Wolfsburg, 25 April 2016.
Aku adalah pesepakbola, jika kau ingin tahu. Aku dilahirkan di Kopenhagen, salah satu kota besar di Denmark. Kau tahu, Kopenhagen sangat indah dan kau bisa menghabiskan banyak waktu di sana mengunjungi berbagai tempat yang penuh dengan nilai sejarah dan keindahan alam yang memukau. Tapi, kali ini aku tidak akan membicarakan tentang hal itu. Aku ingin membicarakan hal yang lebih penting.
Kau tahu sepakbola? Itu adalah olahraga yang paling aku senangi saat aku kecil dulu. Masa-masa mudaku dulu, aku habiskan dengan bermain bola penuh bahagia bersama klub lokal daerahku, Tarnby Boldklub dan Kjobenhavns Boldklub. Semasa membela dua klub itu, banyak orang memuji kemampuan olah bolaku yang, yah, katanya baik. Makanya, aku tidak heran kalau saat aku muda dulu, banyak klub-klub dari Inggris, Italia, ataupun negara lain yang datang ke Kopenhagen untuk sekadar melihat bakatku.
Hingga akhirnya, pada 2004 aku putuskan untuk menyeberang ke tanah Inggris. Aku direkrut untuk membela tim Arsenal, yang konon katanya adalah sebuah tim besar di Inggris. Wow! Aku direkrut untuk main di klub besar. Aku pun bahagia dan senang karena bakat sepakbolaku ini akhirnya dilirik oleh klub besar dan aku bisa terus lanjut bermain sepakbola, olahraga yang kusukai ini. Selain itu, yang membuatku semakin merasa tak sabar untuk segera bermain di klub ini adalah karena aku akan diasuh oleh seorang manajer terkenal, Arsene Wenger. Sebuah kehormatan tentunya bisa mengenal seorang Wenger.
Namun, proses untuk membela tim inti ternyata tidak mudah. Sesudah bermain selama beberapa tahun di tim cadangan Arsenal, aku pun dipinjamkan oleh manajemen ke klub kota lain, Birmingham City. Alasan mereka meminjamkanku ke sana adalah supaya aku bisa mendapatkan jam terbang lebih dan memiliki mental yang lebih kuat. Meski sedikit kecewa, aku jalani masa peminjaman itu. Ternyata, bermain di Birmingham tidak sebegitu buruk. Aku masih dapat mencetak beberapa gol, dan juga berkontribusi untuk tim ini. Itulah yang membuatku akhirnya kembali ditarik oleh Arsenal.
Dengan pengalaman yang sudah lumayan banyak ku dapat, akhirnya aku pun berseragam Arsenal, yeay! Kalau tidak salah di musim 2007/2008, aku memulai petualangan baruku bersama Arsenal. Di London, aku tetap bisa bermain sepakbola yang ku sukai, dan sama seperti ketika aku bermain di Birmingham, beberapa kali aku dipuja oleh suporter karena lumayan rajin mencetak gol dan kerap mencetak gol pada saat-saat yang menentukan. Masa-masaku di Arsenal ini pun cukup menyenangkan.
Jika kamu bertanya padaku apakah aku penyerang terbaik di dunia, aku akan menjawab "ya!" karena aku percaya itu!
Sayangnya, keadaan berubah saat 2011 datang. Arsenal tampak tidak membutuhkan lagi jasaku. Gara-gara kecelakaan mobil yang pernah ku alami, aku tidak pernah bisa kembali ke tim utama dan sulit untuk mendapatkan tempat di sana. Semua ini gara-gara dia! Si Arsene Wenger, manajer yang awalnya begitu kukagumi itu. Ia tidak pernah memainkanku lagi seperti tahun-tahun sebelumnya. Jadi, pada 2011 ini aku memutuskan untuk hijrah ke Sunderland, klub asal Inggris yang juga meminati jasaku.
Meski kepindahan ini hanya berbentuk sebagai sebuah peminjaman, aku merasa senang. Sungguh. Setidaknya aku dapat lepas dari jerat Arsene Wenger dan kembali meraih sinarku yang sempat begitu terang. Namun, peruntunganku di sini ternyata tidaklah sebagus yang ku kira. Meski sempat mencetak beberapa gol, Sunderland tidak berniat untuk mempermanenkan diriku. Aku pun harus bergegas mencari klub lain. Akhirnya pilihan jatuh ke tangan Juventus.
Entah mimpi apa aku ini sampai akhirnya aku hijrah ke Juventus, klub Italia, pada 2012. Mungkin kalau karena ketidakpastian nasibku di Sunderland aku takkan sampai berani hijrah ke Italia. Toh, pada akhirnya di liga yang katanya dahulu pernah menjadi liga terbaik (mungkin saat aku masih remaja ya) aku tidak memberikan kontribusi apapun. Tidak ada satu gol pun yang aku cetak selama aku membela klub ini. Tapi, sisi positifnya adalah, aku langsung dapat gelar Serie A Italia di musim pertamaku di Italia! Horee! Aku bahkan menyamai pencapaian gelar Serie A sang legenda AS Roma yang begitu dihormati, Francesco Totti, sekalipun aku hanya perlu satu musim untuk meraihnya.
Sayang seribu sayang, di akhir musim Juventus tidak ingin mempermanenkan kontrakku dan mereka memulangkanku ke Arsenal. Di Arsenal, aku sudah tidak memiliki tempat lagi karena ada Olivier Giroud dan Lukas Podolski yang bermain cukup baik. Sial, akhirnya aku pun hanya menjadi penghias bangku cadangan lagi, sama halnya seperti musim-musim sebelumnya. Bahkan, aku bisa dianggap sebagai pemain yang tidak memiliki klub pada 2013 ini karena Arsenal jarang memainkanku sama sekali!
Perlahan, orang-orang mulai melupakanku. Aku, yang jarang lagi bermain, apalagi mencetak gol ini, mulai dilupakan oleh orang-orang. Aku, yang dulu sempat akan bersinar bersama dengan Arsenal, sekarang sudah jauh tenggelam seperti tidak dikenal sama sekali. Kemana orang-orang yang dahulu begitu mendukungku? Kemana mereka?
Saat kontrakku tak diperpanjang Arsenal, aku kalut. Aku memasukkan foto yang mungkin kalian pikir tidak memenuhi estetika. Tapi kalian pasti sengaja lupa; aku pun mengunggah foto saat aku sedang berlatih keras!
Untungnya, sebagian orang masih menganggap kehadiran diriku ini. Meski banyak yang memberi label-label aneh kepadaku, tidak sedikit juga yang memberikan perhatian. Aku kembali dikenal, seperti saat masa-masa jayaku bersama Arsenal.
Hal ini pun membawa keberuntungan lagi bagiku. Klub asal Jerman, VfL Wolfsburg, tertarik untuk merekrutku. Aku yang sedang dalam masa bebas ini pun langsung menyetujui tawaran tersebut, dan, jadilah aku pemain yang merantau ke tanah Jerman untuk kembali menunjukkan kelasku.
Saat di Jerman, saat aku mencetak gol, orang begitu riuh menyorakiku. Akun-akun media sosial begitu berisik mengomentari setiap hal yang aku lakukan. Mulai dari mencetak gol, dan hal-hal yang remeh yang kulakukan, semua mereka komentari. Kadang, mereka juga kembali mengingat apa yang dulu aku lakukan saat aku posting foto anehku di Instagram. Di satu sisi, tentu aku merasa sedih. Tapi, di sisi yang lain, aku senang-senang saja dibicarakan seperti itu. Hal itu seperti menunjukkan bahwa aku masih dikenal oleh orang banyak, lebih baik daripada keadaanku saat 2013 lalu.
Tapi, rupanya manajemen klub tidak menyukai tingkahku ini. Meski di Wolfsburg, aku sudah dapat kembali menemukan permainanku mereka tampaknya tidak suka dengan perbuatanku yang sering memposting foto-foto di Instagram. Mereka mengganggapku sebagai sebuah ancaman, dan tepat pada akhir April 2016, mereka memutus kontrakku.
Hahaha! Mereka mungkin sudah kelewat tua. Memangnya siapa yang membawa Dortmund juara DFL Super Cup? Siapa yang mencetak gol pada menit akhir dan menyamakan kedudukan? Hey! Lawan kalian itu Bayern Munchen, penguasa Bundesliga! Siapa yang mencetak gol penalti yang membikin kalian juara?
Aku tidak kaget dengan pemutusan kontrak ini sebenarnya. Aku tahu bahwa waktu seperti ini akan kembali tiba. Tapi, untuk kali ini, sepertinya aku akan sulit untuk mendapatkan kembali tempat untuk bermain sepakbola. Yah, tidak apa-apa lah. Aku hanya ingin mengingatkan saja lewat suratku ini, bahwa:
Saya, Nicklas Bendtner, mengatakan bahwa sepakbola akan berakhir sebentar lagi, untuk saya, dan tidak menutup kemungkinan untuk pesepakbola yang lain yang senasib dengan saya.
*ditulis oleh Sandy Firdaus saat berusaha menyelami perasaan seorang Nicklas Bendtner*
foto: khabdha.com
Komentar