Penjaga gawang yang berhasil membawa tim nasional Indonesia melaju ke semi-final Asian Games 1954 dan meraih medali perunggu Asian Games 1958, Maulwi Saelan, meninggal dunia di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta, Senin (10/10). Ketua umum PSSI 1964-1967 ini mengembuskan napas terakhirnya pada pukul 18:30 WIB.
Satu hal yang paling membuat kita ingat dengan Maulwi adalah penampilan monumentalnya pada pertandingan Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia. Saat itu, timnas Indonesia berhasil menahan Uni Sovyet dengan hasil imbang tanpa gol.
Salah seorang mantan anak didik Maulwi, Abarrul Ikram, buka-bukaan soal mantan ajudan Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, itu.
Abarrul awalnya mengenal sosok Maulwi ketika Maulwi menjadi guru di SMP-nya saat itu, al-Azhar Jakarta. Saat itu, Maulwi juga merangkap sebagai pelatih kesebelasan sepakbola SMP al-Azhar Jakarta.
“Waktu itu Maulwi Saelan menjadi guru dan pelatih tim [sepak]bola al-Azhar [Jakarta]. Saat itu antara tahun 1972 sampai 1973, berbarengan dengan saya yang juga menjadi kiper di [kesebelasan] Indonesia Muda, di mana Maulwi menjadi pelatih kiper di sana,” ujar Abarrul yang sekarang menjadi pegawai negeri di Badan Tenaga Nuklir Nasional di Serpong, Tangerang. “Jadi, saya sering bertemu dengan almarhum.”
Interaksi antara Abarrul dan Maulwi banyak terjalin di al-Azhar maupun di Indonesia Muda. Indonesia Muda adalah nama kesebelasan sepakbola di daerah Jakarta Selatan. Abarrul saat itu berposisi sebagai kiper, sama dengan Maulwi juga.
Menurut Abarrul, Maulwi cukup sering bercerita mengenai pengalamannya di Olimpiade 1956 tersebut. “Ia sangat bangga akan cerita di Olimpiade tersebut. Ia juga bercerita jika ia bertukar kaos dengan [kiper legendaris Uni Sovyet yang menjadi lawannya saat itu] Lev Yashin.”
Saat ditanya mengenai metode latihan Maulwi, Abarrul menyatakan bahwa ia akan selalu ingat. “Kalau pas latihan, saya berdiri di tengah, di bawah [mistar] gawang. Sementara di kanan dan kiri saya pasti ada dua orang yang bersujud,” katanya.
“Kalau sudah begitu, Maulwi kemudian melempar bola ke kiri dan ke kanan. Saya disuruh untuk melompat melewati teman saya yang bersujud itu, untuk menyergap bola,” tambahnya. “Uniknya, seringnya bola yang ia [Maulwi, sebagai pelatih kiper] lemparkan itu ke bawah [maksudnya bola datar]. Jadi, saya disuruh menangkap bola tanpa mengglosor, tetapi tetap melompat. Katanya, itu teknik kiper yang benar.”
Selain saat latihan tersebut, Abarrul juga banyak bercerita mengenai Maulwi saat ia melatih ketika pertandingan.
“Kalau sparing [pertandingan sepakbola], ia pasti berdiri di belakang gawang,” katanya. Dengan berdiri di belakang gawang, Maulwi sering menginstruksikan Abarrul untuk mengambil posisi yang tepat dan berkonsentrasi kepada pertandingan. “’Kurang ke kanan’, ‘kurang ke kiri’, almarhum selalu mengingatkan saya dari belakang gawang.”
Kemudian kami juga bertanya mengenai apa yang paling berkesan dari Maulwi, Abarrul menjawab bahwa kemampuannya dalam “memetik” bola saat umpan silang.
“Tinggi saya itu 185 cm, sementara Maulwi hanya 170-an [cm]. Tapi ia sering memperagakan, saya gak tahu istilahnya apa, tapi ia selalu bilang, “memetik” bola saat crossing. Ia bilang saya harus bisa melakukannya juga,” ujar Abarrul. “Meskipun bisa dibilang pendek untuk ukuran kiper, tapi ia berani adu badan saat crossing, dan hebatnya, hampir selalu dapat [menangkap bola].”
Abarrul yang pernah tinggal di Kitchener (Kanada) dan Nottingham (Inggris) ini juga bercerita jika Maulwi adalah sosok yang selalu bisa memotivasinya.
“Saat itu saya adalah angkatan pertama di SMP saya [al-Azhar]. Waktu saya kelas 3, saya pernah merasakan juara sepakbola se-Jakarta Selatan,” bebernya. “Saat itu [kami] menghadapi SMP 12. Kapten Indonesia Muda ada di al-Azhar, tapi ada lebih banyak pemain Indonesia Muda lainnya di SMP 12. Jadi, SMP 12 itu bisa kebayang jago banget.”
“Saat itu [kami] main defense dan berhasil unggul sampai 3-0. Setelah itu, kami diserang habis-habisan sama lawan. Saya menderita cedera dan kram, sehingga harus diganti dengan kiper cadangan. Tapi setelah saya keluar, SMP 12 malah bikin skor jadi 3-2.”
Di saat krusial seperti itu, Abarrul bercerita mengenai sosok Maulwi Saelan yang inspiratif. “Waktu itu peraturannya, pemain yang sudah keluar boleh main lagi. Jadi, saya masih bisa main menggantikan teman saya itu [kiper cadangan].”
“Saat itu, almarhum bilang ke saya, ‘[cedera kamu itu] sakit banget?’, lalu saya jawab, ‘ya, sakit, sih.’ Kemudian almarhum bilang, ‘Kalau kamu mau nahan sakit, sakitnya itu sebentar aja. Tapi kalau bisa juara, kenangannya bukan cuma sebentar, tapi akan dikenang terus’.”
Pada akhirnya Abarrul bermain kembali, SMP al-Azhar berhasil mempertahankan kedudukan, dan menjadi juara sepakbola se-Jakarta Selatan. “Benar saja, buktinya sampai sekarang saya terus terkenang bukan saja dengan gelar juara tersebut, tapi juga dengan kata-kata dari almarhum”, kata Abarrul.
Bapak dari tiga anak ini juga menyampaikan bahwa ia memang sudah lama tidak berinteraksi dengan Maulwi. “Ketemu [dengan Maulwi] kayaknya beberapa tahun yang lalu. Tapi saya selalu ingat sosok Maulwi yang percaya diri dan tenang.”
“Sebagai pelatih, Maulwi Saelan adalah orang yang keras, disiplin, kalau ngomong menggebu-gebu, suka cerita, dan pintar bicara,” tutup Abarrul.
Selain urusan sepakbola, Abarrul menyatakan bahwa ia jarang berurusan dengan Maulwi. Tapi ia tahu bahwa Maulwi Saelan adalah sosok yang sangat positif untuk sepakbola Indonesia, dan bahkan bisa dikatakan sebagai salah satu pahlawan olahraga Indonesia. Kepergian penjaga gawang kelahiran Makassar, 8 Agustus 1928 ini, sangat membuat sepakbola Indonesia berduka.
Foto: Sidomi
Komentar