Dewasa ini, mungkin ada dua hal yang tak terpisahkan antara suporter sepakbola dan lagu. Suporter Bayern München khas dengan nyanyian Seven Nation Army saat mencetak gol, dan suporter Manchester City dengan teriakan "boo" (baca: cemoohan) saat diputarnya anthem Liga Champions.
Suporter kesebelasan berjuluk The Citizens tersebut kembali menyoraki anthem Liga Champions sebelum laga leg kedua melawan Paris Saint-Germain (13/4) di Stadion Etihad. Bahkan sang manajer, Manuel Pellegrini, berseloroh jika "atmosfer" yang kini identik dengan Manchester City itu membawa keberuntungan buat timnya.
“Itu tergantung. Jika Anda percaya takhayul maka kami akan terus menang jika mereka [suporter] mencemooh anthem,” ujarnya sebelum laga kontra PSG. Apa yang diucapkan Pellegrini kemudian terbukti. Man City menang 1-0 atas PSG dan berhak melaju ke babak semifinal.
Sebelumnya, penggemar Manchester City kerap menyoraki anthem kompetisi terelit di benua biru tersebut. Saat itu, penggemar Manchester City mendapat pembelaan dari Pellegrini. Menurutnya, fans bebas mengekspresikan apa yang mereka rasakan, walaupun itu berupa aksi ketidaksukaan mereka akan keputusan UEFA. Karena siulan itu pula, Manchester City mendapat teguran atas aksinya pada laga kontra Sevilla di babak penyisihan grup Liga Champions 2015/2016.
“Saya pikir semua orang berhak untuk menyoraki dan protes. Penting untuk bagaimana mereka melakukannya. Tapi jika mereka pikir ada sesuatu yang salah, saya pikir semua orang berhak untuk mengatakan apa yang mereka mau,” ujarnya pada November silam seperti dikutip Skysports.
Saat itu, kapten Manchester City, Vincent Kompany juga sependapat dengan apa yang dikatakan sang bos. Menurutnya, UEFA sebaiknya menyoroti hal-hal yang lebih penting, seperti aksi rasisme yang masih marak terjadi.
“Tidak ada yang sakral tentang anthem Liga Champions. Kami bermain beberapa laga di [kompetisi] Eropa di mana masih terdapat pelecehan rasial. Kita harus melawan hal tersebut,” ujarnya kala itu.
Apa yang dikatakan oleh Kompany mengenai kesakralan, memang benar adanya. Tidak ada yang sakral di dalam anthem tersebut. Sebab, anthem tersebut memang diciptakan khusus untuk pencitraan Liga Champions sebagai kompetisi para juara.
Anthem Liga Champions Eropa merupakan lagu bergenre klasik gubahan musisi Inggris, Tonny Bitten, pada tahun 1992, tahun tepat dimulainya gelaran Liga Champions yang sebelumnya bernama Piala Eropa atau Piala Champions.
Lagu ini merupakan lagu yang komposisinya mirip lagu ciptaan dari George Frederic Händel yang berjudul "Zadok The Priest". Lagu ini pertama kali dipakai saat pengangkatan raja George II pada 1727. Hingga sekarang, lagu ini selalu dimainkan saat penobatan pemimpin Britania Raya.
Hubungan antara suporter klub yang dulunya bermarkas di Maine Road tersebut memang tidak harmonis. Salah satunya disebabkan oleh ketidaktegasan UEFA terhadap aksi rasialisme yang kerap didapatkan oleh pemain Man City kala berlaga di Kompetisi Eropa. Bukannya mendapat keadilan, suporter The Sky Blues harus juga mendapat imbas kerugian.
Saat itu, fans Manchester City harus kecewa lantaran laga kontra CSKA Moskow Liga Champions pada musim 2014/15 lalu tidak boleh dihadiri oleh kedua pihak pendukung. Hukuman tersebut diberikan UEFA atas aksi pelecehan rasial yang dilakukan oleh para pendukung CSKA. Pendukung setia The Citizens kecewa mengapa mereka tidak bisa mendampingi timnya bertanding, padahal aksi tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Tiket pertandingan dan biaya perjalanan mereka sudah keluarkan harus dibuang percuma.
Ajaibnya, laga tersebut bisa disaksikan sekitar 650 pendukung CSKA Moscow yang notabene mendapat hukuman.
Banyak dugaan yang menyebutkan bahwa aksi pendukung Manchesester City tersebut sebagai juga bentuk protes terhadap kebijakan Financial Fair Play (FFP) pada 2013 lalu yang dianggap pendukung Manchester biru sebagai langkah menjegal klub kebanggannya. Klub yang dimiliki taipan Uni Emirat Arab, Syeikh Mansour , tersebut dijatuhi denda 50 juta poundsterling.
Sebelum masalah itu sudah terjadi hubungan kurang baik antara Manchester City dengan UEFA. Ketidakpuasan atas sanksi yang dijatuhkan UEFA menjadi pangkal persoalan.
Kala itu Manchester City berlaga di Europa League musim 2012. Striker mereka saat itu, Mario Balotelli, mendapat perlakuan tidak menyenangkan di dalam stadion dari sekelompok pendukung FC Porto. Saat itu pendukung Manchester City kecewa karena UEFA hanya menjatuhkan saksi 20 ribu poundsterling saja, tanpa mendapat hukuman yang lebih tegas.
Beberapa pekan setelahnya, Manchester City merasa mendapat "lelucon" dari UEFA akibat permasalahan terlambat masuk ke stadion. Saat itu laga Manchester City kontra Sporting Lisbon yang harusnya memulai babak kedua, ditunda sesaat akibat pemain The Citizens yang terlambat sekitar 60 detik. Akibatnya, saat itu Man City dihukum denda 30 ribu poundsterling atau sekitar 561 juta rupiah.
Ternyata, bukan hanya Manchester City yang memiliki masalah serupa dengan UEFA terkait anthem tersebut. Bayern München pernah melakukan aksi serupa, yakni dengan membalikkan badan mereka saat lagu tersebut diputar sebelum laga dimulai di Moskow. Aksi tersebut sebagai buntut atas perlakuan rasis pendukung CSKA Moscow di pertemuan sebelumnya. Namun aksi ini tidak sampai mendapat teguran dari UEFA.
Selain Bayern, laga leg pertama Barcelona kontra Atletico Madrid juga menghadirkan cerita yang sama. Pendukung Barcelona menyiuli anthem Liga Champions sebagai bentuk protes mereka atas dijatuhkannya sanksi atas ditunjukkannya bendera pro-kemerdekaan Katalan pada final Liga Champions 2015 di Berlin.
Sebenarnya ada yang lebih kompleks daripada sekadar "menyoraki" sebuah lagu resmi dari sebuah kompetisi. Lagu berjudul “Champions League” tersebut dianggap sebagai simbol ajang yang rutin digelar tiap tahunnya. Mungkin UEFA berpikiran, dengan menyoraki anthem, maka mereka, para suporter, menyoraki apa yang dilakukan oleh UEFA selama ini.
Bisa dikatakan bahwa aksi menyoraki atau mencemooh anthem UEFA Champions League dewasa ini adalah bentuk protes baru dari pendukung sepakbola Eropa atas ketidakadilan yang diberikan organisasi tersebut terhadap klub kesayangan mereka. Jangan heran, bila banyak pendukung yang merasa dirugikan oleh UEFA, maka aksi cemoohan terhadap anthem Liga Champions akan menjadi tren anyar di kemudian hari.
Lagipula, jika tidak mau dicemooh, bukannya harus mengevaluasi diri ya, UEFA?
foto: mirror, telegraph
[tr]
ed: fva
Komentar