Seperti yang kita tahu pada beberapa hari ke belakang ini, Mamadou Sakho dilarang bermain oleh kesebelasannya, Liverpool, karena diduga telah mengonsumsi doping. Sebuah substansi yang termasuk dalam kategori doping bernama fat-burning PED telah ditemukan di dalam tubuh Sakho setelah The Reds imbang 1-1 atas Manchester United di Liga Europa UEFA pada 17 Maret 2016.
Untuk lebih jelasnya, PED adalah singkatan dari “performance-enhancing drug” atau “obat untuk meningkatkan performa”. Obat ini sebenarnya tidak meningkatkan performa secara definitif, namun memang entah sengaja ataupun tidak, Sakho telah mengonsumsi obat jenis ini sebelum pertandingan melawan “Setan Merah” tersebut.
Jika kita membicarakan doping dan sepakbola, hal ini memang tidak benar-benar hitam dan putih seperti misalnya doping pada olahraga lain. Seorang pandit dan komentator ternama, Mark Lawrenson, pernah menulis pada kolomnya di The Mirror bahwa “tidak ada obat di pasaran yang bisa membuat Anda mengontrol bola lebih baik atau menembak dengan lebih akurat”.
Jadi, fat-burning PED ini sebenarnya tidak benar-benar menjadi obat yang menguntungkan bagi seorang atlet untuk bisa dikategorikan “curang” atau “doping”. Ini seperti, misalnya, kita mengonsumsi obat diet karena kita ingin menurunkan berat badan, tapi kita tidak tahu bahwa ada substansi dalam obat diet tersebut yang merupakan substansi terlarang yang dikategorikan doping.
Selain Sakho, hal serupa seperti ini juga pernah dialami oleh rekan setimnya di Liverpool, Kolo Toure. Pada 2011, Toure yang saat itu bermain untuk Manchester City, bahkan dihukum sampai enam bulan setelah ia mengonsumsi pil diet milik istrinya dengan tujuan untuk menurunkan berat badan.
Banyak atlet lainnya yang juga pernah gagal tes doping karena obat diet ini. Hal tersebut terjadi lebih karena ketidaktahuan sang atlet, pelabelan dan bungkus yang buruk (misalnya membeli obat dengan jumlah tertentu di apotek sehingga tidak bersama bungkus lengkapnya) , sampai ketidakpedulian pada peraturan doping. Ini bukan sepenuhnya salah sang atlet, ada pelatih, ahli diet atau nutrisi pribadi, sampai dokter yang bisa saja bertanggungjawab atas obat yang dikonsumsi oleh klien mereka.
Tapi sebenarnya memang tidak semua produk obat pembakar lemak seperti ini mengandung substansi yang dikategorikan PED maupun doping lainnya.
Kasus Sakho ini masih diinvestigasi. Tapi tidak ada salahnya kita mengenal lebih jauh mengenai performance-enhancing drug.
Pengertian fat-burning PED
Ada banyak substansi yang dikategorikan sebagai performance-enhancing drug yang berfungsi sebagai pembakar lemak. Hal ini banyak ditemukan di produk diet (untuk menurunkan berat badan) berupa pil atau formula yang sebenarnya bertujuan untuk medis alih-alih doping.
Berdasarkan World Anti-Doping Agency (WADA), atau lembaga anti-doping dunia, substansi yang masuk dalam kategori doping antara lain adalah steroid yang paling terkenal, kemudian juga hormon pertumbuhan (seperti yang Lionel Messi konsumsi bahkan), Erythroprotein (EPO), bahan kimia Beta-2 agonist, dan lain-lain sebagainya yang bisa Anda lihat lengkap di sini. Sementara obat yang Sakho konsumsi memang masih belum jelas.
Beberapa substansi seperti ini kebanyakan digunakan untuk keperluan medis, umunya adalah untuk mengatasi anemia, asma, kekurangan hormon, masalah pertumbuhan pada anak-anak, kondisi paru-paru, dan lain sebagainya. Sedangkan bagi atlet, beberapa obat di atas memang bisa memengaruhi performa atletik mereka, bahkan obat batuk sekalipun. Itulah kenapa atlet tidak boleh sembarangan minum obat, mereka harus berkonsultasi kepada pelatih, dokter tim, atau ahli nutrisi terkait jika ingin mengonsumsi obat karena salah-salah malah bisa terdakwa doping secara tidak sengaja.
Cara fat-burning PED meningkatkan performa atlet
Beberapa produk pembakar lemak termasuk anabolic steroid ternyata bisa meningkatkan daya tahan, membantu pemulihan otot, dan meningkatkan fisik atlet. Produk ini banyak dikonsumsi oleh mereka yang ingin mendapatkan massa otot secara instan, biasanya marak ditemukan di tempat-tempat fitnes.
Berikutnya, ada EPO yang juga bisa menjadi obat pembakar lemak. Obat ini sangat terkenal di cabang olahraga bersepeda dan atletik. Keuntungan mengkonsumsi EPO adalah meningkatkan daya tahan dan pemulihan otot;
Kemudian Beta-2 agonist juga biasa menjadi obat diet yang sekaligus bisa meningkatkan kapasitas aerobik dan pertumbuhan otot. Beberapa obat di atas kebanyakan dikonsumsi melalui mulut alih-alih disuntikkan (seperti yang Lance Armstrong, pebalap sepeda terkenal, lakukan).
Risiko bersalah karena doping
Kasus doping Sakho memang masih diselidiki oleh UEFA. Sementara keputusan dari pihaknya yang berkonsultasi dengan Liverpool lah yang membuatnya absen. Jadi, Sakho absen bukan karena terbukti bersalah doping, tapi karena untuk berjaga-jaga agar masalah ini tidak membuat Liverpool dihukum lebih jauh jika Sakho nantinya terbukti doping.
Sengaja ataupun tidak, sepertinya Sakho bisa saja terbukti doping. Hal ini tentunya memberi pelajaran kepada seluruh atlet terutama sepakbola, bahwa mereka harus berhati-hati karena ada beberapa substansi yang berpotensi masuk ke dalam kategori doping yang mereka tidak tahu.
Yang jelas, jika Sakho terbukti bersalah. Ini tidak akan berpengaruh bagi perjalanan Liverpool di Liga Europa maupun Liga Primer Inggris, kecuali ditemukan kasus doping lainnya pada pemain Liverpool lain selain Sakho.
Jika Sakho terbukti bersalah, ia bisa saja dihukum seperti Toure, yaitu enam bulan. Atau paling lama biasanya adalah dua tahun untuk kasus sepakbola.
Beberapa pesepakbola yang terbukti secara serius melakukan doping biasanya adalah mereka yang mengonsumsi kokain dengan tujuan bukan untuk meningkatkan performa, melainkan hanya sebagai “teman hiburan”. Kasus kokain ini pernah ditemukan sebelumnya pada Diego Maradona, Claudio Caniggia, Rene Higuita, Mark Bosnich, Adrian Mutu, dan jake Livermore.
Bahkan ada kasus doping yang tegolong kocak, seperti Stan Lazaridis yang disanksi selama 12 bulan akibat ditemukannya substansi finasteride dalam tubuhnya. Ia mengonsumsi substansi ini karena terdapat dalam obat anti rontok yang ia konsumsi pada 2007 saat ia bermain di Perth Glory.
Jurgen Klopp pernah berujar bahwa ia lebih rela kalah daripada harus kehilangan Sakho. Namun dengan kasus terbaru ini, Klopp bisa saja kehilangan Sakho untuk waktu yang lama. Sakho sendiri punya waktu sampai Hari Selasa ini (26/04/2016) untuk merespons kasus di atas.
Sumber: Squawka, WADA, The Mirror, The Guardian
ed: fva
Komentar