Beberapa bulan terakhir, Venezuela sedang dilanda krisis yang cukup serius. Tingginya angka kejahatan dan tingginya angka pembunuhan membuat kondisi politik dan ekonomi di negara tersebut semakin terseok. Inflasi besar-besaran yang melanda Venezuela selama dua tahun terakhir membuat beberapa raksa investor AS dan negara-negara Eropa mulai menarik jangkar dari negara yang dikenal sebagai Land of Grace tersebut. Beberapa barang pokok hilang dari pasaran karena para raksasa tersebut sudah angkat jangkar dari Venezuela. Belum lagi beberapa perusahaan penerbangan juga dikabarkan ikut hengkang dari Venezuela.
Dalam bidang politik, gelombang protes terhadap pemerintahan Presiden Nicolas Maduro datang dari pihak oposisi terkait kondisi Venezuela yang tidak juga membaik. Aksi protes tersebut semakin memanas ketika kelompok sayap kanan Venezuela yang menjadi oposisi pemerintahan sosialis Maduro memaksa agar presiden tersebut mundur dari jabatannya.
Pada tanggal 1 Juni kemarin kelompok oposisi menggalang tanda tangan sebagai petisi menuntut mundurnya Presiden Maduro. Petisi tersebut diklaim telah di tandatangani oleh 10.000 warga Venezuela yang menuntut pemakzulan Maduro. Dan badan pemilihan umum pun mulai mengkaji ulang apakah petisi tersebut benar adanya ataukah sarat akan kecurangan. Seperti yang dikutip dari Pikiran Rakyat, Presiden Maduro menyatakan bahwa dirinya telah melaporkan petisi tersebut untuk diverifikasi kebenarannya, karena ia menggagap bahwa 40% dari petisi tersebut adalah tanda-tangan dari warga yang sudah meninggal.
Munculnya referendum untuk memakzulkan pemerintahan juga terjadi pada masa pemerintahan Hugo Chaves. Tokoh utama dari Revolusi Bolivar Venezuela ini adalah presiden Venezuela sebelum Nicolas Maduro. Pada April 2002 kudeta militer dilakukan untuk memakzulkan presiden Hugo Chaves. Dan pada tahun 2004 referendum dilakukan oleh kelompok oposisi untuk memakzulkan presiden Hugo Chavez kala itu.
Dalam catatan sejarah, Venezuela adalah negara yang bisa dibilang akrab dengan kondisi krisis. Spekulasi berhembus bahwa krisis yang terjadi di Venezuela adalah dampak dari perseteruan politik dari kelompok kanan yang pro dengan neoliberalisme, tidak rela bila pemerintahan dipegang oleh kelompok sosialis yang pro rakyat. Dan faktanya, di negara manapun, stabilitas politik dan pemerintahan suatu negara sangat-lah berdampak langsung pada kondisi ekonomi dan sosial negara tersebut.
Kondisi serupa juga terjadi dalam perjalanan sepakbola Venezuela. Venezuela adalah negara yang mengalami krisis prestasi dalam sejarah panjang persepakbolaan. Di kancah internasional, selama tiga dasawarsa terakhir, yaitu dari tahun 1978-2014 timnas Venezuela tidak pernah lolos dalam kualifikasi Piala Dunia. Dalam pagelaran akbar sepakbola Benua Amerika, krisis prestasi pun dirasakan oleh Venezuela.
Selama kiprahnya di Copa America, tercatat capaian terbaik dari Venezuela adalah juara keempat pada tahun 2011, setelah kalah melawan Peru pada pertandingan perebutan juara tiga. Sebelumnya pada Copa 2007, Venezuela harus puas bermain sampai perempat final saja setelah kalah 1-4 melawan Uruguay. Sedangkan di tahun 2015, Venezuela harus puas pada babak penyisihan saja setelah menempati posisi terakhir di grup C.
Bila mengaca dua periode Copa America yang lalu, rival terberat dari Venezuela di Grup C kali ini adalah Uruguay. Di Copa 2011 Uruguay berhasil memboyong pulang piala Copa America karena gelar juara yang diraihnya. Berbeda dengan Meksiko, Meksiko selama dua tahun terakhir hanya bermain sampai babak penyisihan grup saja. Sementara Jamaika yang menjadi tim undangan pada Copa America 2015 juga hanya bermain sampai babak penyisihan saja.
Beberapa nama pemain muda Venezuela, digadang-gadang akan membawa nasib sepakbola Venezuale keluar dari masa kriris prestasi, dimulai pada Copa America Centenario kali ini. Beberapa nama seperti Adalberto Penaranda dan Josef Martinez diprediksi akan memantapkan lini depan kesebelasan Venezuela nanti.
sumber gambar: foxnews.com
(gigih)
Komentar