Seluruh penggawa Leicester tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya setelah dipastikan menjadi juara Liga Primer 2015/2016, tak terkecuali Christian Fuchs. Bek yang bertugas di sektor kiri tersebut mengunggah video di akun istagramnya saat dirinya dan beberapa pemain Leicester menonton laga antara Tottenham Hotspur dan Chelsea.
Dalam tayangan tersebut memperlihatkan kegembiraan mereka ketika Spurs hanya meraih hasil seri dengan Chelsea. Hasil tersebut secara otomatis membawa mereka meraih gelar Liga Primer di musim 2015/2016. Selisih tujuh poin serta dua pertandingan tersisa tak mungkin lagi terkejar oleh Spurs. Kegembiraan yang ditunjukkan Fuchs bukanlah tanpa alasan, ia merupakan salah satu dari bagian dalam cerita dongeng Leicester yang menjadi kenyataan di musim ini.
Meski jarang mendapatkan sorotan, bukan berarti pemain berusia 30 tahun tersebut tidak memiliki kontribusi penting bagi The Foxes. Di musim ini ia telah tampil sebanyak 30 kali dan hanya tiga kali ia tidak bermain selama 90 menit. Ia telah berhasil menyumbangkan empat assist dan 33 umpan kunci di musim ini. Jumlah tersebut merupakan yang terbaik dari para full-back kiri klub penghuni empat besar, yakni Aleksandar Kolarov (Manchester City) serta Nacho Monreal (Arsenal). Bahkan jumlah kontribusi yang diberikannya tersebut lebih baik dibanding torehan Danny Rose (Tottenham Hotspur) yang terpilih dalam PFA Team of The Year.
Leicester beruntung bisa mendapatkan jasanya dengan cuma-cuma. Ia mulai memperkuat The Foxes pada 3 Juni 2015 setelah kontraknya dengan Schalke 04 telah berakhir. Sebelumnya ia telah memperkuat klub asal Jerman tersebut selama empat musim dan pernah menyabet trofi saat Schalke merengkuh DFL-Supercup di tahun 2011.
Banyak yang berpikir bahwa kepindahan Fuchs ke Leicester merupakan sebuah kemunduran bagi kariernya. Seperti yang diketahui, Schalke merupakan salah satu klub raksasa di Jerman dan telah tujuh kali meraih titel Bundesliga. Berbeda jauh dengan Leicester yang belum pernah mencicipi titel Liga Primer sebelumnya. Bahkan klub yang bermarkas di King Power Stadium tersebut lebih banyak menghabiskan waktunya di divisi kedua dibanding Liga Primer.
Apalagi ketika bergabung, Leicester sebelumnya tertatih untuk lolos dari zona degradasi. Jika kepindahannya tak mengubah apa-apa bagi kesebelasan asal East Midlands tersebut, atau sebaliknya rekan-rekannya tak memiliki mental yang baik, Leicester bukan tak mungkin akan terdegradasi dan Fuchs bisa menyesali kepindahannya, bahkan mengumpat pada dirinya sendiri dan Leicester.
Sebelumnya Fuchs telah menunjukkan grafik menanjak kala mengawali kariernya untuk membela Wiener Neustadt, SV Mattersburg, VfL Bochum, FSV Mainz 05 hingga Schalke, dan sempat dianggap antiklimaks saat memutuskan untuk hijrah ke Leicester. Ia memilih untuk bermain di Liga Primer untuk mencari tantangan dan pengalaman. Selain itu salah satu liga papan atas di dunia tersebut merupakan cita-citanya. Akan tetapi baru semusim bersama tim yang diarsiteki oleh Claudi Ranieri tersebut ia langsung berhasil menyabet trofi Liga Primer.
Sementara itu di kancah internasional, ia menjabat sebagai kapten timnas Austria. Ia telah memperkuat Austria semenjak tahun 2006 dan merupakan pemain yang masih aktif dengan pemegang caps terbanyak. Koleksi 74 kali penampilan bersama negaranya mengukuhkan dirinya sebagai sebagai pengoleksi caps terbanyak kedelapan dalam sejarah Austria. Dengan usia yang baru menginjak 30 tahun jumlah tersebut masih bisa bertambah.
Keberhasilannya membawa Austria ke EURO 2016 juga merupakan sebuah prestasi tersendiri, pasalnya itu adalah kali kedua keikutsertaan negara yang beribukota di Warsawa [ralat: Wina] tersebut dalam kejuaraan Piala Eropa. Sebelumnya, di tahun 2008 mereka lolos scara otomatis karena menjadi tuan rumah bersama Swiss. Akan tetapi di tahun ini pencapaian mereka jauh lebih spesial karena sukses meraih tiket ke Prancis usai lolos sebagai juara Grup.
Fuchs berhasil mencatatkan diri sebagai pemain berkebangsaan Austria kedua yang mampu meraih titel Liga Primer, sebelumnya Alex Manninger pernah merengkuhnya ketika membela Arsenal di musim 1997/1998. Namun torehan Fuchs tentu jauh lebih spesial, pasalnya ia merupakan pemain inti yang bermain secara rerguler, berbeda dengan Manninger yang hanya sebagai pelapis David Seaman kala itu. Selain itu pemain yang lahir di Neunkirchen tersebut berhasil meraih trofi tersebut bersama tim yang awalnya adalah tim semenjana, bukan dengan klub mapan seperti Arsenal.
Sebuah kebanggaan bagi Fuchs saat berhasil membawa Leicester meraih gelar juara untuk pertama kalinya dalam sejarah klub, dan membuktikan bahwa pilihannya untuk membela Leicester bukanlah sebuah kesalahan. Sekaligus menorehkan namanya menjadi salah satu pemain dalam salah satu dongeng terindah dalam sepakbola yang bisa diberi judul Fuchs with Leicester, dengan huruf `h` bukan huruf `k`.
Foto: sportbild
ed: ans
Suatu Hari Nanti, Mungkin Ada Dongeng Berjudul "Fuchs with Leicester"
Ceritaby Redaksi 32 03/05/2016 14:26
Komentar