Oleh: Yogie Pranowo*
Akhirnya, pemberitaan media mengenai nasib Van Gaal menemui ujungnya: ia sungguh diberhentikan sebagai manager Manchester United setelah dua hari sebelumnya membawa MU mengangkat piala FA yang sejak 2004 tak lagi menghiasi lemari trofi di Old Trafford. Segala usaha dan kerja keras Van Gaal tampaknya menjadi sebuah kesia-siaan belaka.
Memang sudah sejak lama kinerja Van Gaal dipertanyaakan. Walau dalam hampir setiap pertandingan, MU selalu mengungguli penguasaan bola dari lawan-lawannya. Namun rupanya tim asuhan Van Gaal itu lupa bagaimana cara memasukkan bola ke gawang lawan. Mereka seperti lupa bahwa esensi setiap pertandingan bola adalah kemenangan yang berarti harus memasukkan bola ke gawang lawan lebih banyak dari lawannya tersebut. Bahkan mereka cenderung seperti bermain kucing-kucingan: oper sana sini, hingga lawan kelelahan. Absurd!
Apa artinya memiliki penguasaan bola yang tinggi namun tak mampu mencetak gol? Sama seperti apa artinya berwajah rupawan namun tak memiliki pasangan… sia-sia belaka..
***
Kisah Van Gaal dan kegagalannya di MU mengingatkan kita pada lakon Waiting for Godot. Lakon ini dibuat oleh Samuel Beckett, orang Irlandia yang besar di Prancis. Naskah drama ini terdiri dari dua babak. Babak I dan babak II menunjukkan seting tempat dan waktu yang sama, yaitu di suatu jalan di desa pada suatu senja. Pada jalan itu terdapat sebuah pohon.
Pada babak I, pohon itu tanpa daun, dan pada babak II sudah muncul beberapa helai daun. Tokoh yang terdapat dalam naskah ini hanya lima orang, yakni Vladimir, Estragon, Pozzo, Lucky, serta Boy. Namun dalam dialog yang diucapkan oleh para tokoh tersebut muncul nama Godot, ialah tokoh yang mereka nantikan.
Godot tidak muncul dalam teks drama secara konvensional dalam artian hanya ada nama tokoh dan dialog tetapi hanya dalam ucapan tokoh tokoh yang membicarakannya. Dengan kata lain, kehadiran Godot adalah “ex absentia”, yakni keberadaan dari ketiadaan. Ia dibicarakan terus menerus namun ia tidak muncul. Ketiadaan dirinya telah menjadikannya sebagai pusat perhatian dan dengan cara yang demikian itulah ia menunjukkan kekuasaannya dalam hal daya paksanya terhadap Vladimir dan Estragon untuk tetap menunggunya datang.
Pada awal babak pertama, muncul tokoh Estragon yang sibuk dengan sepatu boot-nya. Ia mencoba terus menerus untuk membuka sepatunya itu namun gagal. Ketika Estragon sibuk dengan usaha melepaskan sepatunya itu, Vladimir dengan kerasionalannya mencoba memberikan argumen filosofis: “All my life I`ve tried to put it from me, saying Vladimir, be reasonable, you haven`t yet tried everything. And I resumed the struggle”. Tampak bahwa Estragon merupakan tokoh yang mudah putus asa, ia dipenuhi oleh kekesalan yang luar biasa manakala ia tidak bisa melepaskan sepatunya.
Masih ingat dengan pertandingan MU vs Arsenal? Van gaal adalah representasi dari Estragon, sementara Wenger adalah representasi dari Vladimir. Saat itu, media Inggris menggambarkan betapa kesalnya Van Gaal melihat keputusan wasit yang menurutnya sangat tidak adil. Maka ia pun mencoba untuk memeragakan gaya jatuh di atas lapangan di depan wasit dan Wenger. Dan sebagai seorang yang sedikit lebih rasional, Wenger dalam konferensi pers setelah pertandingan pun mengatakan bahwa hal itu adalah hak dari setiap pelatih.
Vladimir mencoba menghibur Estragon yang tampak sedih. Ia mengajak Estragon untuk kembali mengingat masa jayanya dulu. Bahwa dulu mereka adalah orang orang terhormat. Mereka berjalan di antara orang-orang penting dan mereka bersama bergandengan tangan menuruni Menara Eifel. Selain bangga dengan masa lalunya, Vladimir juga tampil bagaikan seorang pemimpin agama yang kerapkali bijaksana dalam menjelaskan suatu keadaan dalam Kitab Suci, namun sesungguhnya ia bingung dan tak tahu apa maksud dari isi cerita tersebut.
Setelah Van Gaal melewati satu setengah tahun menangani MU, banyak juru ulas maupun media yang mulai mempertanyakan filosofi dari meneer Belanda tersebut. Begitu membosankan! Namun saat itu ia telah berhasil membawa MU finis di posisi keempat pada akhir musim sebelumnya, di mana artinya ia berhasil mencapai target yang ia pasang pada awal kariernya. Van Gaal bukanlah orang baru di dunia kepelatihan. Sudah sekian klub besar yang pernah merasakan jasanya serta piala yang berhasil ia bawa. Karena prestasi di masa lalunya itulah yang membuat direksi MU tertarik untuk memboyong Van gaal ke Old Trafford: setelah membawa Belanda mencapai peringkat ketiga pada Piala Dunia! Namun lagi-lagi itu adalah masa lalu.
“Nothing to be done” atau dalam bahasa aslinya “rien à faire”. Perkataan ini sering diucapkan oleh Vladimir dan Estragon setiap kali mereka menghadapi kebuntuan, ketidakmungkinan, serta kegagalan. Perkataan tersebut diucapkan secara bervariasi dengan nada dasar yang sama, yakni keputusasaan. Hal ini menggambarkan dalam setiap kebuntuan yang dialami oleh manusia tanpa terkecuali, mereka akan mengeluh, namun seperti dalam teks ini, dikatakan bahwa setiap kali mereka (Vladimir dan Estragon) mengingat akan Godot yang mereka nantikan, mereka akan kembali bersemangat.
Sama seperti MU yang setiap kali mereka mengingat jumlah piala yang pernah mereka terima, para pemainnya begitu bersemangat, seakan-akan para pemain MU dan dewan direksi sungguh sungguh menanti dan menganggap Van Gaal adalah godot yang selama ini ditunggu-tunggu. Sang mesias dari dunia lain yang akan mampu membuat seluruh penggemar dan pemain bersorak gembira. Namun apa yang mau dikata jika toh tak ada perubahan pola permainan dari Van Gaal hingga ia harus angkat kaki dari ruang ganti.
Dari dialog di atas dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang kehilangan orientasi waktu, mereka tidak mengetahui apakah hari itu Sabtu, Minggu, atau bahkan Kamis. Selain itu, dari dialog di atas dapat diketahui pula bahwa sosok Estragon adalah sosok yang selalu lari dari masalah. Ketika ia bertemu dengan masalah berat, yang ia lakukan adalah tidur. Ia cenderung tidak ingin berkonfrontasi dengan persoalan yang rumit.
Salah satu alasan pemecatan Van Gaal adalah cara bermain MU yang tak menunjukkan kelasnya sebagai klub besar: membuang-buang bola dengan hanya mengoper ke depan belakang kiri kanan. Mereka seperti kehilangan orientasi permainan layaknya Vladimir dan Estragon yang kehilangan orientasi waktu. Dan ketika MU menuai hasil buruk dari sebuah permainan, sikap ke-estragon-an nya muncul: lari dari kenyataan!
***
Nothing to be done merupakan gambaran ekspresi seseorang yang sedang putus asa. Jika dilihat secara sepintas, Manchester United di bawah asuhan Van Gaal dan lakon Waiting for Godot adalah dua hal yang memiliki kesamaan satu sama lain, yakni sama-sama tidak memiliki konsep yang tak jelas.
Waiting for Godot membicarakan begitu banyak hal, mulai dari hal remeh hingga hal hal yang berbau teologis, sementara MU terlalu banyak mengoper bola tanpa arah yang jelas tanpa kemampuan menembus sepertiga akhir lapangan lawannya. Namun, tentu saja kita tidak bisa menyalahkan begitu saja baik Samuel Beckett ataupun Van Gaal sebagai otak di balik ini semua, sebab semua ini bukanlah hal mudah.
Bukan hal mudah karena drama ini merupakan drama yang ber-genre absurd. Apa yang disampaikan baik lewat dialog maupun perilaku tokohnya tampak aneh dan tak jelas. Tetapi, justru ketidakjelasan itulah yang menjadi kunci keberhasilan Beckett, sementara ini menjadi kunci kegagalan Van Gaal. Kini sungguh tak ada lagi yang bisa dilakukan Van Gaal selain mengingat-ingat kejayaan masa lalunya sambil ditemani wedang jahe di sore hari! Nothing to be done, Van Gaal!
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Stf Driyakarya. Penggemar Manchester United. Dapat ditemui di yogiepranowo@ymail.com
ed: fva
Komentar