Tulisan kiriman dari Muhammad Iqbal Dista
Pernah mendengar ucapan “IPK tinggi bukan berarti jaminan sukses”? Kira-kira itulah gambaran yang tepat untuk situasi Vincent Janssen di Tottenham Hotspur saat ini. Didatangkan dari negeri kincir angin, Janssen membawa “transkrip” mentereng: pencetak gol terbanyak Eredivisie Belanda 2015/16.
Namun, Janssen sempat dihadapkan pada situasi pelik penuh beban laiknya seorang mahasiswa cum laude fresh graduate yang dipenuhi ekspektasi tinggi di kantor barunya. Semua pihak berharap prestasi Janssen di dunia “mahasiswa” akan berbanding lurus dengan performanya di dunia “kerja”. Besarnya harapan itu tercermin dari tarif transfernya yang mencapai 17 juta paun.
Dalam kenyataannya, Janssen bukan “pegawai” satu-satunya di departemennya saat ini, departemen penyerangan. Spurs telah memiliki standar bagi orang yang bekerja di departemen tersebut: Harry Kane.
Harry Kane adalah bintang. Bukan hanya terbatas di departemennya sendiri, ia adalah anak emas perusahaan. Prestasi individunya adalah pelipur lara bagi keringnya prestasi kesebelasan secara keseluruhan. Dan kini Janssen sadar, harapan besar di awal itu bukan main-main.
---
Dalam lima pekan terakhir di Liga Primer Inggris, Janssen telah menorehkan catatan jam terbang selama 210 menit di lapangan hijau. Jangankan gol, Janssen hanya mampu membuat 8 percobaan tendangan ke arah gawang sejauh ini.
Hasil ini tentu saja jauh dari ekspektasi manajemen dan fans Spurs akan seorang top skorer dari sebuah liga yang telah melahirkan nama-nama seperti Ruud van Nistelrooy, Dirk Kuyt, dan Luis Suarez. Tiga nama tersebut adalah para striker yang tadinya sukses di Belanda dan akhirnya memilih mengadu nasib ke tanah Inggris Raya. Di perantauannya, ketiganya sukses besar dan kini menjadi nama-nama yang akan senantiasa diingat fans kesebelasannya masing-masing (walaupun dengan tolok ukur yang berbeda-beda).
Janssen tentu saja memiliki harapan ini. Namun yang terjadi jauh panggang dari api (setidaknya hingga pekan kelima). Apa yang terjadi sebenarnya? Saya akan coba membedah fenomena ini, dan mungkin dengan metodologi yang sama juga bisa dijadikan acuan terhadap pembelian flop Spurs sebelumnya: Roberto Soldado.
---
Pembelian Janssen bukanlah tergolong panic buying. Transfernya telah tejadi sedari masa awal transfer kesebelasan-kesebelasan Eropa. Manajer Spurs, Mauricio Pochettino sendiri yang menginginkan pemain Belanda berusia 22 tahun ini.
Atas kenyataan ini maka alasan adaptasi dengan rekan setim selayaknya bisa diantasipasi lebih dini. Waktu selama pra-musim dianggap telah cukup untuk membina kekompakan tim. Alasan lain, Janssen bermain di Inggris di mana bahasa seharusnya bukan menjadi masalah bagi seorang Dutchman (Belanda adalah negara peringkat kedua dalam English Proficiency Index, per www.ef.co.id).
Di Spurs, formasi default yang digunakan Pochettino adalah formasi populer sepakbola modern, 4-2-3-1. Di formasi ini tentu saja hanya tersedia satu slot sebagai ujung tombak. Bagi Spurs sendiri hanya ada dua nama yang secara natural cocok bermain di posisi tersebut: Kane dan Janssen.
Hingga pekan kelima, tiga pemain diposisi belakang striker adalah yang paling banyak menyumbang gol dan Kane, meskipun terlambat panas, sudah berhasil mencatatkan nama di papan skor dalam 2 pekan terakhir berturut-turut. Sementara Janssen? Masih nihil.
Dengan demikian mulai timbul pertanyaan, apakah kesulitan Janssen beradaptasi dikarenakan oleh faktor formasi?
Semasa Janssen bermain di AZ Alkmaar musim 2015/16 lalu, formasi yang digunakan sang pelatih John van den Brom adalah 4-3-3. Di sini Janssen bermain sebagai penyerang tengah dengan sokongan dua pemain sayap, Dabney dos Santos dan Alireza Jahanbaskh.
Formasi tersebut tidak terlalu mirip dengan formasi Spurs saat ini, karena Erik Lamela dan Christian Eriksen dan/atau Son Heung-Min tidak bermain lebih melebar, melainkan bertindak sebagai wide attacker. Permainan melebar Spurs lebih dimainkan oleh kedua full-back mereka, Kyle Walker dan Danny Rose.
Mantan pemain Almere City ini adalah tipe penyerang haus gol, memiliki tendangan keras dan akurat, cenderung pelit mengoper dan suka berduel dengan bek (setidaknya inilah Janssen semasa di AZ). Versi terbaik dari striker tipe ini mungkin adalah Diego Costa, dan versi legendarisnya adalah Gabriel Omar Batistuta.
Dari sini kita bisa melihat sebenarnya Janssen perlu sedikit melakukan adaptasi kepada formasi Spurs. Namun tidak hanya itu, ternyata Janssen memiliki kelemahan yang serius yaitu kurang baik dan lambatnya pergerakan tanpa bolanya (off the ball).
Kemampuan Janssen ketika tidak menguasai bola dan mencari ruang jauh dibawah level Costa, apalagi Kane. Sering Janssen terlihat kehilangan posisi dalam usahanya mencari ruang untuk menyambut operan para gelandang serang Spurs. Terhitung dalam 5 pertandingan terakhir, Janssen hanya mampu menyentuh bola 12 kali di kotak penalti (per www.whoscored.com). Ini tentu saja mengisyaratkan kelemahan yang nyata dari kemampuan off the ball Janssen.
Selain itu, reaksinya juga masih tergolong lambat untuk kelas Liga Primer. Liga Primer adalah sebuah liga yang bahkan kesebelasan-kesebelasan mediokerpun memiliki bek-bek dengan kualitas fisik sangat mumpuni tapi tidak lambat dalam urusan kecepatan.
Hal ini jika dibandingkan dengan bek-bek yang musim lalu dihadapi oleh Janssen di Liga Belanda tentu saja sangat jauh berbeda. Pada 5 pertandingan di Liga premier, Janssen telah berhadapan langsung dengan beberapa pemain seperti Phil Jagielka (Everton), Dejan Lovren (Liverpool), Scott Dann (Crystal Palace), dan Ryan Shawcross (Stoke City).
Pertarungan dengan pemain-pemain seperti ini yang mungkin belum pernah dirasakan Janssen selama karier professionalnya, terkecuali di timnas Belanda.
---
Mungkin terlampau prematur untuk mulai menyamakan kisah Janssen dengan Afonso Alves, Mateja Kezman, dan Memphis Depay di Liga Premier. Tiga top skor Liga Belanda yang gagal, atau sejauh ini gagal (untuk kasus Memphis) di Liga Primer. Janssen masih memiliki 14 pertandingan tersisa sebelum masa transfer musim dingin di mana para pemain akan dievaluasi. Bukan hal mustahil jika Janssen tidak tampil baik juga, Spurs akan membeli penyerang baru nantinya.
Liga Primer memang mahal, namun terkadang juga kejam. Definisi investasi di sini disempitkan maknanya hanya untuk jangka waktu yang pendek.
Walaupun demikian, “keberuntungan” sedikit memihak kepada Janssen dengan cederanya Kane. Di tengah buruknya performa dan kebutuhan menit bermain yang lebih banyak, Janssen dipastikan akan banyak mendapat kesempatan bermain menggantikan Kane setidaknya selama 2 bulan ke depan.
Ini adalah kesempatan bagi Janssen membuktikan kualitas dirinya sebagai salah satu penyerang terbaik Eropa musim lalu. Dan lagi, mental Janssen juga diperkirakan akan lebih baik dari sebelumnya setelah mencetak gol pertamanya (meskipun hanya dari sepakan penalti) saat melawan Gillingham di ajang Piala Liga tengah pekan kemarin.
Jadi, Vincent Janssen, sekarang adalah saat yang tepat untuk unjuk gigi, dimulai dengan melawan tuan rumah Middlesbrough akhir pekan ini.
Penulis bekerja sebagai structure engineer yang berdomisili di Banda Aceh. Bisa dihubungi melalui akun Twitter @IqbalDista.
Komentar