Alexander Gauland memilih jalan lain untuk menjadi terkenal. Di saat orang-orang mulai merekam dirinya sendiri dalam bentuk video dan di unggah ke Youtube, Gauland malah memilih jalan yang tidak populer: menjadi seorang rasialis.
Mungkin, buat Gauland dan partainya, Partai Alternative für Deutschland (AfD), menjadi seorang rasialis adalah ide utama dalam hidup. Sebagai seorang ekstremis, menjadi seorang rasialis itu sah-sah saja. Bukankah itu yang menjadi alasan mengapa ia masuk Partai AfD yang notabene ada di ujung sayap kanan?
Sayangnya, mengagungkan konsepsi pribadi dengan begitu jelas di ruang terbuka bukanlah sesuatu yang bijaksana. Menyebut bahwa Islam tidak mempunyai tempat di Jerman, bukanlah sesuatu yang bisa membuat semua orang nyaman karena Islam adalah agama terbesar kedua di Jerman. Menegaskan bahwa imigran tidak diterima di Jerman pun akan menjadi sebuah kesalahan, karena berdasarkan data PBB, sebanyak hampir 15% total populasi Jerman (12 juta orang) adalah imigran.
Gauland salah langkah ketika ia menghubungkan konsepsi pribadi nya dengan sepakbola. Padahal, sepakbola begitu dicintai di Jerman karena sepakbola adalah media hiburan yang tanpa perlu memerhatikan latar belakang bahasa, ras, fisik, hingga agama.
Contohnya adalah Cha Bum-kun yang diberi nama panggilan “Cha Boom” oleh majalah Kicker karena kehebatannya. Publik Jerman tidak memandang fisik dirinya yang bermata sipit dengan kulit kuning langsat. Ia bahkan diberi gelar “Asia’s Player of the Century” oleh IFFHS atas raihan 98 golnya yang kala itu menjadi capaian tertinggi buat orang asing di Bundesliga.
Bundesliga pun tak segan untuk menerima sejumlah pemain bermata sipit lainnya. Asalkan ia punya kemampuan yang hebat, publik akan tetap menghormatinya.
Hal senada kini dirasakan oleh Jerome Boateng yang merupakan pilihan utama di lini pertahanan Bayern Munchen. Kemampuannya menahan gempuran serangan lawan, memberikannya satu tempat di skuat timnas Jerman untuk Piala Eropa 2016.
Namun, kehebatan pemain kelahiran 3 September 1988 tersebut, tak diapresiasi positif oleh Gauland. Wakil ketua Partai AfD tersebut bilang seperti ini, “Orang menganggapnya sebagai pesepakbola yang bagus, tapi mereka tak ingin Boateng menjadi tetangganya.”
Pernyataan ini seolah menyambung isu-isu rasial lain yang menggema di Jerman. Sebelumnya, Gerakan Anti-Islam, Pegida, memprotes produsen makanan ringan karena salah satu produknya mencetak wajah pesepakbola non-kulit putih, ketimbang orang Jerman asli.
Ucapan Gauland pun menjadi sensitif karena Boateng punya keturunan imigran, sebuah konsep yang ditolak Gauland dan koleganya di Partai AfD. Ayahnya adalah seorang Ghana, sementara Ibunya asli Jerman. Boateng sendiri lahir di Berlin.
Ucapan Gauland, mendapatkan respons beragam. Juru bicara Pemerintah Jerman, Steffen Seibert, mengutuk komentar Gauland sebagai sesuatu yang berbahaya dan menyedihkan.
Dukungan pun diberikan oleh para penggemar, khususnya saat pertandingan antara Jerman menghadapi Slovakia pekan lalu. Sejumlah banner dibentangkan dan bertuliskan, “Jerome, pindahlah ke sebelah kami!”
Dukungan itu pun begitu terasa untuk Boateng yang tak begitu ambil pusing, “Aku cuma bisa tersenyum,” ucapnya saat diwawancarai TV ARD, “Sungguh menyedihkan hal seperti itu terjadi saat ini. Aku percaya akan ada cukup jawaban positif di stadion. Aku melihat sejumlah banners.”
Dukungan lainpun terkespresikan lewat Twitter seperti, “Jika Anda ingin memenangi gelar buat Jerman, Anda harus punya tetangga seperti dia,” tulis akun rekan sesama Jerman, Benedikt Howedes.
Sementara itu, Gauland meyakinkan bahwa dirinya tak pernah merasa menghina Boateng. Dalam pernyataannya itu, Gauland hanya “menjabarkan perilaku sejumlah orang”.
Pemimpin AfD, Frauke Petry, mengatakan bahwa wakilnya itu tak ingat atas komentarnya tersebut. “Terlepas dari itu, saya meminta maaf kepada Tuan Boateng atas kesan yang telah timbul.”
Petry kemudian mencuit, “Jerome Boateng adalah pesepakbola super yang merupakan anggota timnas Jerman. Aku menunggu kiprahnya di Piala Eropa.”
Dalam artikel di BBC, dijelaskan bahwa pernyataan Gauland tersebut terjadi saat tengah dalam perbincangan dengan wartawan, yang mungkin saja Gauland sendiri tak yakin apakah wartawan akan menaikkan ucapannya tersebut, atau sekadar menjadi informasi latar belakang. Namun, dari sini kita bisa melihat bahwa kebencian itu mungkin saja tertanam, dan secara tidak sadar terekspos ke publik yang membuat kegaduhan yang luar biasa.
***
Ketimbang menjadi seorang rasialis, Gauland bisa memulai hidup dengan membeli sebuah kamera. Ia bisa merekam proses dirinya bangun tidur sembari mengumpulkan nyawa dengan berdadah-dadah ke kamera. Atau, kalau malu, ia bisa menempelkan kameranya di depan helm, lalu mulai bicara ngalor-ngidul di atas motor ber-cc besar sambil meributkan apakah motor 250 cc termasuk “motor gede”.
Atau, kalau sudah kelewat tua untuk naik motor, ia bisa mulai dengan bersila dengan sisir dan cermin di hadapan. Lalu, ia bisa menyombongkan diri dengan rambut putih tipisnya sembari membandingkan mana pomade yang lebih bagus: oil-based atau water-based.
Komentar