Apa kesamaan Peru dan Islandia? Di dua kompetisi berbeda, keduanya sukses membuat kesebelasan yang lebih diunggulkan frustrasi. Peru mampu membuat Brasil pulang lebih awal, sementara Islandia mampu membuat Portugal hanya bermain imbang.
Rasa frustrasi bisa diperlihatkan dalam berbagai bentuk, salah satunya lewat cara seseorang memandang sesuatu. Penggemar—dan tentu saja simpatisan Brasil—berang karena Peru menang dengan cara licik. Penyerang Peru, Raul Rudiaz, dianggap mendorong bola dengan tangan saat mencetak gol pada menit ke-75. Wasit yang sempat berdiskusi selama beberapa menit, akhirnya mengesahkan gol tersebut. Brasil sejatinya hanya tinggal meraih hasil imbang untuk lolos ke babak selanjutnya. Namun, kekalahan membuat Brasil harus pulang lebih cepat.
Para penggemar pun menyalahkan wasit dan mengerdilkan Rudiaz. Mereka menganggap kalau Peru bermain tidak sportif. Memang, dalam tayangan ulang terlihat kalau bola memang mengenai tangan Rudiaz, meski sang pemain mengaku kalau bola justru mengenai pahanya.
Sebelum dipecat dari jabatannya sebagai pelatih Brasil, Carlos Dunga mengeluhkan keputusan Andres Cunha, wasit yang memimpin laga tersebut.
“Saya tak mengerti mengapa wasit harus berbicara dengan asistennya selama empat menit dan tak menyelesaikan apapun. Ini cukup aneh,” kata Dunga, “Semua orang melihat apa yang terjadi. Kami tidak bisa mengubahnya.”
Hal senada pun diungkapkan bek tengah Brasil, Miranda, “Kami melihat bola mengenai tangan (Rudiaz) tapi Anda tak bisa mengeluh.
“Wasit mengatakan dia mendiskusikan soal itu dengan empat ofisial dan mereka tidak melihat adanya handball. Brasil mencoba sejak menit pertama untuk mencetak gol, tapi sayangnya, bola tidak mau masuk gawang. Itulah sepakbola. Kalau Anda tidak mencetak gol, Anda harus membayarnya.”
Beberapa hari kemudian, giliran Portugal yang dilanda frustrasi setelah ditahan imbang 1-1 oleh Islandia. Sang megabintang, Cristiano Ronaldo, mengeluhkan gaya bermain Islandia yang kelewat bertahan.
“Islandia tidak melakukan apapun. Mereka hanya bertahan, bertahan, bertahan, dan mengandalkan serangan balik. Ini adalah malam keberuntungan mereka,” ucap Ronaldo.
Namun, salah satu ucapan Ronaldo yang menarik perhatian adalah yang ini: “Kami semestinya mendapatkan tiga poin, tapi tak masalah. Aku pikir mereka memenangi Piala Eropa dari cara mereka merayakan kemenangan di akhir pertandingan. Itu mengejutkan. Menurut opiniku, ini menunjukkan mentalitas yang lemah dan mereka tak akan bisa melakukan apapun di kompetisi ini.”
Kalau dipikir-pikir, ucapan Ronaldo memang ada benarnya. Apa poinnya bermain terus-terusan bertahan dan mengandalkan serangan balik. Meminjam istilah Ronaldo, ini adalah sebuah mentalitas yang lemah yang semestinya tidak bisa memenangi apapun. Namun, benarkah demikian?
Berdasarkan fenomena di sepakbola dalam beberapa tahun terakhir, kesebelasan yang identik dengan permainan bertahan, justru bisa mengancam. Bahkan, Leicester City justru berhasil menjadi juara Premier League dengan cara yang seperti ini. Toh, hanya kemenangan yang dihitung bukan gaya permainan.
Dari sini bisa terlihat kalau cara berpandangan Ronaldo menjadi kurang tepat. Hal ini bahkan disindir oleh Federasi Sepakbola Islandia, usai komentar Ronaldo tersebut: “Mentalitas macam apa yang merengek sepanjang pertandingan?”
Sejatinya, Brasil dan Portugal memiliki satu kesamaan dalam cara berpikir. Mereka lebih menyalahkan pihak lain, ketimbang memperbaiki kekurangan diri sendiri.
Dalam kasus Brasil misalnya, daripada menyalahkan wasit dan memusingkan soal gol Rudiaz, mereka harusnya bertanya mengapa tak bisa mencetak banyak gol seperti tujuh gol yang menembus gawang Haiti? Mengapa pertahanan mereka bisa ditembus oleh Peru yang bukanlah lawan sebanding buat Brasil? Atau jangan-jangan Tim Samba harus mengakui kalau merekalah yang kalah kelas dari Peru.
Kasus serupa muncul pada Ronaldo. Namun, hal ini sudah terlebih dahulu dijawab oleh Pelatih Islandia, Lars Lagerback, yang meminta agar Portugal bermain lebih baik untuk mengalahkan anak asuhnya.
“Sepakbola ya seperti itu. Anda bisa memilih akan memainkan sepakbola yang Anda sukai. Sangat umum di antara pemain dan pelatih bahwa mereka sangat berhasrat ingin menang, mereka selalu menyalahkan lawan. Mereka harus bermain lebih baik jika mereka ingin Islandia, sesederhana itu,” tutur Lagerback dikutip dari Detik.
Ronaldo pun diingatkan oleh Gylfi Sigurdsson bahwa Islandia memang negara kecil yang hanya berpenghuni 330 ribu jiwa. Bahkan, sebanyak delapan persen dari populasi mereka hadir ke Prancis.
“Begitulah cara kami bermain. Anda pun bisa lihat kalau mereka sedikit teatrikal,” kritik Sigurdsson.
Mengatai seseorang punya mental lemah atau dalam kasus Ronaldo “small mentality”, malah akan menjadi bumerang yang menyerang balik. Lalu, orang-orang pun akan menghardik: “Melawan negara bermental lemah kok cuma bisa seri. Siapa yang mentalnya lemah sebenarnya?”
Komentar