Oleh: Alto Kusumo
Saya orang Surabaya dan rasanya tak pantas menyebut diri sebagai seorang Bonek. Jika sore ini badan saya ada di Tri Dharma, maka resmilah bahwa saya lebih sering menonton Persegres Gresik daripada Persebaya. Saya pun bukan Ultras. Hanya saja hari ini saya pakai kaus kuning, seperti merah di Manahan, dan hijau di Pasuruan.
Setiap stadion yang dikunjungi adalah tandang. Kandang adalah rumah tempat saya menonton klub-klub Eropa yang dilihat dari televisi saja sudah menghibur. Sepakbola Indonesia belum bisa dinikmati dengan cara yang sama. Dan mencintai klub di sini butuh nyali tebal. Sekarang namanya ini, besok bisa saja lain lagi, sekarang tinggal di sini, besok bisa saja pindah lagi. Saya hanya punya nyali untuk datang ke stadion mereka, duduk di tribun tuan rumah, dan berusaha membaur.
Salah satu alasan mengapa Gresik lebih akrab sebab stadion Tri Dharma paling dekat dari tempat tinggal saya. Sebenarnya Persebaya 1927 lebih dekat jika mereka bermain di Gelora Bung Tomo. Siang ini, saat saya akan menuju ke Tri Dharma saya melewatinya.
Saat semifinal Piala Kemerdekaan 2015, saya diminta saran oleh dua orang mahasiswa dari Madura yang datang mendukung Persepam. Mereka bingung jalan mana yang aman dilalui untuk pulang dari Gelora Bung Tomo pada pukul 9 malam. Sekarang lebih ramai dibandingkan saat pertama kali dibuka enam tahun lalu di tengah ladang garam. Muncul pemukiman baru di sekitar. Tapi tetap saja ini tempat gila untuk membangun stadion berkapasitas 55.000 penonton.
Bendera-bendera hijau bersambut di pinggir jalan menuju Bung Tomo. Bukan Persebaya, pesinggah terakhir di stadion ini adalah Nahdlatul Ulama. Bonek masih harus menunggu.
Lepas bertemu Bung Tomo, dari kejauhan mengungguli ketinggian atap-atap pabrik di perbatasan Surabaya-Gresik, tampak menjulang tribun utama Gelora Joko Samudro. Megah, stadion yang baru berumur setahun.
Saya mendekat dan monumen ini justru lenyap. Muncul mendadak ketika tepat di Jalan Veteran. Tribun utama Gelora Joko Samudro yang tampak berkilo-kilo sebelumnya itu adalah bagian yang tersisa dari rencana awal. Selebihnya hasil revisi-revisi. Tribun dipangkas dengan alasan revisi anggaran, revisi tenggat waktu. Bangunan ini membikin kagum orang-orang yang cuma mengenalnya dari jauh.
Belok kiri dari Jalan Veteran sapalah sejenak Stadion Semen Gresik. Di belakangnya masih tegak berdiri pabrik semen yang sudah ada sejak 1957. Gapuranya sungguh tampan. Bergaya streamline seperti menara Stadion Teladan di Medan.
Akhirnya tibalah saya di Stadion Tri Dharma. Untuk menuju ke sini saya perlu melalui tiga stadion. Yang berumur setahun sampai setengah abad, tapi hanya di sini gebyar sepak bola antara dua kota bertetangga rutin digelar. Persegres Gresik United menyambut Semen Padang di pertandingan terakhir putaran pertama ISC A 2016.
Tri Dharma tak seseronok Joko Samudro atau Bung Tomo. Ia disembunyikan di balik pohon-pohon rindang yang sudah menemaninya sejak lahir. Dia sudah berumur. Retak di beberapa tempat dan di waktu yang sama sulit untuk membuatnya lebih baik.
Menara lampu dicat hijau-kuning warna Petrokimia Gresik. Rangka atap tribun utama dipoles putih agar kuning karat tenggelam. Bila Anda belum pernah ke Tri Dharma, Anda mungkin sudah pernah melihat di TV sebuah stadion dengan tulisan “PUPUK PHONSKA” di bawah papan skor. Ia saksi kegemilangan Jaenal Ichwan cs. pada awal milenium serta cerita pasang-surut setelahnya.
Kick-off barangkali sudah berlalu namun saya tetap beredar di luar tribun. Masih banyak orang yang tak ingin tergesa-gesa di Minggu sore. Remaja yang bul-bal-bul dengan kehidupan awalnya bersama rokok. Pemandangan lama para penertib. Gara-gara serangan teroris di persimpangan jalan Jakarta tahun lalu ada jenis polisi baru, yang mengenakan polo shirt biru gelap dan rambut mengkilap.
Salah satu booth sponsor memasang musik dangdut cukup keras. Sudah waktunya masuk ke dalam. Datang ke sini bukan untuk musik dangdut.
Jarak antara kedua tim yang berlaga terpaut 10 peringkat. Materi Persegres musim ini memang jauh dari mengkilap, tapi suporter mana yang suka timnya duduk satu nomor di atas juru kunci? Pria di samping saya bilang awalnya Persegres tak seburuk ini. Dia punya alasan, Laskar Joko Samudro memulai kompetisi dengan kemenangan penting 1-0 di kandang Persela Lamongan.
Perlahan penuh pasti kemenangan terakhir mereka dapatkan dua bulan lalu. Selama absen dari tiga poin mereka kebobolan 17 kali. Kini mereka punya catatan kemasukan terburuk di liga.
Beruntung Ultras masih memadati tribun selatan. Memang sebaiknya begitu. Mereka datang membawa riang. Bernyanyi, menggebuk tabuhan, mengibarkan bendera raksasa di saat yang sudah ditentukan. Bendera kuning, bendera Upin dari serial kartun anak-anak, sedikit diubah sekarang dengan masker di wajah dan cerawat di tangan. Bendera Pikachu dan bendera Palestina.
Tak bisa menyembunyikan kegelisahan setiap mereka menatap lapangan. Semen Padang bermain lebih rapi serasa menggenggam tujuan. Persegres sebaliknya. Diserang panik, malah layu saat menguasai bola. Tuan rumah menutup babak pertama tertinggal 1-0.
Riuh pecah sebelum babak kedua dimulai. Sekumpulan Polisi Wanita mengisi sela turun minum melantunkan Shalawat Nariyah. Masih ada pekerjaan rekonsiliasi sejak bentrok antara suporter Persegres dengan PS TNI Mei silam. Spanduk membujur di menara lampu berbunyi, ”Kalah menang kita tetap saudara, karena kita Indonesia. Humas Polres Gresik.”
Persegres ingin keluar dari tekanan di babak kedua. Penyerang No. 99 tampil sebagai target man. Dia menahan bola langsung dari belakang, mengantarkannya ke rekan yang terbuka, mempercepat permainan Persegres. Mereka pantas memetik hasil. Arsyad Yusgiantoro menyisir sisi kiri sebelum menempatkan bola yang tak terbendung ke pojok jauh gawang Semen Padang.
Dari bawah papan skor saya bisa melihat satu cerobong pabrik mulai mengepulkan asap putih. Di sini sejak skor kembali imbang, hidung orang-orang juga mengeluarkan asap putih. Nil Maizar membanting botol air minum melihat permainan tetap berjalan saat salah satu pemainnya meringkuk.
Mistar gawang berdenting. Sepakan voli Sacramento urung mengubah kedudukan. Kedua tim masih yakin kemenangan dalam jangkauan. Resah dimana-mana. Persegres akan memperpanjang puasanya menjadi sembilan laga jika mereka gagal membalikkan keadaan.
Saya baru tahu tadi pagi kalau Ultras berasal dari akronim Ulah Trampil Rasional. Saat ini Persegres kehabisan waktu dan mereka tampil rasional. Nyanyian ini semakin erat merangkul seisi stadion. “Liestiadi! Kami Datang! Mengusirmu….. Selamanya.” Seruan untuk sang pelatih.
Pertandingan berakhir imbang. Tak ada kejutan di wajah penonton. Anggap saja tirai pertunjukan Minggu sore ini sudah ditutup. Papan skor dibalik dan kembali 0. Dua jam lagi partai U-21 antara Persegres dan Bali United bergulir.
Kami berjalan pulang. Para Polisi Wanita dipanggil kembali untuk melantunkan Shalawat Nariyah. Seorang bocah membawa Joko Samudro News, match programme yang dibagikan gratis di loket, menanti Bapaknya membeli sekantong plastik penuh lumpia.
Menuju rumah bertemu tiga stadion sekali lagi. Saya berharap Persegres tak pernah pindah dari Tri Dharma. Kalaupun sudah tua saya mau maklumi. Bukannya kata ini kunci untuk menikmati sepakbola kita? Lagipula stadion-stadion baru belum tentu lebih baik. Rupanya saja terlihat mengikuti jaman. Sepakbola kita itu sajian lama yang digonta-ganti kemasannya.
Hal terbaik dari pergi ke stadion adalah cerita yang dibawa pulang. Saya membayangkan anak kecil bersama Bapaknya tadi. Ibu menanti di rumah lalu bertanya, ”tekan stadion awakmu moleh gowo opo, le?” (kamu dari stadion bawa apa, nak?). Si anak menjawab, ”Lumpia, mak.”
foto merupakan hasil jepretan penulis sendiri
Penulis sedang menjalani terapi stadion. Tinggal di Surabaya. Berbagi pengalaman melihat sepakbola di tribun. Bisa dijangkau lewat akun Instagram @cornelkick atau Twitter @notomoyoo
Komentar