Dahulu kala, seorang Robert Frost, penyair dari Amerika Serikat, merasakan kegundahan yang cukup mendalam. Bukan gundah karena cinta yang sebenarnya terlalu sederhana, namun kegundahan yang lebih bersifat sebagai jalan menuju kedewasaan dalam hidup. Rasa gundah tak tertahankan ini ia tumpahkan dalam sebuah puisi yang berjudul The Road not Taken.
Puisi ini sendiri ia tuliskan pada 1920, kala Amerika Serikat sedang mengalami masa yang disebut sebagai Roaring Twenties. Orang-orang berusaha untuk melangkah menuju modernitas dan menghilangkan rasa-rasa tradisional dalam segala aspek kehidupan mereka. Ini menimbulkan sebuah kegalauan dalam diri seorang Frost.
Two roads diverged in a yellow wood
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth
Dalam stanza (bait) awal dari puisi ini, tercermin jelas bahwa seorang Frost sedang dilanda sebuah kebimbangan. Kemana ia akan melangkah, dan kemana ia akan melanjutkan perjalanan dalam hidupnya. Jika dikaitkan dengan masa Roaring Twenties, maka Frost bimbang apakah ia akan ikut bersama masyarakat menuju modernitas atau tetap mempertahankan rasa tradisional yang sudah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun lamanya.
***
Beratus tahun kemudian, yang Frost rasakan di atas dirasakan oleh seorang pemain sepakbola berkebangsaan Inggris. Ia adalah Jamie Vardy. Jamie ini adalah pemain yang sudah mengalami perjalanan spiritual yang cukup panjang. Ia adalah pemain yang benar-benar menjadi contoh dari ungkapan From Zero to Hero.
Pernah merasakan menjadi pesepakbola non-liga selama sembilan tahun sebelum akhirnya mampu mencicipi kompetisi Liga Primer Inggris bersama dengan Leicester, dan pada puncaknya meraih gelar juara Liga Primer Inggris pada musim 2015/2016. Selama itu, hidupnya tidak pernah berkaitan dengan hal-hal yang bersifat modern.
Namun, berkat dirinya yang berhasil menjuarai Liga Primer Inggris, tawaran menuju modernitas pun datang. Pihak yang menawarkan modernitas itu datang dari sebuah klub bernama Arsenal. Tim yang bermarkas di London Utara ini dikabarkan tertarik membawa Jamie Vardy menuju dunia modern.
Tawaran kisaran 20 juta pounds, seperti yang dilansir Guardian, dikeluarkan untuk memboyong Vardy menuju Arsenal. Ia pun akhirnya mengalami sebuah kebingungan. Pada Mei lalu, ia sudah mengutarakan bahwa dirinya akan bertahan di Leicester City, seperti yang ia ungkapkan kepada ESPN FC.
"Kami baru saja memenangkan trofi Liga Primer Inggris, dan kami akan bermain dalam ajang Liga Champions Eropa musim depan. Saya bahagia di sini," ungkapnya.
Tapi, jika dipikir secara logika, pemain mana, sih, yang menolak tawaran untuk bermain di klub besar, apalagi dengan iming-iming gaji yang besar. Beberapa pemain sudah merasakan hal ini, dan mereka lebih memilih untuk menyeberang kepada modernitas dengan harapan dan kehidupan yang lebih baik.
Ranieri, manajer Vardy di Leicester pun mengakui bahwa ia tidak akan melarang-larang pemainnya jika suatu saat nanti pemainnya ingin pindah klub. Ia tidak memiliki kuasa menggugat keputusan pemain yang ingin pindah.
"Saya sudah mengatakan beberapa kali kalau ada seorang pemain yang mendatangi saya dan berkata kepada saya, "Saya ingin pindah, pak," maka saya akan mengizinkannya karena itu adalah hal yang pasti terjadi," ungkap Ranieri.
Kebingungan ini mungkin bisa digambarkan dengan stanza kedua dari puisi The Road not Taken, bahwa kalau Vardy pindah ke Arsenal, iming-iming kehidupan yang lebih baik sudah menanti dirinya, meski semua itu masih terlihat samar bagi seorang Vardy.
Then took the other, as just as fair
And having perhaps the better claim
Because it was grassy and wanted wear
Though as for that the passing there
Had worn really them about the same
***
Jika tawaran dari Arsenal benar adanya, bisa jadi Vardy saat ini memang tengah menimbang-nimbang. Tawaran yang tampak baginya seperti sebuah persimpangan; apakah ia akan tetap bersama hal yang tradisional bersama Leicester atau melenggang menuju modernitas bersama Arsenal. Vardy harus memikirkannya dengan matang-matang benar.
Pada dasarnya, dua-duanya bukan pilihan yang buruk, hanya saja tiap pilihan yang kelak Vardy pilih pasti akan menghasilkan sebuah konsekuensi berbeda yang harus ia terima. Hal yang baik, tentunya, adalah ketika konsekuensi itu tidak menjadi sebuah penyesalan bagi seorang Vardy, seperti yang Frost gambarkan dalam stanza terakhir puisi The Road not Taken.
I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a yellow wood, and I---
I took the one less traveled by
And that has made all the difference
foto: photographsandsnaps.com
Komentar