Cerita-cerita tentang manajer asal Inggris yang sukses di luar negeri memang tidak terlalu banyak. Beberapa waktu ke belakang, Gary Neville dipecat Valencia karena dianggap gagal mengangkat Los Che dari papan bawah klasemen La Liga. Gary hanya bertahan beberapa bulan saja di Spanyol dan tidak lama kemudian dipecat karena tidak kunjung mendapatkan hasil yang memuaskan.
Tapi, ada beberapa manajer Inggris yang sukses di luar negeri. Ada nama Jesse Carver yang terkenal di Italia setelah mengantarkan Juventus meraih scudetto pada musim 1949/1950 yang mengakhiri puasa gelar Juve sejak 1935. Carver memang sempat pulang ke Inggris setelah dipecat Juve. Namun, ia kembali melanjutkan perjalanannya di Italia bersama Inter Milan, Genoa, AS Roma, Torino, dan Lazio. Di kesebelasan-kesebelasan tersebut, ia berhasil mengantarkan mereka meraih berbagai gelar juara seperti scudetto, Coppa Italia, hingga beberapa kejuaraan Eropa.
Setelah era Carver berlalu, ada nama Steve McLaren yang berhasil mengantarkan FC Twente juara Eredivisie musim 2009/2010. Ada juga nama Roy Hodgson yang bersinar setelah berhasil menangani timnas Swiss dan membawa Swiss ke babak 16 besar Piala Dunia 1994. Ia juga membawa Finlandia di tahun 2006 sampai 2007 setelah mengantarkan Finlandia meraih peringkat ke-33 FIFA. Ada juga Sir Bryan Robson yang sukses menangani PSV, Porto, dan Barcelona. Ada juga nama Bob Houghton yang mengantarkan Malmo FF juara Allsvenkans 3 kali dan juara Swedish Cup 4 kali, dan nama William Garbutt sebagai pionir manajer Inggris yang melatih di luar negeri.
Hanya saja, setelah era McLaren yang paling terakhir, jarang kita melihat manajer Inggris yang kiprahnya diakui dan bersinar di luar negeri. Manajer-manajer Inggris yang mencoba peruntungannya di luar negeri jarang meraih hasil yang sukses. Paling banter mereka hanya beberapa bulan saja mampu bertahan.
Tapi, di Swedia sana, ada satu manajer yang berhasil meneruskan tongkat kesuksesan manajer Inggris yang melatih di luar negeri dengan melakukan sesuatu yang dianggap tidak mungkin oleh kebanyakan orang. Jauh di daerah utara Swedia, tepatnya di daerah Vinterstaden, atau dalam bahasa Inggrisnya bernama Winter City. Seorang manajer asal Inggris berhasil memberikan sebuah harapan bagi warga sekitar untuk melihat tim mereka berlaga di Allsvenkans, kompetisi level teratas Swedia.
Ia adalah Graham Potter. Manajer asal Inggris yang menghabiskan karier sepakbolanya di Birmingham, Stoke City, West Brom, York and Maccesfield, dan Southampton, ini berhasil melakukan apa yang menurut warga Vinterstaden tak bisa ia lakukan; mengantarkan Ostersund F.K., klub lokal dari Vinterstaden dari kompetisi level keempat Swedia naik sampai ke Allsvenkans, kompetisi level teratas Swedia. Saat pertama kali datang ke Vinterstaden pada 2011 lalu, banyak orang menyangkanya sebagai turis dan bukan sebagai manajer sepakbola.
"Ketika saya bersama istri pertama kali datang ke sini sekitar lima tahun yang lalu, mereka menganggap saya sebagai seorang turis yang sedang berjalan-jalan. Mereka menyambut saya dan istri saya dengan ramah. Lalu, ketika saya katakan kepada orang-orang maksud dan tujuan saya datang ke sini, mereka bilang bahwa apa yang akan saya lakukan itu sia-sia dan tidak berguna," kenang Potter seperti dilansir The Guardian.
Meski dianggap sebagai sesuatu yang sia-sia, Potter tidak menyerah begitu saja. Mulai bekerja sejak 2011, pada musim berikutnya, tepatnya musim 2012, Potter berhasil mengangkat Ostersund dari divisi tiga ke divisi dua Liga Swedia. Musim selanjutnya, tepatnya di musim 2013, ia sukses mengantarkan Ostersund naik dari divisi 2 ke Superretan, level kompetisi yang berada satu tingkat di bawah Allsvenkans.
Hanya saja, di Superretan ini Ostersund harus menunggu selama dua musim untuk naik ke Allsvenkans. Musim 2013, Ostersund berada di peringkat ke-10 Superretan sehingga gagal naik ke Allsvenkans. Musim selanjutnya Ostersund hanya berada di peringkat kelima. Baru pada musim 2015, Ostersund berhasil naik ke Allsvenkans setelah menduduki peringkat kedua Superretan.
Begitu cepatnya Ostersund F.K. menapaki level kompetisi Liga Swedia, dari level keempat sampai level utama, adalah berkat dari kejeniusan Graham Potter. Manajer yang juga menyelesaikan studi sport science nya di Open University dan juga meraih gelar MA di Leeds Metrpolitan University jurusan leadership and emotional intelligence ini mengungkapkan bahwa kesuksesannya di Swedia merupakan hasil dari keberaniannya menentang batas-batas "norma budaya" dan formula kepelatihan Inggris yang ia anggap membosankan.
"Tanpa pengalaman kuliah yang saya miliki, saya tak yakin akan sanggup menjalankan peran sebagai manajer ini. Ilmu yang saya dapat mengajarkan sebuah pendekatan holistik yang baik sekaligus mempersiapkan diri saya sendiri untuk bekerja di luar negeri, di sebuah tempat dimana keyakinan budaya saya ditentang, dan mungkin, pada akhirnya akan berubah dengan sendirinya," ujar Potter.
Potter juga sangat percaya dengan kekuatan skuad yang ia miliki. Bermodalkan pemain-pemain dari berbagai negara seperti Ghana, Nigeria, Inggris, Meksiko, Swedia, Korea Selatan, Bosnia, Spanyol, Komoro, dan Amerika Serikat, ia siap mengarungi kompetisi Allsvenkans yang akan dimulai pada bulan April ini.
"Saya akan mencoba mengembangkan pemain saya supaya menjadi orang yang berpikiran terbuka dan saya juga ingin mengajarkan mereka supaya mau keluar dari zona nyaman mereka sekaligus mengajarkan mereka untuk percaya kepada teman satu tim," ungkapnya.
Dengan mulai naiknya Ostersund F.K. ke Allsvenkans, Vinterstaden yang mulanya hanya dikenal sebagai kota penghasil atlet ski - karena banyak sekali bukit bersalju di sana yang bisa digunakan untuk berlatih - sekarang perlahan sudah menjadi kota yang menggandrungi sepakbola. Anak-anak mulai masuk klub sepakbola lokal di daerah mereka dan mulai berlarian menendang bola. Sebuah pengaruh yang luar biasa yang diberikan oleh Potter.
Selain itu, Potter juga membuat masyarakat makin aktif menonton sepakbola. Di awal kedatangannya, pertandingan Ostersund di divisi 2 Liga Swedia hanya ditonton sekitar 500 orang. Sekarang, pertandingan Ostersund yang biasa digelar di Jamtkraft Arena bisa sampai dihadiri oleh 6.500 orang. Bahkan, dalam persiapan mengarungi Allsvenkans, Ostersund sampai pindah ke stadion baru yang baru dibangun pemerintah yang berkapasitas 10.000 orang.
Sungguh luar biasa efek yang diberikan oleh Graham Potter ini. Potter, yang mencoba untuk menantang batas dirinya sendiri, akhirnya mampu untuk menghadirkan sebuah prestasi sekaligus gairah sepakbola bagi masyarakat Vinterstaden. Jika melihat apa yang sudah ia lakukan di Vinterstaden, maka bisa disebut bahwa Graham Potter adalah manajer Inggris yang sukses di negeri orang.
(sf)
foto: guardian.co.uk
ed:Â fva
Komentar