Seorang Pep Guardiola menangis. Pep menangis usai pertandingan final yang dimenangkan oleh Bayern Muenchen atas Borussia Dortmund lewat babak adu penalti yang berkesudahan 4-3. Ia memeluki pemainnya satu per satu untuk kemudian mengatakan sesuatu yang cukup emosional.
"Saya akan merindukan Jerman. Saya akan menjadikan segala hal yang saya alami di Jerman sebagai sesuatu yang berharga bagi diri saya sendiri. Sungguh, keputusan pindah klub ini adalah keputusan yang sulit bagi saya. Saya sudah kadung cinta dengan pemain dan juga klub ini," ujar Pep seperti dilansir ESPN FC.
Pep Guardiola adalah cerita di Jerman. Beberapa pengamat menilai bahwa dirinya memberikan sebuah pengaruh di Bundesliga berkat permainan umpan-umpan pendeknya. Di Muenchen, ia dianggap berhasil memadukan itu dengan karakter pekerja keras a la pesepakbola Jerman. Sukses domestik selalu ia raih selama tiga musim masa kepelatihannya.
Bukan hanya itu, ia juga menjadi manajer keempat setelah Giovanni Trappatoni, Ottmar Hitzfield, dan Jupp Heynckes, yang tidak dpecat oleh Bayern Muenchen. Pep keluar dari Muenchen karena ia mengundurkan diri dan lebih memilih untuk menyeberang ke daratan Inggris, mencari sebuah tantangan baru bersama Manchester City.
Proses kepindahannya ke City ini pun berjalan dengan cukup rumit, dan sempat membuat hubungan dirinya dengan manajemen klub Muenchen menjadi renggang. Alasan utamanya adalah ia terlalu pendiam untuk membicarakan apa yang ia pikirkan dan inginkan.
Semasa masih di Barcelona, ia hanya akan berbicara ketika media memberitakan sesuatu yang salah dengan dirinya. Di Jerman, salah satunya adalah karena faktor bahasa yang berbeda, ia lebih jarang mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Hal ini malah sempat membuat hubungan dirinya dengan para jurnalis Jerman juga menjadi renggang.
"Selalu ada pertengkaran dengan para jurnalis semasa saya di sini. Tapi, bagi saya itu adalah hal yang wajar. Bayern adalah klub yang besar dengan ekspektasi yang tinggi tiap musimnya. Tidak memenangi trofi selama satu musim di sini berarti bencana bagi Anda," ujarnya suatu hari.
Ekspektasi itu pun semakin membuncah ketika dalam tiga musim berturut-turut Pep Guardiola gagal membawa Bayern Muenchen meraih Liga Champions Eropa. Kegagalan itu pun selalu bersifat identik; kalah pada babak semifinal dan dikalahkan oleh klub asal Spanyol, yaitu Real Madrid, Barcelona, dan Atletico Madrid tepatnya.
Sebuah dosa yang mungkin akan selalu terperam dalam ingatan para suporter dan juga manajemen Bayern Muenchen. Saat Pep mampu menguasai Eropa bersama Barcelona, bersama para pasukan Bavaria dirinya hanya menjadi empat besar di kancah Eropa. Inilah yang membuat dirinya semakin tenggelam dalam diam dan membuat namanya tidak dielu-elukan suporter, seperti halnya Heynckes.
Namun, rupanya kependiaman itu mulai membuncah saat dirinya berhasil menjuarai DFB Pokal dalam pertandingan terakhirnya bersama Bayern Muenchen. Kemenangan yang, bagi seorang Pep Guardiola, terasa begitu emosional. Salah satu pemainnya, Thomas Mueller, sempat mengatakan bahwa ekspresi Guardiola seusai memenangkan pertandingan itu seperti robohnya sebuah bendungan.
"Saya senang sekali. Pep akhirnya melepaskan ekspresinya. Waw, seperti bendungan yang roboh diterjang banjir. Dengan ini, ia bisa merasa seperti manusia kembali," ujarnya.
Ia perlahan menghampiri tribun suporter, memberikan tepuk tangan, lalu menghampiri pemainnya dan memeluk mereka satu per satu, diiringi dengan tangisan. Salah satu yang terlihat dan mungkin mengaduk emosi adalah saat ia menghampiri David Alaba sambil menangis.
Pep menangis sembari memeluk David Alaba. (foto:espnfc.com)
Ia juga mulai lebih berani untuk mengungkapkan pemikirannya kepada manajemen. Ia berujar bahwa Karl-Heinz Rummenigge, CEO Bayern, tidak pernah memberikan apresiasi yang pantas untuknya selama ia menjadi manajer Bayern Muenchen.
"Ia bahkan berani mengatakan kalau Muenchen harus terus melaju jika saya pergi dan tidak pernah secara publik mengutarakan bahwa ia puas akan kinerja saya," ungkap Pep dengan rasa kesal. Wajar saja, sebab, sebenarnya Pep tidak bisa dikatakan gagal ketika menangani Muenchen.
Tiga musim berturut-turut menguasai Bavaria dengan meraih tiga trofi Bundesliga dan dua trofi DFB Pokal, cerita tentang Pep di Jerman tidaklah melulu berlandaskan kegagalan. Dosa dan luka Pep hanyalah ia gagal mengantarkan Muenchen menjuarai Liga Champions Eropa saja.
Namun, dari membuncahnya emosi Pep di atas, dapat dilihat bahwa meski pendiam, ternyata ketika sudah menjadi emosional, Pep dapat menjadi manusia yang begitu lain. Yah, seperti yang Stephen King, seorang penulis asal Amerika Serikat, pernah katakan, "Orang pendiam memiliki pikiran yang bersuara paling kencang", inilah bentuk suara pikiran dari seorang Pep yang pendiam; tangisan dan kekesalan.
foto: espnfc.,com
Komentar