Jika Indonesia tidak pernah kehilangan musisi-musisi hebat yang lahir dari jalanan, maka Brasil pun tidak pernah kehilangan pemain sepak bola dengan talenta luar biasa yang tumbuh dan berkembang dari jalanan. Sekarang ini, nama-nama seperti Neymar, Coutinho, Firmino, Thiago Silva, Oscar, dan Marcelo tidak begitu asing di telinga kita.
Dengan talenta pemain yang luar biasa seperti itu, mestinya tidak sulit bagi mereka untuk menjadi juara. Namun yang terjadi justru sebaliknya, penampilan Brasil di Piala Dunia 2014 dan dalam dua edisi Copa America pada tahun 2015 dan 2016 jauh dari kata memuaskan. Bukan hanya gagal meraih juara, tapi juga tidak merepresentasikan permainan Jogo Bonito yang menjadi ciri khas permainan mereka.
Jogo Bonito atau yang dalam bahasa Inggris memiliki arti Play Beautifully merupakan permainan khas Brasil yang mengandalkan teknik dan kemampuan individu pemainnya. Di zaman sekarang ini gaya permainan Jogo Bonito ala Brasil sudah mulai punah dikarenakan kecenderungan bermain pragmatis dan mementingkan hasil.
Jika Manchester United memiliki sebuah generasi emas bernama Class of ’92, 10 tahun sebelumnya Brasil pun memiliki generasi emas bernama Class of ’82 yang menggemparkan dunia dengan Jogo Bonito-nya. Dikomandani oleh seorang pelatih bertangan dingin yang gila akan sepakbola menyerang dalam diri Tele Santana, inilah skuat Brasil dalam Piala Dunia 1982 Spanyol.
Full-back mereka Leandro dan Junior tidak hanya kuat dalam bertahan tapi juga cepat dan rajin melakukan overlap, seperti yang kita lihat dalam diri Dani Alves dan Marcelo. Tercatat Oscar dan Junior berhasil menyumbang masing-masing satu gol, meski keduanya bermain sebagai pemain belakang.
Kemudian terdapat nama Zico sebagai gelandang serang. The White Pele berhasil menunjukkan kapasitasnya sebagai pemain nomor 10 yang bermain sangat cemerlang, mencetak empat gol dan semuanya adalah gol-gol yang dicetak dengan cara yang indah. Ya, Zico kita kenal sebagai mantan pelatih Jepang yang berhasil memenangkan Piala Asia 2004 merupakan bagian dari tim nasional Brasil dalam Piala Dunia 1982 Spanyol ini.
Lalu di belakang Zico ada Cerezo dan Falcao. Cerezo memiliki stamina dan daya jelajah yang luar biasa, Ia lebih bermain defensif dan memberikan cover terhadap seluruh lapangan. Sedangkan Falcao dipasang sebagai seorang deep-lying playmaker. Walaupun bermain sebagai pemain tengah, produktivitas pemain yang memiliki julukan the eighth King of Rome cukup baik. Ia sudah mencetak tiga gol sepanjang penampilannya dalam ajang Piala Dunia 1982.
Selanjutnya Eder yang bermain di sayap kiri memiliki kecepatan luar biasa dan tendangan kaki kiri mematikan. Satu dari dua gol yang ia cetak sepanjang Piala Dunia 1982 merupakan tendangan bebas melengkung dengan kaki bagian luar. Gol legendaris Roberto Carlos ke gawang Prancis tidak lebih dari penegasan bahwa tendangan seperti itu sudah jadi ciri khas pemain kidal Brasil.
Sementara itu, di sisi kanan ada nama Socrates yang memiliki postur identik dengan Maroune Fellaini. Menjabat sebagai kapten Brasil, kontribusinya jelas lebih dari sekedar sikut yang mengarah ke wajah lawan. Dengan postur tinggi menjulang, Socrates memiliki daya jelajah, dribel, dan tendangan keras yang akurat. Gol jarak jauhnya ke gawang Uni Soviet ketika penyisihan grup bisa adalah bukti dari penampilan moncernya.
Pada praktiknya kelima gelandang Brasil bermain sangat dinamis dan saling mengisi satu sama lain. Semua itu kemudian dilengkapi oleh hadirnya jiwa striker yang haus gol dalam diri Serginho. Serginho berhasil menciptakan dua gol sepanjang perjalanan Brasil di turnamen ini.
Setelah melewati fase grup pertama dengan status tak terkalahkan, dengan catatan memasukkan 10 gol dan kemasukan satu gol, dalam fase grup kedua mereka tergabung dalam “grup neraka” bersama dengan Italia dan Argentina. Tentu, sistem ini berbeda dengan Piala Dunia yang kita kenal sekarang. Pada zaman itu peserta Piala Dunia adalah 24 tim dan terbagi menjadi enam grup. Setiap dua tim yang lolos dari masing-masing grup akan dibagi lagi menjadi empat grup dan hanya juara grup lah yang akan lolos menuju semifinal.
Argentina dipaksa menyerah 1-2 kala berhadapan dengan Italia, menyebabkan mereka harus menang melawan Brasil jika ingin menjaga asa untuk lolos ke semifinal. Nyatanya Argentina, yang saat itu diperkuat oleh legenda hidup mereka, Maradona, tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan Maradona harus menerima kartu merah akibat menendang pemain Brasil dan menyebabkan Argentina kalah telak dengan skor 3-1.
Baca Juga: Piala Dunia 1982: Saat Maradona Menjadi Balerina
Bermodal kemenangan telak 3-1 atas Argentina dan penampilan trengginas sepanjang turnamen, Brasil jelas diunggulkan atas Italia. Penampilan Italia yang tidak meyakinkan selama fase grup pertama dengan meraih 3 kali hasil imbang, semakin menegaskan hal tersebut. Apalagi untuk lolos ke semi-final, Brasil hanya membutuhkan hasil imbang.
Falcao yang saat itu memperkuat AS Roma di Serie A Italia mengatakan bahwa kepercayaan diri pemain Brasil sangat tinggi untuk dapat mengalahkan Italia. Akan tetapi perjuangan mereka tidak mudah karena baru beberapa menit laga berjalan, Paolo Rossi yang bermain untuk Juventus berhasil membawa Italia unggul 1-0. Walaupun Socrates mampu menyamakan kedudukan menjadi 1-1, Rossi kembali membawa Italia unggul dengan skor 2-1.
Pada akhirnya Rossi mencetak hattrick nya pada pertandingan ini sekaligus membawa Italia unggul atas Brasil dengan skor 3-2. Kekalahan ini menjadi pukulan telak bagi Socrates dan kawan-kawan. Digadang-gadang menjadi juara, perjuangan mereka kandas di tangan Italia yang tidak diunggulkan.
Lebih dari itu, banyak pihak yang terhibur dengan permainan Brasil dan tak segan menyebut mereka sebagai raja tanpa mahkota. Gelar yang sama juga pernah disematkan pada timnas Hungaria pada Piala Dunia 1954 (Magical Magyars) dan timnas Belanda pada Piala Dunia 1974 (Total Football).
Sebenarnya, apa yang menyebabkan tim Hungaria 1954, Belanda 1974, dan Brasil 1982 layak disebut sebagai raja tanpa mahkota?
Dalam kisah nyata ataupun dongeng, salah satu tugas dari raja adalah memastikan rakyatnya hidup dengan bahagia. Pada konteks ini, pemain bola adalah rajanya dan penonton adalah rakyatnya. Mereka berlomba-lomba ingin menunjukkan permainan terbaik mereka yang mengundang decak kagum dan tepuk tangan dari penonton.
Brasil 1982 adalah raja sejati. Tele Santana tahu bahwa tim asuhannya hanya membutuhkan hasil imbang melawan Italia untuk melaju ke babak selanjutnya. Ketika skor 2-1, Falcao berhasil menyamakan kedudukan menjadi 2-2 lewat tendangan keras dari luar kotak penalti.
Jika pelatih Brasil saat itu Dunga, Brasil hanya akan bermain bertahan dan tidak berusaha memenangkan pertandingan walau ia tahu Seleccao punya peluang untuk memenangkannya, persis seperti apa yang Dunga lakukan saat Brasil kalah melawan Peru di Copa America 2016.
Tele Santana bukanlah Dunga. Ia hanya ingin timnya menyerang dan mencetak gol. Karena itulah Brasil, bermain untuk menghibur penonton. Namun, anti-klimaks pun terjadi. Lewat sebuah kemelut di depan gawang, Rossi mengubur impian Socrates dkk.
Dalam sebuah wawancara, Tele Santana mengatakan pada anak asuhnya bahwa mereka tak perlu kecewa dengan hasil ini karena seluruh penjuru dunia sudah terpesona dengan cara mereka memainkan sepakbolanya. Zico pun meng-iyakan bahwa Brasil sudah kalah terhormat dari Italia. Ketika mereka kembali dari Spanyol, sambutan hangat warga Brasil hanya gambaran kecil dari cinta yang timbul dari warga dunia pada Brasil 1982.
Piala Dunia 1982 tidak mencatat nama Brasil sebagai juaranya, tapi sejarah mencatat mereka sebagai salah satu tim nasional terbaik yang pernah bermain di Piala Dunia.
Sebagai penutup, raja memang identik dengan mahkota. Tapi bukan berarti, mahkota yang menunjukkan identitas seorang raja. Identitas raja sesungguhnya dilihat dari cara mereka memperlakukan rakyatnya. Ketika rakyat terpesona dengan raja, apa mereka masih membutuhkan mahkota?
foto: footballtribute.com
Penulis adalah seorang mahasiswa yang semakin bertambahnya umur semakin berkurang waktu untuk nonton bola, berakun twitter @alfonsuslibra
Komentar