Marco Fabian, pemain yang juga pernah menjadi bagian dari timnas U-23 Meksiko yang menjuarai Olimpiade 2012 London, sedang dilanda kegundahan. Tepat pada Januari 2016 lalu, ia hijrah dari klub Meksiko, Chivas Guadalajara, menuju klub Bundesliga, Eintracht Frankfurt. Keputusannya ini semata-mata diambil bukan tanpa pertimbangan matang sebelumnya.
Fabian pindah ke Frankfurt agar karier sepakbolanya bisa menjadi lebih baik. Dengan berkarier di Eropa, ia ingin mengasah kemampuannya sebagai pesepakbola agar menjadi lebih baik lagi, mengingat ia juga dikenal sebagai pemuda yang memiliki bakat saat masih berseragam Guadalajara. Dengan kemampuan yang meningkat, pada akhirnya, ia akan mendapatkan satu hal yang kerap kali diidam-idamkan oleh para pesepakbola; panggilan rutin dari tim nasional. Sesuatu itulah yang belum didapatkan oleh Fabian meski ia sempat berseragam timnas U-23.
Hanya saja, kehidupan Fabian di Jerman tidak semudah yang dikira. Ia harus menghadapi banyak hal di negara yang juga dikenal sebagai jantung Eropa ini. Mulai dari waktu bermain yang kurang, hanya 10 kali penampilan dengan cetakan tiga assist sejak Januari 2016, masalah timnya yang terancam degradasi musim ini, sampai akhirnya masalah baru muncul saat ayahnya, Marco Fabian Sr., mengkritik pelatihnya saat ini, Niko Kovac, yang jarang memainkannya.
“Mungkin karena Meksiko mengalahkan Kroasia di ajang Piala Dunia 2014, ia (Niko Kovac) menjadi sentimen kepada Marco (Fabian). Saya tidak melihat alasan lain kenapa Marco (Fabian) jarang dimainkan selain alasan itu,” ujar ayahnya.
Semua itu menjadi beban tersendiri bagi Fabian. Penampilannya di lapangan menjadi tidak moncer se-moncer saat ia masih di Guadalajara, meskipun saat masa kepelatihan Jose Manuel de la Torres di Guadalajara ia juga seringkali menghuni bangku cadangan. Dalam pertandingan pertama Kovac menangani Frankfurt, ia sempat diberikan kepercayaan untuk tampil selama 54 menit dalam pertandingan melawan Borussia Monchengladbach yang berkedudukan akhir 3-0 untuk kemenangan Monchengladbach.
Tapi, setelah itu, ia menjadi semakin jarang diikutsertakan dalam skuat Frankfurt. Sepertinya, hal itulah yang membuat ayahnya mengeluarkan komentar pedas seperti itu, meski sebenarnya mungkin saja Fabian memang bermain buruk sehingga tidak mendapatkan kesempatan main dalam beberapa pertandingan Frankfurt. Keadaan pun semakin memburuk bagi seorang Fabian di Jerman.
Beruntung, di Jerman, Fabian bukanlah the only Mexican football player. Ada pemain asal Meksiko lain yang juga berkiprah di Jerman, tapi memiliki peruntungan yang lebih baik karena menjadi striker andalan tim Bayer Leverkusen. Ia adalah Javier Hernandez, pemain timnas Meksiko yang juga mantan pemain Manchester United dan Real Madrid. Lebih beruntungnya lagi, Fabian dan Hernandez ternyata bersahabat.
Dalam sebuah kesempatan, Fabian dan Hernandez bercakap-cakap dengan menggunakan Skype, teknologi canggih masa kini yang sering digunakan orang untuk berkomunikasi. Dalam percakapan tersebut, Fabian kerap menyebut Hernandez dengan sebutannya dalam bahasa Jerman, yaitu Kleine Erbse (kacang polong). Mendengar itu, Hernandez pun menyarankan Fabian untuk segera mencari nama panggilannya sendiri agar ia lebih mudah dikenal. Percakapan pun berlanjut kepada tentang bagaimana kehidupan di Jerman dan sebagainya.
Percakapan itu sendiri sebenarnya memiliki makna yang lebih mendalam dari sekedar percakapan biasa. Secara tidak langsung, Hernandez seolah ingin menegaskan sesuatu kepada sahabatnya bahwa hidup di Eropa itu tidaklah mudah dengan mengatakan, “cari saja nama panggilanmu sendiri”. Di dalamnya juga terkandung sebuah dukungan agar Fabian bisa bersaing di Bundesliga dan semakin berkembang dari hari ke hari.
Bagi Hernandez, julukan “kacang polong” sendiri sudah tersemat saat Hernandez bermain di Piala Dunia 2010 Afrika Selatan. Saat itu, ia sudah dikenal sebagai pemain kenamaan asal Chivas Guadalajara dengan julukan “Chicarito”, bahasa Spanyol dari “kacang polong”. Bermain gemilang di PD 2010, si “kacang polong” pun akhirnya bermain bersama Manchester United di Inggris.
Di United, karier sepakbolanya tidak berjalan mulus. Sempat menjadi bagian dari skuad United yang menjuarai Liga Primer Inggris, ia kerap menjadi penghuni bangku cadangan dan hanya berstatus sebagai supersub United. Ketika dipinjamkan ke Real Madrid di tahun 2014 dan bermain selama satu musim di Madrid, ia juga tetap menyandang status yang sama, malah lebih buruk karena lebih jarang dimainkan.
Peruntungannya berubah saat Bayer Leverkusen membelinya di pertengahan tahun 2015. Sampai sekarang, ia bermain reguler untuk Leverkusen dan tidak lagi dikenal sebagai pemain supersub, melainkan sebagai si “kacang polong” yang siap untuk mengalirkan bola ke mulut gawang lawan. Menilik kisah Hernandez di atas, ia juga mengalami karier yang naik dan turun di Eropa.
Inilah yang harus dipelajari oleh Marco Fabian. Kepindahannya ke Eintracht Frankfurt ini adalah yang pertama kalinya ia membela klub Eropa. Ibarat kata, ia masih merupakan seorang ulat di sepakbola Jerman, bahkan Eropa. Dan, seperti yang sang sahabat katakan, ia belum memiliki nama panggilannya sendiri. Kepada Hernandez, sahabat sekaligus orang yang kelak akan menjadi rivalnya di lapangan, Fabian harus banyak belajar dan berdiskusi, entah itu lewat Skype seperti yang dilakukan baru-baru ini atau bertemu secara langsung.
Fabian harus belajar dari pengalaman Hernandez yang sempat menjadi penghuni bangku cadangan dalam waktu yang lama. Fabian sudah menyaksikan kegigihan dan perjuangan seorang Hernandez sampai sekarang ia menjadi juru gedor utama Leverkusen dan juga timnas. Itulah yang harus ia tiru. Awal memang akan selalu sulit, tapi, dengan sahabat yang selalu siap untuk membantu, Fabian bisa saja melewati itu semua.
foto:espnfc.com
Karier Marco Fabian Bisa Terselamatkan Oleh Persahabatannya dengan Javier Hernandez
Ceritaby Redaksi 33 14/04/2016 14:12
Komentar