Sempat digadang-gadangkan sebagai wonderkid pastinya akan membuat hidup seorang pemain sepakbola senantiasa berada di bawah tekanan. Tekanan tersebut yang juga dialami oleh pemain yang berulang tahun ke-32 pada 21 September 2016 ini, Fernando Cavenaghi.
Wajar jika Anda tidak mengenal Cavenaghi. Sebaliknya, banyak orang yang mengenalnya biasanya karena tahu potensinya akan menjadi pemain besar suatu hari nanti. Namun, “suatu hari nanti” itu ternyata tidak kunjung datang.
Berposisi sebagai seorang penyerang asal negara Argentina tentunya tidak membuat Cavenaghi bisa memiliki karier yang dimpi-impikannya (untuk level internasional). Ia hanya membela tim nasional Argentina sebanyak empat kali saja pada 2008. Dari keempat penampilannya tersebut juga ia tidak berhasil mencetak satupun gol.
Tapi jika kita ingin bertanya sendiri kepada Cavenaghi yang sudah membela 8 kesebelasan selama kariernya, kita mungkin akan mendapatkan jawaban yang berbeda.
“Semua orang bisa berkata: ‘Aku telah melakukan ini atau itu’ atau ‘Aku tidak melakukan ini’. Seperti banyak pemain lainnya, aku memiliki karier yang naik dan turun,” kata pemain kelahiran O’Brien, Buenos Aires tersebut, seperti yang kami kutip dari wawancaranya di situs resmi FIFA.
“Tapi aku sudah mencetak lebih dari 230 gol dan memenangkan 15 trofi, termasuk Copa Libertadores bersama kesebelasan yang aku dukung,” lanjutnya. “Lupakan tentang perpindahan-perpindahan [kesebelasan] yang aku lakukan. Sejujurnya aku tidak berpikir kalau aku bisa meminta yang lebih dari ini dari karierku.”
Bagi seorang “wonderkid gagal” sekalipun, mengoleksi 15 buah gelar sepanjang kariernya tentunya tetap menjadi sebuah pencapaian yang mengagumkan, bukan?
Uang sebagai alasan awal kepindahannya ke Eropa
Penyerang kelahiran 1983 ini mengawali kariernya di kesebelasan yang ia dukung sejak kecil, River Plate, pada 2001. Ia berhasil mencetak 55 gol dari 88 penampilannya di Liga Argentina selama empat tahun di River.
Awal karier cemerlangnya ini mengantarkannya untuk melanjutkan petualangannya ke Eropa. Juventus dikabarkan sempat mengincarnya, namun karena alasan finansial, ia malah memilih Spartak Moscow di Rusia. Padahal saat itu, 2004, belum ada banyak pemain Amerika Selatan di Rusia, tidak seperti sekarang.
“Perbedaan mengenai bayaran gaji saat itu sangat besar. Itu adalah keputusan yang sulit aku ambil karena itu [ke Rusia] bukan tujuan ideal bagiku,” katanya. “Aku berpikir lebih kepada masa depan [finansial].”
Benar saja, meskipun mendapat gaji yang besar, ia mengalami kesulitan di Rusia karena masalah bahasa, gaya permainan yang tidak sesuai dengannya, dan juga penggunaan rumput sintetis yang ia rasa membuatnya tidak nyaman.
Setelah tiga musim di Rusia, ia kemudian pindah ke Girondins de Bordeaux di Prancis. Ia menjadi idola di kesebelasannya tersebut karena berhasil mencetak 22 gol dari 35 penampilannya. Hal ini yang membuat pelatih Argentina saat itu, Alfio Basile, memanggilnya untuk bermain bagi timnas Argentina. Ia menjalani debutnya pada 26 Maret 2008 menghadapi Mesir.
Penampilan cemerlangnya di Bordeaux berhasil mengantarkan kesebelasan tersebut meraih gelar Ligue 1 Prancis pada 2008/09 Gelar itu adalah gelar juara keenam yang diraih oleh Bordeaux setelah sebelumnya mereka menjadi juara pada 1998/99. Sampai saat ini mereka belum pernah merasakan gelar juara Ligue 1 lagi.
Sulit bermain di kesebelasan kecil
Ia sempat pindah ke Spanyol bersama Real Mallorca, di mana ia awalnya merasa kalau ia akan cocok bermain di Spanyol. Tapi pada kenyataannya, ia menyesali keputusannya tersebut.
“Aku menyesalinya. Aku memiliki keinginan untuk bermain di Spanyol tapi aku tidak yakin jika itu adalah keputusan terbaik yang pernah aku buat,” ungkapnya. Sebelum ia pindah ke sana, Mallorca berhasil finis di peringkat kelima di La Liga Spanyol. Tapi Cavenaghi tidak bisa membantu Mallorca untuk meningkatkan atau setidaknya mengulangi prestasi tersebut. Ia hanya bermain 11 kali dan mencetak 2 gol.
Merefleksikan penampilannya yang menurun sejak pindah dari Prancis, ia berkata bahwa ia memang lebih nyaman bermain di kesebelasan besar, di mana secara tidak langsung ia mengakui bahwa Mallorca bukanlah kesebelasan besar. “Bagi seorang penyerang, dan statistik di karierku menunjukannya, lebih mudah ketika kamu bermain di kesebelasan besar daripada kesebelasan kecil,” akunya.
Alasan menganggap Mallorca sebagai kesebelasan kecil adalah karena ia kesulitan dalam pengambilan posisi dan ketajaman di depan gawang, dua hal yang paling penting bagi seorang penyerang. Ia mengaku bahwa rekan-rekannya saat itu tidak bisa memberikannya dua hal tersebut secara berkelanjutan.
Kembali ke River Plate (1)
Setelah ia juga sempat dipinjamkan ke Internacional di Brasil yang juga tidak sukses, ia memutuskan kembali ke River Plate yang saat itu baru terdegradasi ke divisi kedua. Dari sekian banyak produk akademi River Plate di masa lalu, hanya Cavenaghi yang bersedia kembali untuk membantu River.
Cavenaghi berkata bahwa hatinya yang membuatnya ingin kembali ke River meskipun saat itu River habis terdegradasi. “Rasanya luar biasa untuk membalas jasa kepada kesebelasan yang sudah memberikan semuanya untukku [saat mengawali karier]. Aku berterimakasih kepada River,” kata Cavenaghi.
“Selain mempersilakanku bermain, mereka juga memberikanku kesempatan untuk mempelajari akademi kesebelasan dan banyak hal lainnya. Itu adalah caraku membayar utang jasa kepada mereka,” lanjut pemain bertinggi 1,81 meter tersebut.
Menjabat sebagai kapten, ia berhasil membawa River menjuarai Primera B Nacional 2011/12 untuk membuat kesebelasan idola masa kecilnya tersebut instant comeback ke divisi pertama hanya dalam satu musim saja.
Musim 2011/12 tersebut menjadi musim yang ia tidak bisa lupakan. Ia berkata: “Aku tidak bisa membandingkan apa yang aku alami tahun itu jika dibandingkan dengan seluruh karierku. Itu membuatku tumbuh sebagai seseorang. Aku bahkan bertemu psikolog hanya untuk menemukan kedamaian, karena tahun itu sangat membuat stres. Untungnya pada akhirnya semuanya berakhir baik.”
Selain sepakbola, saat itu ia juga menemukan kedamaian pada seni, di mana ia menjadi senang melukis, menulis, dan bermain gitar. “Aku tidak mahir tapi aku menikmatinya,” katanya. “Itu seperti terapi untukku. Itu sangat membantuku ketika aku merasa berat.”
Kembali ke River Plate (2)
Namun tanpa disangka-sangka, ia malah dilepas oleh manajemen River Plate di musim selanjutnya. Hal ini yang membuatnya ingin mencoba lagi bermain di Spanyol. Saat itu ia memilih kesebelasan yang baru saja terdegradasi dari La Liga, Villarreal.
Hanya semusim di Spanyol, ia kembali pindah ke Benua Amerika. Pada 2013 ia membela Pachuca di Meksiko. Namun juga tak lama di sana, untuk ketiga kalinya ia kembali ke River Plate pada awal 2014.
Bermain untuk ketiga kalinya bersama River membuatnya menjalani kesuksesan terbesarnya sebagai pemain. Cavenaghi yang diberikan nomor punggung 9 dan ban kapten, berhasil menjuarai Primera División 2014, dan kemudian menjuarai Copa Sudamericana (setara Liga Europa) 2014, Recopa Sudamericana (Piala Super Eropa versi Amerika Latin) 2015, dan puncaknya adalah Copa Libertadores 2015.
Mengalahkan rival terbesar River Plate, Boca Juniors, di Recopa Sudamericana dan Copa Libertadores, menjadi puncak karier Cavenaghi sebagai pemain sepakbola.
“Selalu menjadi mimpiku dan aku tahu itu adalah kesempatan terakhirku untuk memenangkannya [Copa Libertadores],” kata Cavenaghi. “Bahkan dongeng terbaik tidak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang aku alami. Aku sudah tiga kali bermain bagi kesebelasan ini, dari saat yang terbaik ke saat yang terburuk, kemudian kembali lagi kepada saat terbaik dengan Libertadores. Kamu tidak bisa bermimpi lebih besar daripada itu.”
Selanjutnya ia bisa saja bermain di Piala Dunia Antarklub FIFA 2015 di Jepang (mewakili CONMEBOL) menghadapi FC Barcelona, tapi ia memutuskan untuk mengakhiri kariernya di River saat pada posisi puncak. Secara total, ia berhasil memberikan 8 gelar untuk River, berhasil melewati dua legenda kesebelasan; Enzo Francescoli dan Ariel Ortega.
Berpindah-pindah karena mengikuti kata hati
Di usianya yang saat itu sudah 31 tahun, ia memutuskan untuk bermain di Liga Siprus bersama APOEL Nicosia. Di Siprus ia kembali menjadi raja dengan menjuarai Divisi Pertama Siprus sekaligus menjadi pencetak gol terbanyak dengan 19 gol. “Aku mencetak gol lebih banyak daripada yang aku kira,” katanya.
Ia mengaku sangat menikmati kehidupannya di Siprus. “Aku mendapat banyak hal soal kualitas hidup. Aku sangat menikmati bersama keluargaku di mana itu sulit aku lakukan di Argentina karena kamu hanya punya sedikit waktu di rumah,” akunya.
Kariernya di Siprus bisa dibilang sangat cemerlang. Meskipun Siprus adalah negara kecil dengan status sepakbola yang kecil pula, tapi kesebelasan pilihannya, APOEL, merupakan kesebelasan terbaik di Siprus. Tidak heran, seperti yang ia katakan juga mengenai kesebelasan besar dan kesebelasan kecil, ia bisa menikmati waktunya di APOEL.
Tapi sayang kariernya harus berakhir karena cedera lutut yang parah yang ia derita. Ia dilepas oleh APOEL pada April 2016 karena ia membutuhkan setidaknya 8 bulan untuk pemulihan. Sampai sekarang ia tidak memiliki kesebelasan dan masih menjalani pemulihan cederanya, entah ia akan bermain lagi ataupun tidak.
Bermain bagi 8 kesebelasan (sejauh ini) sepanjang kariernya tentunya tidak membuat hidupnya mudah. Saat ditanya kenapa ia berpindah-pindah kesebelasan, ia menjawab karena ia sembrono (dalam membuat keputusan) tetapi juga ingin mengambil risiko. “Aku impulsif. Ketika aku membuat keputusan, aku membiarkan kata hatiku yang memilih ke mana aku akan pergi.”
Tapi ia sampai dua kali kembali ke River Plate yang menandakan bahwa hatinya benar-benar ada hanya untuk River Plate. Pada akhirnya, sejujurnya, dengan 15 gelar yang sudah ia koleksi dan cerita menariknya ini, gugur sudah status “wonderkid gagal” yang pernah disematkan pada diri Fernando Cavenaghi.
Komentar