Di sepakbola, Anda akan menemukan sejumlah sosok ikonik yang salah satunya melekat dalam diri seorang Edgar Davids. Rambutnya yang gimbal dikuncir, dengan kacamata yang seolah tak pernah lepas dari wajahnya.
Davids lahir di Suriname pada 13 Maret 1973. Ia mengenal sepakbola sejak berusia 12 tahun saat bergabung bersama tim muda Ajax Amsterdam. Dengan bakat serta kemampuannya bermain cukup baik di lini tengah, ia berhasil naik dengan cepat dan berhasil melakukan debut bersama Ajax pada usia 18 tahun bersama tim senior Ajax dalam pertandingan melawan RKC Waalwijk.
Selama berkostum Ajax, ia menjadi figur kunci permainan lini tengah klub yang bermarkas di Amsterdam Arena ini. Ia berhasil mengantarkan Ajax meraih titel juara Eredivisie selama tiga kali berturut-turut, juga berhasil mengharumkan nama Ajax di Eropa dengan menjuarai UEFA Cup pada 1992 dan Liga Champions Eropa 1994/1995 saat Ajax masih berada di bawah asuhan Louis van Gaal.
Namun, pada Liga Champions Eropa 1995/1996, mereka gagal mempertahankan gelar juara Liga Champions Eropa setelah kalah dari Juventus lewat drama adu penalti. Setelah tahun-tahun penuh kesuksesan bersama Ajax, akhirnya Davids memutuskan untuk merantau ke Italia, dengan membela AC Milan. Sayangnya di klub ini ia gagal beradaptasi.
Merasa sulit beradaptasi di Milan, ia pun memutuskan untuk pindah ke Juventus. Di sinilah ia meraih kembali kesuksesan yang dahulu pernah ia raih saat ia di Ajax. Marcelo Lippi, pelatihnya di Juve mengatakan bahwa Davids adalah "mesin lini tengah Juventus". Bersama Juve, ia meraih gelar bergengsi seperti scudetto Serie A, Piala Super Italia, dan UEFA Intertoto Cup. Ia hanya gagal meraih gelar juara Liga Champions Eropa, tepatnya pada musim 1997/1998.
Pada 2004, ia bergabung bersama Barcelona sebagai pemain pinjaman dari Juventus. Di Barca ini pun ia berhasil menorehkan sebuah prestasi. Davids, bahu membahu bersama Dutch man lainnya, Frank Rijkaard yang berposisi sebagai pelatih, berhasil mengangkat posisi Barcelona di La Liga. Pada akhir musim, Barca berada di bawah Valencia yang akhirnya menjadi juara La Liga.
Tapi, masanya di Barca tidak terlalu lama. Ia langsung kembali ke Italia, membela Inter Milan. Bertahan semusim di Inter, ia pindah ke Inggris untuk membela Tottenham Hotspur. Di London utara, ia kembali meraih kenyamanan seperti yang ia dapat saat membela Ajax dan Juventus. Ia menjadi pemain yang dicintai oleh suporter. Namun, ia gagal mengantarkan Spurs meraih posisi empat klasemen. Selama dua musim, ia hanya berhasil mengantarkan Spurs menduduki peringkat ke lima.
Klub terakhir yang menjadi pelabuhan seorang Edgar Davids adalah Crystal Palace. Tepat pada 2010, ia mengumumkan bahwa ia pensiun dari dunia sepakbola sebagai pemain.
Penampilan-penampilan gemilangnya bersama klub membuat ia dilirik untuk membela Tim Nasional Belanda. Bersama timnas, ia mencatatkan 74 penampilan dan mencetak enam gol. Ia juga tampil bersama Tim Nasional Belanda dalam beberapa ajang, seperti Piala Eropa 1996, 2000, dan 2004. Ia juga menjadi bagian dari skuad Belanda di Piala Dunia 1998 dan Piala Dunia 2006. Namun, ia tidak membawa Belanda meraih prestasi yang signifikan selama ia membela timnas.
Edgar Davids dikenang sebagai seorang pekerja keras di lapangan tengah. Kekuatannya dan daya cengkramnya terhadap bola diakui oleh manajer-manajer yang pernah mengasuhnya. Davids cocok untuk ditempatkan sebagai gelandang bertahan yang bersifat pekerja, karena kengototannya dalam mematahkan serangan lawan dan kemampuannya dalam mematikan gelandang menyerang lawan.
Bagi Anda yang rindu akan kengototan dan kekuatan seorang Davids, juga dengan kacamata dan rambut gimbalnya, Anda dapat menyaksikannya dalam laga Best XI Marcelo Lippi yang akan bertanding melawan eks Primavera Baretti. Ajang ini sendiri akan dilaksanakan pada Sabtu (21/5) malam di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) dalam rangka Grande Evento Italian Legend. Semoga, dengan menyaksikan acara ini kerinduan Anda terhadap seorang Edgar Davids dapat terobati.
foto: imagemedialtd.com
ed: fva
Komentar