Untuk ukuran seorang pemain bernilai 75 juta paun, penampilan Gonzalo Higuain dalam debutnya untuk Juventus amat tidak meyakinkan. “Higuain seperti orang Suriah yang gemuk di sini,” cuit akun @Ancelottied.
Dunia sepakbola pada bursa transfer musim panas ini terbilang gempar oleh gebrakan Juventus. Pertama, mereka terlibat dalam penjualan Paul Pogba senilai 100 juta euro lebih; Kedua, mereka membeli Higuain yang nilai transfernya amat besar untuk ukuran kesebelasan Liga Italia.
Memang, penjualan pemain bernilai tinggi adalah hal yang biasa di sepakbola. Namun, yang dilakukan Juventus membuat penggemar mengerenyitkan dahi: pantaskah mereka dibanderol begitu mahal?
Higuain ketiban sial karena menampakkan dirinya sebelum Pogba melakukan debut untuk Manchester United. Momen seperti ini membuatnya menjadi perhatian karena publik menantikan, “Bagaimana sih penampilan penyerang senilai 75 juta paun (90 juta euro)?”
Dalam pertandingan menghadapi West Ham United pada Minggu (7/8) kemarin, Higuain diturunkan pada awal babak kedua menggantikan Mario Mandzukic. Hal yang paling mencolok dari dirinya tak lain karena perut penyerang 29 tahun tersebut yang “offside”. Publik pun merisak, utamanya di media sosial.
Setidaknya, terdapat tiga alasan yang membuat perut buncit Higuain bukan menjadi persoalan untuk Juventus:
Berlibur Setelah Musim yang Padat
Sejak tiga musim terakhir, Higuain selalu mendapatkan musim yang panjang. Pada 2014, ia tak bisa memaksimalkan liburan musim panas karena diangkut Alejandro Sabella ke Piala Dunia. Pada 2015 dan 2016, ia juga disertakan Gerardo Martino ke Copa America.
Kelelahan secara fisik dan mental tentu tak bisa terhindarkan. Ini pula yang membuat Napoli memberinya waktu libur yang lebih panjang di saat rekan-rekannya sudah mulai latihan. Akibatnya, fisik Higuain tidak lebih prima ketimbang para pemain yang memulai latihan lebih dulu.
Meski tetap berlatih kala berlibur, tapi tanpa program dan bimbingan yang jelas dari dokter tim, tak akan membuat hasil latihan menjadi lebih efektif. Istilahnya, mereka melakukannya untuk “menjaga kebugaran”. Kondisi fisik yang tidak terkontrol akan membuat tubuh menjadi tidak lagi terbentuk yang berakhir pada kegemukan.
Sudah menjadi pandangan umum bahwa seorang atlet, apalagi pesepakbola, mesti punya tubuh yang tak jauh berbeda dengan Cristiano Ronaldo: Ototnya mesti kuat, tanpa timbunan lemak. Pesepakbola yang gemuk memberikan pandangan kepada publik bahwa ia tak bisa menjaga bentuk tubuh sebagaimana pesepakbola lainnya. Ini yang membuat publik merasa pesepakbola yang gemuk tidaklah kompeten.
Bawaan dari Napoli
Soal perut yang gemuk, sejatinya sudah ditunjukkan Higuain sejak membela Napoli. Hal ini hampir selalu berulang di awal musim, di mana Higuain muncul dengan perut yang tambun.
Musim lalu, Higuain mencetak 36 gol di liga bersama Napoli. Ini merupakan catatan gol terbaik sepanjang kariernya di sepakbola, bahkan rekor di Italia. Higuain menuturkan bahwa keberhasilannya tersebut tak lain karena dirinya nyaman dengan kondisi di Napoli dan program yang tengah ia jalankan.
Napoli membuat program pengurangan berat badan agar Higuain tampil tanpa “beban tambahan” di tubuhnya. Program ini sendiri terinspirasi dari rekan Higuain di Argentina, Lionel Messi dan Sergio Aguero, yang menerapkan program yang sama dan sukses menampilkan permainan terbaik.
“Saya sangat sedikit memakan daging merah, tapi saya makan ikan dan makanan laut. Saya mengganti gula untuk diet saya dengan madu dan buah-buahan. Saya melakukan ini semua demi saya sendiri dan sekarang saya merasa lebih baik,” ucap Higuain kepada Ole, pada November 2015.
Dari fakta di atas, Higuain sejatinya memang sudah gemuk bahkan sebelum musim lalu. Namun, program diet yang ia jalankan membuatnya berada di jalur yang tepat dan menjadi top skorer Liga Italia pada musim lalu. Tidak ada yang meragukan ketajaman Higuain karena lesakkan golnya hampir dua kali lebih banyak dari pencetak gol terbanyak kedua, Paulo Dybala, dengan 19 gol.
Penyerang Gemuk Bisa Mematikan
Pesepakbola yang gemuk kerap disisihkan. Banyak orang yang berpikir bahwa untuk disiplin menjaga pola makan saja tak bisa, apalagi mengemban tanggung jawab sebagai pesepakbola.
Ini yang terjadi pada Hatem Ben Arfa beberapa musim silam. Sempat dianggap sebagai calon pemain bintang, Ben Arfa justru disisihkan oleh pelatih yang mengorbitkannya, Alan Pardew. Alasannya sederhana: Ben Arfa tak bisa menjaga kondisi.
Hal ini membuat sang pemain berang. Ia berpendapat berat badannya naik karena berat otot yang naik, bukan lemak. Karena perut yang buncit, Ben Arfa pun tak disertakan Newcastle United pada tur pramusim 2014/2015. Ia bahkan didenda 1300-an paun karena dianggap tak bisa menjaga kondisi.
Sempat dipinjamkan ke Hull, tapi Ben Arfa tak kerasan duduk lama-lama di bangku cadangan. Sempat stres, ia pun dikabarkan menghilang dan tak terlihat lagi di tempat latihan. Sebegitu tidak pentingnya Ben Arfa hanya karena tubuhnya yang buncit.
Ben Arfa akhirnya pulang ke Nice dan ia seperti terlahir kembali di sana. Semusim di Nice, kabar janggal muncul ke permukaan. Ben Arfa, dengan 17 golnya di liga, diminati Barcelona.
Ben Arfa, si penyerang gemuk, pada akhirnya berakhir di Paris, di kesebelasan bergengsi, Paris Saint-Germain. Pasti ada penyesalan pada Newcastle, yang sekarang terdegradasi ke Divisi Championship, karena menyia-nyiakan Ben Arfa hanya karena perutnya yang buncit.
***
Perut buncit tak selamanya menjadi soal, meski memang tidak sedap untuk dipandang. Higuain bisa menjadi contoh bagaimana ia bisa menangani berat tubuhnya dan membuktikan bahwa dirinya menjadi yang paling tajam di antara "Penyerang bertubuh atletis" lain di Serie A.
Sebagai pesepakbola profesional, Higuain pastilah punya komitmen untuk “mempertanggungjawabkan” banderol dan gaji tinggi yang ia terima. Sementara itu, Ben Arfa adalah inspirasi bagaimana seorang pesepakbola mestinya tak perlu berlama-lama murung saat dicaci. Ben Arfa bisa kembali terbang tinggi setelah jatuh karena alasan “sederhana” yang membikin sakit hati; meski katanya pria yang gemuk, lebih enak untuk dipeluk.
Komentar