Ada istilah yang dikenal dengan sebutan "jas merah", singkatan dari "jangan sekali-kali melupakan sejarah". Sejarah, seperti halnya narasi-narasi besar lainnya dalam hidup, selalu memiliki kesempatan untuk terulang jika orang-orang tak berkaca kepadanya. Sejarah adalah cermin, tempat merefleksikan diri atas apa yang telah terjadi supaya hal yang sama tidak lagi terjadi di masa depan. Agaknya, Leicester City belum memahami itu semua.
Musim 2015/2016, siapa yang dapat melupakan bagaimana klub yang sebelumnya hanya sebatas klub yang berjuang di zona degradasi, dapat menjadi juara Liga Primer Inggris. Orang-orang berpesta. Setidaknya mereka akhirnya melihat kedigdayaan klub-klub besar rusak dan hancur untuk sementara. Namun tak semua berpesta, ada juga orang-orang yang menganggap bahwa ini kebetulan semata, karena kisah yang serupa pernah terjadi, tepatnya pada musim 1994/1995.
Ketika itu, Blackburn Rovers, klub yang tak terlalu diperhitungkan berhasil menjadi juara Liga Primer Inggris. Mereka mampu mengangkangi klub-klub besar macam Manchester United ataupun Liverpool, dan menjadi juara. Namun, yang terjadi pada musim selanjutnya adalah cerita yang pelik.
Pada musim 1995/1996, Blackburn Rovers kembali digadang-gadang akan membuat kejutan. Masih dibela oleh pemain-pemain andalannya seperti Alan Shearer, Tim Sherwood, dan Chris Sutton, mereka berharap dapat kembali berbuat sesuatu dalam ajang Liga Primer Inggris. Tapi apa yang terjadi ternyata di luar harapan.
Dalam enam laga awal, mereka sudah menderita empat kekalahan (semuanya didapat ketika menjalani laga tandang). Hasil positif hanya mereka dapat ketika mampu mengalahkan Queens Park Rangers 1-0 dalam laga awal Liga Primer Inggris 1995/1996. Melawan Aston Villa, mereka hanya meraih hasil imbang 1-1.
Tim Blackburn Rovers yang meraih gelar juara 1994/1995
Dalam buku otobiografi yang ditulis oleh David Batty, pemain yang membela Blackburn pada musim tersebut, disebutkan bahwa kegagalan Blackburn mempertahankan gelar Liga Primer Inggris (juga gagal tampil menawan di Liga Champions Eropa) adalah karena para pemainnya terlalu terlena dengan gelar juara.
Dalam bukunya itu Batty juga menceritakan bahwa sebelum laga melawan Newcastle United, pemain Blackburn malah minum-minum di hotel tempat mereka menginap. Lebih buruknya lagi, meski diketahui asisten manajer ketika itu, Arthur Cox, pesta minum-minum itu malah terus berlanjut. Hasilnya mereka tidak mampu memenangkan pertandingan dan kalah dari Newcastle dengan skor 1-0.
Pengangkatan Ray Harford sebagai manajer pun menjadi salah satu sebab Blackburn tampil begitu buruk. Ia yang tidak terbiasa dengan posisi manajer tidak mampu mendamaikan para pemain, sehingga perselisihan acap terjadi antar satu pemain dengan pemain lain.
Inilah yang menjadi pangkal kehancuran Blackburn. Untungnya mereka mampu bangkit, setelah sempat berkutat di papan bawah, sehingga mengakhiri klasemen di peringkat ketujuh pada akhir musim 1995/1996.
**
Leicester City sekarang berada dalam posisi yang sama dengan Blackburn. Mereka sudah mencatatkan empat kekalahan pada awal musim. Kekalahan-kekalahan yang dicatatkan pun kebanyakan adalah kekalahan pada laga tandang (Hull City 2-1, Liverpool 4-1, Manchester United 4-1, dan Chelsea 3-0). Sejarah berulang. Leicester mungkin saja mengalami apa yang dialami oleh Blackburn Rovers pada musim 1995/1996.
Sejauh ini mereka berada di peringkat ke-13, hasil dari dua kemenangan, dua hasil seri, dan empat kekalahan. Kalau tidak segera melakukan perbaikan, bukan tidak mungkin mereka akan benar-benar seperti Blackburn Rovers pada musim 1995/1996.
Untungnya situasi Leicester kali ini sedikit berbeda. Dalam ajang Liga Champions Eropa, sejauh ini mereka sudah meraih dua kemenangan. Manajer mereka pun belum berganti, masih ada nama Claudio Ranieri yang tidak beranjak di situ. Pemain-pemain yang musim lalu membela panji-panji The Foxes masih ada di tim, seperti Jamie Vardy dan Riyad Mahrez. Hanya N`Golo Kante yang memutuskan untuk pergi, meski kepergiannya itu menjadi sebuah lubang besar di lini tengah Leicester.
Ranieri masih punya banyak waktu untuk memilah kekuatan skuat yang ia miliki, juga berkaca kepada kisah Blackburn pada masa lampau. Ia juga bisa meyakinkan Vichai Srivaddhanaprabha, pemilik The Foxes untuk belanja pemain demi menambah kekuatan skuat untuk mengarungi sisa musim 2016/2017.
Kalau tidak segera melakukannya, Leicester bisa saja dianggap sebagai tim yang bodoh, karena mau-maunya mengulangi sejarah Blackburn Rovers yang kelam.
Komentar