Ketika mendengar kata Palestina, pasti yang terbesit adalah kata "konflik" atau "perang". Kata-kata itu sering terdengar sejak tensi tinggi dengan Israel memuncak pada pertengahan 2006. Sejak itu juga pemberitaan saling melemparkan roket antara dua negara tersebut muncul di berbagai media informasi.
Hal itu jelas mengundang keprihatinan dan perhatian seluruh dunia, terutama kepada pemberitaan minoritas kewilayahan Palestina oleh Israel. Bahkan sejumlah kelompok sepakbola memberikan dukungan mereka terhadapi Palestina, seperti para suporter Celtic yang melampiaskan keprihatinannya melalui tribun sepakbola.
Banyak yang berpikir jika kehidupan di Palestina jauh dari kebahagiaan realitas. Seperti dalam permainan sepakbola ketika di mayoritas negara bisa bebas memainkannya, sementara di Palestina harus mewaspadai permainan dan olahraga itu dari serangan-serangan tentara Israel. Tapi Palestina masih bisa berkecimpung dalam persoalan si kulit bundar. Beberapa laga internasional dari FIFA pun masih dilakoni para pemain Palestina.
Pada 5 Oktober lalu pun mereka masih memainkan jeda internasional menghadapi tuan rumah Tajikistan dengan skor 3-3. Mungkin sebagian orang bertanya-tanya tentang eksistensi sepakbola mereka, mengapa Palestina masih bisa memainkan sepakbola di tengah konflik berkepanjangan dengan Israel? Pertanyaan itu dijawab oleh Manajer Tim Nasional (timnas) Street Soccer Palestina yang mengikuti International Street Soccer Championship (ISSC) 2016 di Lapangan Parkir Tengah Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara.
ISSC sendiri merupakan bagian dari event TAFISA Games 2016 yang diselenggarakan sejak 6-12 Oktober 2016. Dan ISSC merupakan salah satu event yang paling menyedot penonton di TAFISA sehingga terlihat paling ramai. Dan tentunya banyak orang (termasuk saya) terkejut dengan keterlibatan Palestina pada ajang ISSC 2016. Palestina sendiri tergabung di grup A ISSC 2016 bersama dengan Indonesia yang berhasil menjuarai ajang tersebut bersama Lithuania.
Lalu mengapa Palestina bisa tetap eksis dalam ajang sepakbola dan street soccer internasional? Reyad Sader yang menjabat Manajer Timnas Street Soccer Palestina menjelaskan jika semangat tinggi adalah hal penting yang perlu dimiliki agar terus mencapai levelnya.
"Ya, karena penuh dengan konflik di sana. Setiap hari Yahudi membunuh seseorang di jalanan, tapi kami tetap memiliki spirit. Dan sejak kecil kami peduli dengan situasi di sekitaran kami, tapi sesungguhnya tidak benar-benar peduli karena anak kecil adalah anak kecil. Di usia itu terkadang lebih suka bermain, mereka tetap ingin bergabung dengan kehidupan," jawabnya ketika ditemui pada sela-sela ISSC 2016 di Lapangan Parkir Ancol.
"Tapi di usia mereka terkadang harus berpikir siapa keluarganya yang pergi menuju konflik dengan Yahudi atau apapun. Namun kami membutuhkan tempat yang aman untuk bermain," sambung Reyad.
Seperti itulah sedikit pandangan umum tentang situasi sepakbola di Palestina. Reyad pun memberikan alasan lain mengapa negaranya masih bisa mengirimkan tim sepakbola, terutama street soccer yang pekan lalu mengikuti ISSC 2016. Menurutnya, soal kondisi geografis adalah hal yang paling berpengaruh untuk soal itu. Sebab Palestina sendiri memiliki dua wilayah besar, yakni Gaza dan West Bank yang menjadi kota kelahiran Rayed dan hidup.
Ia menjelaskan bahwa konflik di West Bank tidak sepanas konflik Gaza. Di Gaza-lah bagaimana ketidak amanan menjadi makanan sehari-hari. Bukan hal yang aneh ketika mereka sedang bermain sepakbola, beberapa roket, misil, peluru atau boots tebal dari tentara Israel bisa menghujam tubuh mereka.
"Situasi di Gaza, ya terkadang mereka bermain di lapangan kemudian beberapa roket datang, membunuh banyak atau beberapa dari mereka," celoteh Reyad.
"Tentu saja di Gaza mereka tidak bermain setiap waktu. Mereka lebih berhati-hati dengan apapun. Tidak hanya fokus ke sepakbola. Tapi di West Bank, bisa memainkannya," tambahnya.
Atas konflik itu juga Reyad mengatakan tidak mudah untuk pergi dari Gaza. Masyarakat di sana tidak mudah datang ke Indonesia walau beberapa orang bisa pergi. Para pemain Palestina dalam ISSC pun tidak ada yang berasal dari Gaza, melainkan keseluruhannya berasal dari West Bank. Sekali lagi Reyad menegaskan jika spirit atau semangantlah yang membuat sepakbola, futsal dan street soccer Palestina bisa tetap hidup. Ia juga ingin perang agar segera berakhir. Sebab perang terus menerus tidak akan membantu pertumbuhan negaranya.
"Tapi spirit untuk bermain selalu berada di setiap orang. Ya, kami berada di dalam perang dalam waktu yang panjang. Tapi kalau kami terlalu fokus kepada perang, kami tidak akan pernah bisa tumbuh, terutama bermain sepakbola atau permainan lainnya," tegas Reyad.
Sulitnya Street Soccer Bagi Palestina
Sebetulnya di Palestina sendiri sudah terbiasa dengan sepakbola jalanan. Tentu saja hal itu juga dilakukan oleh pemain sepakbola di seluruh dunia, di mana masa kanak-kanak sepakbola dimainkan dengan tanpa aturan resmi. Bermain dengan keluarga dan tetangga pasti menjadi momen pertama memainkan sepakbola jalanan. Reyad juga menjelaskan bahwa sepakbola jalanan di Palestina tidak seperti di Indonesia. Apalagi sebetulnya jika street soccer memiliki regulasi yang dipacu menjadi aturan permainannya.
"Di Palestina, tentu saja kita tidak bermain seperti di sini, seperti TAFISA. Tapi kami bermain seperti normal, kami membuat permainan di tanah, terkadang di pasir, kami membuat garis memakai bebatuan," ceritanya.
Ketika ditanya tentang fasilitas sepakbola di Palestina, ia mengatakan jika hampir semua daerah memiliki satu stadion. Di tempatnya lahir dan tinggal pun terdapat Stadion Al-Huesseini yang merupakan markas utama timnas sepakbola Palestina. Tapi Reyad sendiri mengatakan pada umumnya rakyat Palestina lebih sering bermain sepakbola jalanan dan futsal.
Mereka bermain setiap Minggu atau di lain hari jika memiliki waktu luang. Sementara untuk mengumpulkan skuat street soccer, Palestina sendiri tidak perlu memakan waktu yang panjang. Sebab mereka selalu bermain bersama setiap waktu. Jadi ketika ia diminta membentuk tim street soccer, Reyad tinggal mengumpulkan satu sama lain di lapangan yang sudah dilakukan sejak lulus sekolah.
"Persiapannya untuk bermain di sini kami benar-benar latihan keras karena peraturannya benar-benar susah. Dan kami di Palestina tidak familiar dengan TAFISA dan peraturan street soccer seperti di sini. Jadi ini sangat susah untuk kami tapi kami sangat terbuka dengan latihan dan memberikan permainan yang bagus kepada semua orang," bebernya.
Palestina sendiri gagal berprestasi di ISSC 2016 karena berada di peringkat kedua terakhir di grup A. Kendati demikian, semangat dan keikutsertaannya di ISSC 2016 adalah prestasi tersendiri. Bagi mereka pun yang terpenting adalah berusaha menunjukkan permainan sebaik mungkin kepada semua orang.
Kemudian, sayup-sayup penggalan lirik Michael Heart berjudul "We Will Not Go Down" terlintas di dalam pikiran. Imajinasi itu menjadi headphone tersendiri di kedua telinga kanan dan kiri.
"You can burn up our mosques and our homes and our schools. But our spirit will never die. We will not go down.."
Lagu untuk Gaza, kepada Palestina dan semangat kebebasan dari street soccer Palestina atas perang yang tak pernah usai.
Komentar