Oleh: Vincentius Gitiyarko
Sosok yang dirindukan tak selalu yang terbaik. Hal itulah yang mesti diakui oleh Arsenal dalam matchday pertama mereka pada musim 2016/2017 ini. Mau tidak mau, Giroud adalah pemain yang diharapkan hadir dalam pertandingan perdana kemarin. Yang lebih menyakitkan lagi rasa rindu itu harus semakin menyakitkan dengan kekalahan kontra Liverpool di kandang. Para pendukung setia Arsenal pasti menyisihkan paling tidak sepersekian detik dari 90 menit pertandingan berlangsung untuk berandai-andai tiba-tiba Giroud masuk ke dalam lapangan.
Lini depan Arsenal memang sungguh tampak gamang tanpa kehadiran Giroud. Alex Iwobi, Theo Walcott dan Aaron Ramsey seperti kebingungan tiap kali membawa bola di kotak penalti lawan. Mereka bingung mau diapakan bola yang mereka bawa. Sementara di tribun, beberapa kali Koscielny terlihat begitu gugup melihat rekan-rekannya berada di dalam lapangan. Dia pasti begitu khawatir dengan Holding dan Chambers, pemain usia 20-an yang harus menjadi benteng Arsenal.
Matchday pertama Liga Inggris memang bukanlah sesuatu yang menggembirakan buat Arsenal. Lima musim terakhir mereka senantiasa memulai liga di kandang. Namun, dari lima pertandingan itu hanya sekali mereka berhasil menang, sekali lainnya seri dan sisanya kalah. Ketika 2012, The Gunners bermain imbang melawan Sunderland. Semusim berikutnya mereka hancur di tangan Aston Villa berkat hattrick Benteke. Gol hiburan kala itu dicetak oleh Giroud. Pada 2014, mereka memulai musim dengan cukup manis setelah berhasil mengalahkan Crystal Palace 2-1 setelah melalui drama menegangkan dengan gol Ramsey di menit 90.
Semusim berselang, pahitnya kalah di kandang harus dirasakan kembali oleh The Gunners di pekan pertama setelah kalah dari West Ham 2-0. Dan yang teranyar adalah pertunjukan anti-klimaks Arsenal yang berujung kekalahan 3-4 dari Liverpool. Apakah fakta itu menunjukkan Giroud adalah sosok yang bisa membawa kemenangan bagi Arsenal di laga pertama? Jawabannya adalah tidak.
Sekali lagi, Giroud tidak pasti lantas menjadi pahlawan yang bisa memberi kemenangan bagi Arsenal. Tetapi, apakah dia lantas tidak dirindukan di laga perdana kemarin? Sederhananya begini, jika seorang laki-laki merindukan perempuan yang adalah pacarnya tidak selalu karena pacarnya adalah perempuan yang paling hebat. Akan tetapi, bagaimana pun pacar adalah yang paling dirindukan laki-laki, bukan yang lain. Yang lebih hebat mungkin banyak tetapi tak membuat kaum pria lantas merindukan yang lain.
Giroud dirindukan bukan karena dia adalah mesin gol yang bisa memberi 40 gol dalam semusim bagi Arsenal. Rindu ini lagi-lagi soal rasa, dan sangat sulit untuk mendiskusikan rasa. Pernahkah kamu bermain bola tetapi tidak tahu kemana harus mengoper bola itu kepada siapa? Persis, itulah yang mungkin dirasakan para gelandang Arsenal dalam laga kontra Liverpool, dan itu alasan utama mengapa Giroud dirindukan. Selama ini, seburuk apapun Giroud, sebanyak apa pun Giroud sering membuang-buang peluang tetapi dia adalah tujuan aliran bola Arsenal.
Dalam pertandingan kemarin, Wenger pastinya sudah mewanti-wanti agar aliran bola lebih lancar untuk Alexis Sanchez. Terlebih lagi, Wenger mesti mengharapkan umpan terobosan untuk membuka ruang bagi Alexis. Tetapi apa mau dikata, Sanchez sama sekali tak mendapat umpan yang matang di depan gawang. Bahkan, umpan-umpan silang pun terkesan masih dipaksakan, tapi siapa gerangan yang diharapkan menyambut? Apalagi Sanchez adalah tipe pemain yang selalu bergerak. Walcott dan Iwobi pastinya kelabakan ketika harus melancarkan umpan ke jantung pertahanan Liverpool.
Selain Giroud, sebenarnya sangat mungkin juga para suporter Arsenal teringat akan sosok-sosok legenda penyerang klub London Utara ini. Nama-nama seperti Henry, Wiltord, Wright, Kanu, Bergkamp, hingga Van Persie mungkin berseliweran di kepala. Tidak aneh, tapi hati-hatilah dengan sejarah. Saya jadi teringat akan pemikiran filsuf asal Jerman, Friedrich Nietszche. Dia memiliki pemikiran yang cukup jernih dalam melihat sejarah. Ada dua tipe ekstrem yang bisa terjadi ketika seseorang harus berurusan dengan sejarah.
Pertama, sejarah bisa membuat orang mabuk sehingga selalu mengagungkan dan mengenang apa yang terjadi di masa lalu. Untuk kasus Arsenal, sejarah tak pernah kalah selama semusim bisa menjadi masa lalu bahagia. Namun, jika itu masih dibawa-bawa sampai sekarang akan menjadi sebuah hal yang tidak realistis. Kenyataan nirgelar Liga Inggris lebih dari satu dekade bisa menjadi masalah pelik yang tak tampak.
Kedua, melupakan sejarah sama sekali dan sangat apatis terhadapnya. Dalam kasus yang kedua ini, orang tak lagi memikirkan sejarah. Melupakan masa lalu sama sekali sekalipun itu sesuatu yang menyenangkan. Ini juga tak pada tempatnya, karena akan membuat seseorang tak punya motivasi untuk mengulang kebesaran yang pernah dia lakukan.
Kembali pada Giroud. Dia adalah sosok yang paling logis untuk dirindukan saat ini. Paling tidak sosok yang semestinya bisa menjadi “wadah” aliran bola Arsenal kala mereka ditekuk Liverpool. Membayangkan hadirnya sosok Henry atau N. Kanu dalam pertandingan kemarin bukanlah sebuah harapan tetapi sebuah khayalan. Bahkan, bisa saja menjadi khayalan pendukung yang sudah terlalu pesimis.
Setelah absen dalam pekan pertama, akhirnya ia kembali ke lapangan usai libur Piala Eropa. Pertanyaannya, bagaimana dia menjawab kerinduan yang sempat membuncah pada laga perdana kemarin? Sebenarnya dia adalah sosok yang berkarakter dalam bermain. Dia punya imajinasi dan kreativitas. Dosa besarnya selama ini memang adalah membuang-buang peluang di depan gawang.
Belajar dari Nietszche dia semestinya tidak jatuh pada salah satu ekstrem. Dia hendaknya sadar, posisi penyerang di Arsenal bukanlah peran yang main-main. Banyak legenda yang sudah mengisi posisi ini dalam sejarah The Gunners. Ia harus ingat akan sejarah ini, tetapi juga harus mawas diri bahwa gelar Liga Inggris yang lebih dirindukan oleh para pendukung Arsenal.
Jika dalam pertandingan-pertandingan musim ini masih saja dia membuang-buang peluang, bukan mustahil kerinduan pada pekan pertama kemarin berubah segera menjadi kebencian. Mungkin yang perlu dia ingat adalah setiap peluang yang terjadi bisa saja menjadi sejarah. Sungguh tak layak semua itu terbuang sia-sia. Semoga sejarah tak mencatat Giroud sebagai penyerang gagah hanya buang-buang peluang.
Penulis adalah mahasiswa sastra penggemar sepakbola. Mencoba berefleksi dan berimajinasi kala menyaksikan pertandingan di lapangan hijau. Tinggal di Yogya dan dapat dihubungi lewat akun @vincentiustiyar
Komentar