Menganggap Manchester Derby kali ini sebagai yang buruk melawan yang baik adalah keliru. Pun yang baik melawan yang buruk. Jose Mourinho melawan Josep Guardiola adalah buruk melawan buruk. Atau baik melawan baik.
Mudah melihat Mou sebagai sosok yang buruk. Bicaranya pedas dan merendahkan. Jika rencana tak berjalan sesuai harapan, pihak lain jadi sasaran – wasit, pemain lawan, pemain timnya sendiri; siapa pun asal bukan Jose Mourinho.
Bahkan dalam kemenangan pun Mou bisa menuai satu dua komentar negatif karena taktik yang ia terapkan tak sedap dipandang. Pasif. Tidak menghibur. Negatif. Cara menang pengecut.
Sebaliknya, segala hal yang Pep lakukan membuatnya berada di sisi yang berseberangan dengan Mou. Ia mengakui kemenangan lawan walau yang mengalahkannya “hanya” nama baru di dunia kepelatihan seperti Andre Schubert. Permainan timnya aktif, dengan pertukaran posisi dan perubahan bentuk susunan pemain yang selalu berlangsung sejak bola mendapat sentuhan pertama hingga peluit terakhir ditiupkan.
Menang dengan selisih gol besar adalah rutinitas untuk Pep sementara bagi Mou itu hanya bonus. Tapi menang tetap menang.
Penguasaan bola bagi Pep adalah yang paling penting untuk memenangi pertandingan. Namun penguasaan bola bukan segalanya; itu hanya alat. Dengan menjaga bola dalam penguasaan timnya, Pep mencegah lawan mencetak gol sekaligus memperbesar peluang timnya sendiri untuk membobol gawang lawan. Mou memilih untuk tidak repot-repot. Tak apa lawan menguasai bola, toh cara mencegah gawang kebobolan bukan itu saja. Biarlah lawan berlama-lama dengan bola, selama timnya yang lebih banyak mencetak gol.
Marcelo Bielsa tidak peduli berapa kali timnya kebobolan. Ia juga tidak peduli apa timnya mencetak lebih banyak gol dari tim lawan. Yang ia tahu timnya harus bermain menyerang dan bermain menyerang dengan cara yang ia harapkan. Menang kalah urusan belakangan, yang penting timnya bermain sesuai instruksi. Mou dan Pep juga ingin timnya bermain sesuai instruksi mereka. Namun tidak kebobolan dan bisa mencetak gol selalu menjadi bagian dari rencana, berbeda dengan Bielsa.
Hal lain yang membuat Mou dan Pep sama saja adalah hubungan mereka dengan sesama manusia: keduanya tidak berurusan dengan manusia. Pemain, di mata Mou dan Pep adalah pemain; bukan ayah seorang anak, bukan kekasih siapa pun, bukan anak dari orang tua mana pun, bukan bagian dari masyarakat.
Kecuali pemain mampu menawarkan sesuatu di lapangan, mereka tidak berguna di mata Mou dan Pep. Kecuali pemain berguna dalam taktik yang mereka terapkan, Mou dan Pep tidak akan repot-repot menjaga hubungan baik dengan sang pemain.
Bayangkan Juan Mata, Bastian Schweinsteiger, dan Joe Hart sebagai mantan kekasih Mou dan Pep. Walau ketiganya menjalani hubungan yang berbeda dan dalam masa yang berbeda, mereka pasti merasakan hal yang sama.
Baca juga:
Daftar Pemain Korban Josep Guardiola
Akankah Mourinho Kembali Memakan Korban?
Template perbincangan ketiganya kepada Mou atau Pep akan sama: “Kalau tidak suka ya sudah. Kalau tidak butuh ya sudah. Kau kan bisa bicara baik-baik, dan kita bisa berpisah secara baik-baik. Tak perlu menyakiti, toh aku akan bisa mengerti. Tak perlu membicarakan kekuranganku di depan orang-orang, ini cukup soal kita saja. Di luar sana ada orang-orang yang peduli terhadapku, dan kau menyakiti mereka juga dengan perlakuanmu padaku. Di luar sana akan ada yang mencintaiku lagi, dan kau telah membuat mereka berubah pikiran dengan omong besarmu. Semua itu tidak perlu.”
Mou dan Pep memperlakukan pemain seolah hidup hanya soal sepakbola dan mereka hanya akan bersinggungan dengan para pemain untuk urusan sepakbola saja. Tentu tidak demikian. Namun demikian adanya menurut mereka. Jadi tinggalkanlah anggapan bahwa Manchester Derby adalah lebih besar dari urusan sepakbola semata – sejarah, gengsi, harga diri, hak atas Manchester, apalah itu. Manchester Derby kali ini adalah antara Mou dan Pep, karenanya Manchester Derby kali ini adalah urusan sepakbola dan sepakbola saja.
Ditulis oleh @FUSSBOLA kalian bisa membaca karya lainnya di situs fussbola.com
Komentar