Oleh: Abiet Saputra*
Sudah lima gelaran Serie-A mulai dari musim 2011/2012 hingga 2015/2016 dilewati Fransesco Totti hanya untuk menyaksikan Gianluigi Buffon mengangkat trofi Serie-A bersama Juventus. Musim 2016/2017 ini bisa jadi akhir dari upaya Totti untuk menyudahi hegemoni Juventus di Serie A, mengingat usianya yang telah menginjak 40 tahun.
Upaya tersebut bisa dibilang lebih berat karena skuat Juventus yang semakin kuat. Bergabungnya Dani Alves, Marko Pjaca, Mehdi Benatia, Gonzalo Higuain, serta Miralem Pjanic ke Juventus, membuat Totti harus bekerja lebih keras dan bermain lebih konsisten bersama para Gladiator Roma di musim depan. Terlebih, pergerakan Roma di bursa transfer bisa dibilang kurang meyakinkan. Baru Stephan El Shaarawy yang dipermanenkan dari AC Milan, Allison Becker, Gerson, Emerson Palmieri, Marcos Rui, dan Juan Jesus, yang siap membantu Totti untuk meraih scudetto keduanya bersama AS Roma.
Memulai kariernya dari AS Roma Junior pada 1992, Totti bisa dikatakan sebagai sosok Pangeran Roma yang sulit digantikan. Lebih dari 23 tahun, Totti menggunakan nomor punggung 10 milik AS Roma. Loyalitasnya kepada klub ibukota Roma ini pula yang menyamakannya dengan legenda lain seperti Paolo Maldini dan Ryan Giggs yang hanya membela satu kesebelasan sepanjang karier sepakbola mereka. Pemain yang penalti panenka-nya pernah ditangkap kiper Lecce, Vincenzo Sicignano, secara memalukan ini, telah merasakan sekali gelar scudetto, Coppa Italia, dan Super Coppa Italia bersama Roma. Bersama tim nasional Italia, Totti juga pernah meraih Piala Dunia 2006 di Jerman. Praktis, hanya gelar Liga Champions yang belum pernah dirasakan oleh Il Capitano selama kariernya.
Dua musim terakhir bersama Roma, boleh dibilang bukanlah musim yang baik bagi suami dari Ilary Blasi ini. Totti hanya mampu menorehkan 15 gol bersama Roma di semua ajang yang diikuti. Dia juga bukanlah pilihan utama bagi Rudi Garcia, dan sempat berselisih dengan Luciano Spalleti karena lebih sering dibangkucadangkan.
Hal tersebut bukannya tanpa alasan. Usia yang tidak lagi muda, seringnya dibekap cedera, hingga pemain muda yang lebih bertenaga, membuat Totti harus rela kehilangan posisinya di starting line-up Roma. Quartet lini tengah Roma hampir pasti selalu diisi oleh Nainggolan, Pjanic, dan Daniele De Rossi, pada dua musim terakhir. Konsistensi permainan yang ditunjukkan oleh Miralem Pjanic juga semakin membuat suporter Roma sedikit melupakan peran sang pangeran Roma yang mulai terpinggirkan.
Di lini serang pun Roma sudah disesaki oleh beberapa striker handal. Nama-nama seperti Edin Dzeko, Diego Perotti, Mohammad Salah, hingga Stephen El Shaarawy, selalu menjadi pilihan utama Luciano Spalletti di lini depan. Sebagian Romanisti sempat melakukan protes kepada Spalletti karena dianggap mengesampingkan Totti, hingga Totti sempat digosipkan akan hengkang dari Roma menuju Leicester City.
Namun, Totti tetaplah Totti. Walau di usia yang tidak muda lagi, Totti tetaplah pemain yang dapat mengubah pertandingan ketika diturunkan. Roma masih tetap membutuhkan Totti sebagai pemimpin yang berkharisma ketika di lapangan maupun ketika dia dibangkucadangkan. Dalam enam kali penampilan terakhirnya sebagai pemain pengganti musim lalu, Totti berhasil menceploskan empat gol bagi Roma. Sebuah angka yang cukup menakjubkan untuk penyerang gaek seusia Totti.
Pada 30 September 2014, masih segar dalam ingatan saya bagaimana Totti mengubah pertandingan ketika menciptakan gol indah ke gawang Joe Hart ketika Roma menahan imbang Manchester City 1-1 di Etihad Stadium pada fase grup Liga Champions. Memanfaatkan umpan terobosan dari Radja Nainggolan, Totti berlari melewati Vincet Kompany sebelum akhirnya melakukan tendakan chip untuk mengelabui Joe Hart.
Perayaan gol dengan mengisap satu jempol tangan dan mengangkat satu tangan ke udara menjadi tanda bagi The Citizens bahwa mereka baru saja dibobol oleh Sang Pangeran Roma. Gol tersebut sangat berarti istimewa untuk Totti. Bukan saja karena berhasil membungkam Etihad Stadium, Gol tersebut juga membuat Totti menyematkan namanya sebagai pemain tertua yang mampu menciptakan gol di Liga Champions menggantikan Ryan Giggs. Satu lagi rekor berhasil dibuat olehmu, Il Capitano!
Satu tahun kemudian, Totti kembali membuktikan bahwa dirinya belum habis. Kedatangan Edin Dzeko ke AS Roma di awal tahun 2015 (koreksi: mestinya pada awal musim 2015/2016) sebetulnya membuat jam bermain Totti semakin berkurang. Di belakang Dzeko, Rudi Garcia lebih senang memainkan Pjanic sebagai pengatur ritme dan gelandang serang utama Roma. Praktis, Totti hanya berada di pilihan kedua bagi Rudi. Namun, di laga penting Derby Della Capitale pada 11 Januari 2015, Rudi Garcia mau tidak mau menurunkan sang Pangeran Roma karena desakan Romanisti.
Hasilnya? Setelah tertinggal oleh dua gol Lazio di babak pertama, Roma berhasil memaksakan hasil imbang setelah dua gol Totti merobek gawang Lazio yang dijaga oleh Federicco Marchetti. Pada kesempatan itu pula, Sang Pangeran Roma juga melakukan perayaan gol unik dengan berfoto selfie di hadapan Romanisti yang datang untuk mendukungnya. Perayaan gol yang melegenda dari sang legenda.
(Catatan redaksi: Lini serang Juventus pada musim 2014/2015 dihuni Adam Ljajic, Juan Iturbe, Gervinho, Mario Borriello, Mattia Destro, dan Antonio Sanabria.)
Dua momen di atas membuktikan bahwa “No Totti, No Party” masih berlaku bahkan ketika menit bermain sang kapten tidak sebanyak dulu. Pengoleksi 754 laga dan 303 gol bagi AS Roma tersebut, kini mengincar scudetto kedua di tahun (mungkin) terakhirnya bersama Roma.
“Saya berharap saya bisa meraih gelar scudetto kedua bersama Roma. Kami yakin dan memiliki ambisi besar, walau Juventus dan Napoli semakin kuat," ujar Totti.
Musim depan, Totti tetap memiliki peranan penting bagi tim ibu kota. Setidaknya, terdapat dua peran penting yang harus dijalankan Totti jika ingin meraih scudetto dan menghentikan hegemoni Juventus di Serie-A. Pertama, Totti harus menjadi teladan. Ya, tidak dapat dipungkiri bahwa bagi sebagian besar anak muda seperti Leandro Paredes dan El Shaarawy, Fransesco Totti adalah teladan buat mereka. Totti diharapkan mampu menjadi mentor bagi para pemain muda ini untuk meningkatkan kemampuan individu maupun mental dalam menghadapi pertandingan. Keberhasilan Totti dalam membina mereka akan menjadi kekuatan Roma untuk mengarungi musim depan dengan konsisten.
Kedua, Totti harus bisa menjaga performa. Memangkas liburannya dan memulai latihan lebih awal menjadi bukti bahwa Totti siap memberikan performa terbaiknya musim depan. Hal ini tidak mengherankan, karena Totti yang sekarang sudah tidak sama lagi dengan Totti yang dulu membawa Roma menjuarai Serie-A bersama Nakata, Batistuta, dan Montella.
Setiap menit bermain kini harus sangat dimaksimalkan agar Totti terus mendapat kepercayaan dari Spalletti. Diturunkan sebagai starting line-up ataupun sebagai pemain pengganti, Totti diharapkan mampu memberikan sentuhan terbaiknya. Sang Trequartista harus mampu menyokong Dzeko di depan, serta menjadi pengatur ritme lini tengah Roma bersama Strootman dan Nainggolan. Jika tidak? Maka Il Capitano harus siap kembali menghangatkan bangku cadangan di musim terakhirnya ini.
Jika kedua hal tersebut bisa dilakukan Totti di musim depan, garansi membawa scudetto kembali ke kota Roma jelas terbuka lebar. Andrea Pirlo telah membuktikannya ketika ia berseragam Juventus. Di saat semua orang menganggap Pirlo sudah “habis”, il Professore justru berhasil membawa Juventus meraih scudetto. Jadi, bukan hal yang mustahil pula bagi Totti untuk membawa Roma kembali meraih scudetto sekaligus mengakhiri hegemoni Juventus di Serie-A.
Ban kapten boleh mulai silih berganti disemat di lengan De Rossi, maupun Alesandro Florenzi. Namun, Totti tetaplah Totti. Dia adalah simbol kota Roma yang akan sangat sulit digantikan oleh siapapun. Dia adalah wujud nyata dari rasa cinta yang tidak dapat diluluhkan oleh materi.
Pada 2004 dia bisa saja bergabung dengan Real Madrid, atau memilih bergabung ke Leicester City yang ditukangi oleh Ranieri. Nyatanya? Tidak. Dia tetap memilih mengenakan seragam yang sama. Seragam yang selalu Totti muda impikan ketika dia masih menjadi bagian dari Romanisti. “Because I grew up playing for Roma and I want to die playing for Roma," ujar Totti.
Di musim terakhirnya bersama Roma, Totti hanya memiliki satu mimpi sederhana. Mimpi yang sama sederhananya ketika seorang Romanisti muda berkhayal menjadi Pangeran Roma. Ya, Mimpi Totti untuk menyudahi hegemoni, dan memberikan hadiah terakhir bagi Romanisti. "Grazie Capitano.”
*Penulis adalah Seorang Romanisti yang tidak Romantis. Berakun twitter @abietsaputra
ed: fva
Komentar