Hari ini Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-71. Banyak perayaan digelar untuk memperingati hari kemerdekaan atau yang lebih sering disebut 17 Agustusan. Berbicara mengenai 17 Agustusan, lomba menjadi salah satu gelaran yang begitu menarik perhatian saya ketimbang upacara.
Sejak kecil, saya cukup akrab dengan lomba 17 Agustusan. Hal ini tak lain adalah karena ayah saya adalah salah satu pengurus RW di lingkungan saya. Dengan posisi tersebut, membuat ayah saya sering berkumpul di balai pertemuan untuk ikut mempersiapkan pesta 17 Agustusan dengan pengurus RW lainnya. Dan salah satu momen yang saya ingat tentu adalah kejuaraan 17 Agustusan antar RW tahun 2002
“Tahun ini yang akan diselenggarakan hanya lomba voli dan sepakbola,” ujar ayah saya setelah mengikuti rapat beberapa pekan menjelang 17 Agustus. Beberapa hari setelahnya, saya diajak ayah saya untuk ikut rapat mengenai persiapan lomba 17 Agustus yang akan diikuti oleh RW kami di rumah salah satu pengurus RW lainnya. Rembukan pun dimulai.
Sampailah pada persiapan mengenai tim sepakbola yang akan RW kami turunkan. Beberapa pria dewasa yang ikut dalam rapat tersebut langsung yakin kami mampu juara karena melihat nama-nama yang diturunkan oleh RW kami di sepakbola.
“Loh Firdaus itu tahun ini masuk SMP,” ujar salah satu bapak di ujung ruangan mengomentari salah satu nama yang masuk ke dalam daftar. Bapak-bapak yang mengikuti rapat seketika kaget. Bukan tanpa alasan bapak-bapak ini kaget, sebab dalam peraturan turnamen sepakbola kami saat itu, pemain yang sudah masuk SMP dilarang tampil. Sementara Firdaus saat itu adalah pemain terbaik di RW kami.
“Kamu aja, ya, yang ikut,” kata seorang bapak di depan ayah saya. “Nggak apa-apa, kok. Nanti jadi bek aja.” Saya pun menyahut, padahal saya merasa tidak cukup pandai bermain sepakbola jika dibandingkan nama-nama lain yang masuk daftar ini. Jadilah nama saya dimasukkan ke daftar tersebut.
***
Turnamen sepakbola 17 Agustusan di tempat saya pun dimulai. Total 12 RW bermain, dengan sistem empat grup yang masing-masing grup diisi oleh tiga RW. Dengan mengambil jadwal di Sabtu sore dan Minggu pagi, babak penyisihan dimulai.
Suasana lapangan begitu riuh hari itu. Anak yang tidak bisa bermain karena faktor usia rela membawa galon dan tabung untuk dibunyikan. Sementara puluhan ibu rela hadir sambil menggendong atau menyuapi anaknya. Tembok di sisi lapangan bahkan dihias selayaknya Piala Dunia 2002 yang baru lewat beberapa bulan. Gawang pun dicat dengan warna-warna pembakar semangat. Tidak hanya itu
Sementara saya, tentu harus siap menjadi cadangan mati. Selain itu, saya juga paham skill saya masih begitu newbie jika dibandingkan dengan senior-senior ini. Pada akhirnya kami lolos dari babak grup dengan mencatatkan dua kali kemenangan.
Memasuki babak semifinal, di hari Minggu pekan berikutnya, tim kami ketiban sial. Dua orang pemain cadangan di atas saya tidak bisa tampil karena harus ke gereja. Saya ingat pelatih tim kami saat itu berkata, “Kamu harus siap untuk dimainkan, ya.”
Beberapa menit jelang pertandingan berakhir, pelatih kami mengatakan, “Kamu mau ngotorin sepatu dan kaos kaki kamu, nggak?” Pada akhirnya saya mendapatkan jatah untuk bermain. Meski tidak cukup berkeringat, namun saat itu saya cukup senang karena selain menang, sepatu dan kaos kaki saya, sudah cukup kotor.
Pertandingan pun masuk partai final. Di partai final kami harus menghadapi RW 7, yang notabene lebih jago ketimbang kami. Hawa panas pun sudah terjadi bahkan sebelum pertandingan dimulai karena kapten tim kami, diketahui pernah berkelahi dengan salah satu pemain RW 7.
Pertandingan pun dimulai. Baru berjalan beberapa menit kapten tim kami dan salah satu pemain RW 7 diberi kartu merah oleh wasit. Tak lama kemudian, baku hantam kembali terjadi. Kali ini giliran suporter kedua tim yang isinya anak-anak SMA. Babak pertama pun berakhir dengan skor 0-0, dua kartu merah, dan beberapa orang diusir oleh hansip.
Di babak kedua, keributan kembali terjadi. Kali ini giliran pelatih kami yang diusir karena mengucapkan kata kasar khas Jawa Timur-an kepada salah satu pemain RW 7 usai yang bersangkutan menginjak pemain kami menggunakan sepatu bola pull besi. Saya pun terpaksa masuk untuk menggantikannya karena di bangku cadangan hanya tersisa saya.
Menjelang akhir babak kedua, tim kami ketiban sial. Bola tembakan jarak jauh pemain RW 7 mengenai kaki salah satu pemain kami dan berubah arah dan mengecoh kiper kami yang sudah salah posisi. Gol tersebut membuat skor menjadi 1-0 dan tak lama kemudian, pertandingan pun berakhir.
Pada akhirnya kami duduk di peringkat dua dan mendapatkan hadiah uang tunai serta satu buah magic jar. Saya masih ingat, dua orang pemain dari tim kami menangis usai pertandingan ini.
***
Di tahun berikutnya, saya pikir turnamen ini bakal kembali digelar namun ternyata tidak. Dua lapangan yang menjadi tempat penyelenggaraan telah berubah fungsi. Lapangan pertama tempat saya menginjakkan kaki di turnamen ini telah berubah menjadi minimarket waralaba. Sementara lapangan kedua, tempat kami merasakan pahitnya kekalahan di pertandingan final telah berubah menjadi deretan rumah megah.
Feature Image: https://desabojanegara-rt5.blogspot.co.id/
Oleh Abrar Firdiansyah
Komentar