalah setelah unggul 2-0 duluan adalah sesuatu yang sama sekali tidak Jerman. Meskipun dalam lubuk hati mereka pun tahu bahwa Jerman tak akan bermain seburuk itu saat turnamen sesungguhnya bergulir Juni nanti.
Ada kecurigaan bahwa setelah jadi juara dunia, sulit untuk menjaga rasa haus prestasi bagi para pemain Jerman. Namun kita juga tahu bahwa Jerman baru akan âseriusâ dalam pertandingan yang ada pialanya. Bukan tanpa alasan mereka dikenal sebagai spesialis turnamen.
Jika ada yang patut dicemaskan, tentulah itu mengenai performa timnas Inggris sendiri. Harry Kane, Dele Alli, Jamie Vardy bermain luar biasa. Untuk pertama kalinya dalam jangka waktu yang lama, Inggris terlihat seperti tim yang bisa bermain sepakbola. Tapi jangan pernah ragukan kemampuan Inggris untuk mengecewakan harapan para suporternya. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa Inggris yang sama yang akan muncul saat Euro nanti, dan bukan Inggris-nya Wayne Rooney yang bermain seperti kumpulan pemain berintelektual terbatas.
Namun fans tandang Inggris tidak peduli. Menang di Berlin adalah sesuatu yang patut disombongkan. Jika saya saja, yang tak lebih dari sekadar pelancong kasual Anglophile, melangkah di jalanan Berlin dengan pongahnya berbalut baju Jamie Vardy, tak bisa dibayangkan perasaan orang Inggris sungguhan.
Bisa jadi mereka mengira sudah jadi juara dunia.
Komentar