Kesetiaan Itu Bernama Choirul Huda

PanditSharing

by Pandit Sharing 33354

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Kesetiaan Itu Bernama Choirul Huda

Oleh: Aqilla F. S.

Hati Choirul Huda ada di Surajaya. Tidak ada berpindah dan akan selalu di sana. ”Surajaya adalah rumah saya,” ungkapnya saat berbincang dengan saya beberapa waktu lalu.

Di Surajaya-lah dia menumbuhkan dan meneguhkan mimpinya: menjadi pesepak bola. Di stadion itu pula Huda merawat mimpinya itu. Memupuknya. Dengan berlatih, berlatih, dan berlatih.

Di stadion itulah hari-harinya dihabiskan. Jauh sebelum Persela Lamongan terbangun dari tidurnya -Persela lahir pada tahun 1967. Tapi, tak lama setelah kelahirannya, Persela tertidur panjang. Sangat panjang bahkan - pada pertengahan tahun 2000.

Huda sudah berada di Surajaya sejak stadion itu hanya dipakai turnamen sepak bola antar kecamatan yang ada di Lamongan. Itu pun turnamennya hanya sekali setahun. Huda sudah berada di Surajaya ketika stadion tersebut baru memiliki tribun barat yang tak terlalu terawat. Lelaki kelahiran 2 Juni 1979 itu sudah berada di sana, semasa stadion tersebut tanahnya selalu retak-retak di kala musim kemarau. Dan retakannya itu sangat membahayakan siapa saja yang bermain di sana.

Huda sudah berada di Surajaya saat stadion tersebut lapangannya selalu becek dan berlumpur ketika musim penghujan. Saat rumputnya tumbuh sangat liar dan tingginya bisa sampai selutut orang dewasa ketika musim hujan. Dan, Huda sudah berada di Surajaya ketika stadion itu -seperti guyonan kebanyakan orang- masih memiliki trotoar di sisi lapangannya. Ya trotoar -bangunan untuk pejalan kaki yang berada di atas drainase di pinggir jalan. Dan trotoar Surajaya itu adalah bangunan di atas drainase sebagai pemisah antara lapangan dengan sentelban.

”Saya sudah akrab dengan Surajaya sejak memasuki bangku SMA,” katanya. Tatkala berseragam putih abu-abu itu, Huda berlatih bersama Merpati -klub lokal Lamongan. Bersama kawan-kawannya di Merpati, Huda mengasah kemampuan memainkan bolanya di Surajaya. Kadang juga di Lapangan Alun-Alun Lamongan.

Sepekan tiga kali dia lalui harinya dengan berlatih di Surajaya. Bahkan terkadang lebih. Sebab, Huda yang bersekolah di MAN Lamongan juga acapkali berlatih bersama tim sepak bola SMA Negeri 2 Lamongan. Dan saya masih mengingat itu. Kebetulan saya merupakan bagian dari tim tersebut. Di tim SMAN 2 saat itu, pelatih dan kebanyakan pemainnya juga bagian dari Merpati.

Karena itu, menjadi sangat wajar kalau Huda akhirnya menjadi bagian dari Persela ketika kesebelasan tersebut terbangun dari tidur panjangnya. Apalagi, Persela juga berumah di Surajaya. Stadion yang juga sudah dianggap Huda sebagai rumahnya. Ditambah lagi, kebangkitan Persela juga dibarengi dengan semangat untuk mempromosikan Lamongan ke publik Indonesia. (Sebelum tahun 2000, tak banyak orang yang mengenal Lamongan. Orang Lamongan yang merantau juga tak terlalu percaya diri menyebut dirinya berasal dari Lamongan ketika ditanya identitasnya. Umumnya mereka akan menyebut nama Surabaya sebagai tempat asalnya).

Dan semangat itu hanya akan bisa dicapai jika orang-orang yang ada di dalamnya memiliki gelora yang sama. Memiliki cinta dan kebanggaan. Maka memilih pemain-pemain asal Lamongan adalah kewajiban. Merekalah yang mempunyai gelora, cinta, dan kebanggaan tersebut. Dan lagipula, kemampuan mereka dalam olah si kulit bundar sebenarnya juga tidak kalah.

Huda menjadi buktinya. Lelaki yang lahir dan besar di Lamongan itu bukan saja pantas dipercaya mengawal gawang Persela. Tapi, Huda juga sangat tepat dipercaya memimpin rekan-rekannya memasuki lapangan sekaligus melakoni pertarungan demi pertarungan. Dia tenang dan tidak meledak-ledak. Namun, suaranya dari bawah mistar tetap lantang kala memberi komando. Juga saat menyuntikkan motivasi untuk rekan-rekannya.

Sebagai kiper, posturnya menyakinkan. Tingginya mencapai 185 cm. Refleknya pun menganggumkan. Huda juga tak pernah segan dan sungkan berduel dengan lawan. Tak pernah malas menjatuhkan badannya ke tanah untuk menghalau atau menangkap bola.

Dan Huda juga adalah lelaki yang setia. Memahami hatinya. Juga kepercayaan yang diberikan kepadanya. Dia tak pernah tergoda untuk meninggalkan Surajaya dan Persela. Sekalipun godaan untuk pergi selalu datang dan begitu besar. Setiap tahun selalu saja ada yang mengajaknya menanggalkan kostum Persela. Setiap musim senantiasa ada yang mengajaknya datang ke Surajaya sebagai tamu.

Tapi, Huda selalu menempatkan hatinya di Surajaya. Juga di Persela. Huda tak ingin pergi dan akan selalu berada di sana. Tahun ini, tercatat sudah 16 tahun Huda berkostum Persela. Menjadi bagian dari perjalanan panjang nan berat. Merangkak dari kasta terbawah Divisi II hingga level tertinggi kompetisi Indonesia.

”Sepak bola itu bukan hanya tentang menendang bola. Bukan semata tentang menangkap bola kalau bagi kiper. Tapi, sepak bola itu juga tentang kenyamanan,” ujarnya.

Berkostum Persela, bermain di Surajaya adalah kenyamanan baginya. Dengan bermain di Surajaya dan berkostum Persela, Huda selalu mendapatkan kehangatan lazimnya di rumah. Kehangatan dari rumahnya itu sendiri dan juga dari para penghuninya.

”Bersama Persela saya selalu dekat dengan keluarga. Selalu merasakan kebanggaan membawa nama kota tempat saya lahir. Dan itu pasti tidak akan saya dapatkan di tempat lain,” akunya. ”Bersama Persela saya mendapatkan kehangatan manajemen, offisial tim, dan juga suporter,” tambahnya.

Tapi, seperti lazimnya di rumah pula, pasti juga ada pertengkaran kecil di dalamnya. Di Surajaya, di rumahnya itu,Huda pun tidak melulu mendapatkan puja-puji. Tidak melulu memperoleh hasil manis. Beberapa kali kekalahan dihadapinya. Beberapa kali caci-maki melompat dari penonton dan mengarah ke dirinya.

Namun, itu tak lantas membuatnya sakit hati dan ingin pergi. Kekalahan dan juga kritik itu baginya adalah oksigen yang menyegarkan perjalanannya. Menyegarkan hatinya. Menebalkan cintanya : bahwa di Surajaya dan Persela-lah hatinya berada sekaligus bersetia.

Untuk Ulang Tahun Persela (18 April 1967-18 April 2016)



foto: m.sepakbola.com

Komentar