Italia akan kehilangan salah satu striker terbaik dalam sejarah mereka akhir musim ini. Ya, striker kelahiran Pavullo nel Frignano, Modena, Luca Toni, yang telah malang melintang di sejumlah klub Italia seperti Brescia, Palermo, dan Fiorentina ini, memutuskan gantung sepatu di penghujung musim 2015/16.
Akhir perjalanan Luca Toni dalam sepakbola memang terbilang menyedihkan. Klub yang ia bela saat ini, Hellas Verona, dipastikan degradasi ke Serie B pada musim depan. Tidak hanya itu, torehan lima gol Toni saat ini terbilang cukup sedikit. Pasalnya, musim lalu ia mampu mencetak 22 gol, angka yang cukup istimewa bagi striker yang sudah berusia di atas 35 tahun.
Akhir karier Toni di Serie A musim depan pun bisa dibilang menyedihkan. Bukan hanya rasa kepergian dari salah satu Target Man terbaik dalam sepakbola Italia, tapi juga mengakhiri karier istimewa yang pernah dibuat striker yang mempersembahkan gelar Piala Dunia 2006 untuk Italia ini.
Perjalanan karier Toni memang begitu menarik. Ia bahkan layak disebut sebagai kutu loncat lantaran kebiasaannya berganti kostum kesebelasan tiap musimnya. Meskipun begitu, ketajamannya tak pernah surut.
Ketajaman Toni mulai terlihat sejak ia memulai karier profesionalnya bersama Modena pada musim 1994/95 di Serie C1. Meski saat itu Toni masih berusia 17 tahun, ia terbilang cukup tajam. Toni yang merupakan pilihan kelima, bahkan mampu mencetak tiga gol dari sembilan partai, yang semuanya hanya menjadi pemain pengganti.
Meski demikian, produktivitasnya di usia belia tidak mampu membuatnya mendapatkan hak sebagai pemain utama di tim yang identik dengan warna kuning biru tersebut. Modena pun terpaksa meminjamkannya ke banyak klub agar Toni bisa semakin matang.
Peminjaman ke klub lain yang dilakukan oleh Modena terhadap Toni nyatanya menjadi blunder. Bakat Toni tercium oleh Vicenza, yang pada musim 2000/01 promosi ke Serie A untuk kali pertama. Toni pun hijrah ke Vicenza dengan catatan manis: 41 gol dalam enam musim bermain di kompetisi di bawah Serie A, dengan usia yang baru mencapai 23 tahun kala itu.
Namun keberadaan Toni nyatanya tidak mampu menyelamatkan Vicenza dari degradasi. Dengan torehan sembilan gol di musim tersebut, ia akhirnya hijrah ke Brescia. Bersama nama-nama seperti Roberto Baggio, Josep “Pep” Guardiola, Igli Tare, dan pelatih kontroversial, Carlo Mazzone, Toni berhasil membawa Brescia untuk berada di papan tengah Serie A dan menjadi pencetak gol terbanyak tim dengan total 13 gol di Serie A.
Dua musim di Brescia, Toni memutuskan turun kelas ke Serie B untuk memperkuat Palermo di musim 2003/04. Keputusan Toni ini terbilang kontroversial karena ia disebut hijrah karena kedekatannya dengan Maurizio Zamparini, yang baru jadi pemilik Palermo. Toni sendiri tetap keukeuh karena merasa Palermo hanya akan butuh satu musim untuk naik ke Serie A.
Apa yang dijanjikan Toni menjadi kenyataan. Palermo berhasil naik ke Serie A untuk kali pertama sepanjang sejarah klub di akhir musim 2003/04. Ia bahkan mencetak 30 gol di musim tersebut. Catatan fenomenalnya tidak cukup sampai di situ. Toni juga berhasil menjadi salah satu pemain Serie B yang membuat debut di Tim Nasional Italia (setelahnya ada nama Angelo Ogbonna).
Baiknya performa Toni membuatnya hijrah ke Fiorentina pada musim 2005/06. Pendukung Rosanero pun menyebutnya sebagai pengkhianat. Tapi Toni tak menghiraukannya dan musim pertamanya di La Viola berjalan baik. Ia bahkan tidak pernah absen di musim tersebut dan membuat 31 gol (total gol ini menjadi gol terbanyak dalam satu musim sepanjang karier Toni).
Nama Toni juga masuk ke dalam buku sejarah persepakbolaan Italia di musim tersebut. Ia menjadi pemain asal Italia ketiga yang mampu mencetak di atas 30 gol dalam semusim. Ia pun menyamai rekor Gino Rossetti (Torino) dan Felice Borel (Juventus). Selain gelar lokal, ia juga menjadikan dirinya sebagai pemain Italia pertama yang meraih gelar sepatu emas Eropa.
Istimewanya permainan Toni pada musim tersebut membuatnya mendapatkan satu tempat di skuat Azzurri untuk Piala Dunia 2006. Pada turnamen yang dimenangkan Italia tersebut, ia bahkan hanya absen sekali, yakni di pertandingan terakhir fase grup kala menghadapi Rep. Ceko.
Tapi, salah jika Anda menganggap Piala Dunia 2006 merupakan perjalanan karier tertinggi yang pernah diraih Toni. Pasalnya, Serie A 2006/07, jauh lebih mengibarkan nama Toni ketimbang medali Piala Dunia-nya atau gelar pencetak gol terbanyak Eropa miliknya.
Di musim tersebut Fiorentina harus berjuang di Serie A dengan poin minus 15 akibat skandal Calciopoli. Hal tersebut membuat mereka harus berjuang keras hingga akhir musim jika tidak ingin terdegradasi. Toni pun tidak mengejar raihan individual di musim tersebut.
Hasilnya begitu istimewa, Fiorentina berhasil mengakhiri musim di peringkat enam dengan 58 poin. Jika boleh berandai, Fiorentina bisa saja mengakhiri musim di posisi ketiga, karena jika ditambah 15 poin , mereka akan mengoleksi 73 poin, selisih dua poin dengan Roma yang berada di posisi kedua, serta 11 poin dari Lazio di peringkat tiga.
Luar biasanya permainan Fiorentina di musim tersebut, diakhiri dengan pernyataan mengejutkan. Pencetak gol terbanyak mereka dalam dua musim terakhir, memutuskan hijrah ke Bayern Muenchen. Keputusan ini memang begitu mengesankan. Toni beralasan ia memilih Bayern karena ia tidak ingin lagi disebut pengkhianat.
Keputusan hijrah ke Bayern berdampak begitu besar bagi karier Toni. Meski di musim pertamanya ia mampu mencetak 24 gol, tapi di sini pula kariernya mulai menurun. Di musim ketiganya bersama Bayern, Toni mengalami cedera tendon achilles. Cedera ini membuatnya harus merasakan bermain untuk Bayern II di divisi tiga Jerman, serta AS Roma di paruh musim kedua 2009/10.
Toni pun butuh tiga musim untuk mengembalikan selera mencetak golnya yang tinggi. Di musim 2013/14, Toni yang berseragam Hellas Verona mampu mencetak 20 gol. Torehan ini sekaligus mengembalikan kepercayaan diri Toni untuk terus mencetak banyak gol hingga musim 2014/15.
Di musim ini, “ketidakseleraan” Toni untuk mencetak gol tampaknya sudah permanen. Dari 15 kesempatan bermain yang diberikan, ia hanya mampu mencetak 5 gol. Hal ini pun membuat Toni kecewa, dan memutuskan pensiun di akhir musim.
Hilangnya Toni dalam sepakbola Italia akan membuat peta persaingan baru dalam urusan menjebol gawang lawan. Namun, lebih daripada itu, hilangnya Toni akan membuat pendukung Italia berpikir bahwa ini adalah momentum yang pas untuk mencari pengganti sepadan. Arrivederci, Toni!
Komentar