"Aku Camilo!" teriaknya dari pintu gerbang, melebarkan kedua tangannya kepadaku, seolah kami saling kenal. "Anak baptis ayahmu." Kedatangannya tampak sangat mencurigakan bagiku, seperti tanda bahaya, dan umurku sembilan tahun ketika itu, cukup besar untuk tidak jatuh dalam perangkap keakraban demikian. Kacamata hitam itu, seperti milik orang buta, di hari yang berawan. Dan jaket jin itu, dijahiti emblem dengan nama-nama band rock. "Ayah sedang tidak di sini," kataku, menutup pintu, dan aku bahkan tidak memberi tahu ayah tentangnya; aku lupa.
Ternyata benar: ayahku kawan dekat ayah Camilo, Pak Camilo—mereka kawan satu tim di klub Renca. Kami juga punya foto-foto pembaptisan, si bayi menangis dan seorang dewasa menatap kamera dengan khidmat. Semuanya baik-baik saja selama beberapa tahun —ayah adalah bapak baptis yang baik, dan ia menaruh perhatian penuh untuk anak baptisnya — tapi kemudian ayah dan Pak Camilo bertengkar dan, beberapa bulan setelah peristiwa kudeta, Pak Camilo dipenjara, dan setelah dibebaskan ia menjadi eksil. Rencana Pak Camilo, Juli istrinya menyusul ke Paris memboyong Camilo Kecil, tapi Juli tak mau, dan pernikahan mereka akhirnya bubar. Maka Camilo Kecil tumbuh tanpa ayah, menunggu kepulangan ayahnya, menabung agar suatu saat bisa mengunjunginya. Dan suatu hari, setelah berusia delapan belas, ia sadar belum bisa bertemu ayahnya, tapi setidaknya ia bisa menemui bapak baptisnya.
Aku tahu semua cerita di atas saat pertama kali Camilo bersantai sore minum teh bersama kami, atau mungkin aku mengetahuinya secara bertahap. Perlu kujelaskan di sini, aku agak linglung. Tapi aku ingat sore itu ayah begitu terpana melihat betapa mirip anak baptisnya dengan kawan lamanya. "Kamu persis ayahmu," kata ayah, yang belum tentu berarti pujian, karena wajahnya biasa-biasa saja, tidak menarik, dan meski Camilo memakai banyak produk untuk menata rambut kakunya agar terlihat keren, itu lebih cenderung merusak untuknya.
Berkebalikan dari kecurigaan awalku, Camilo segera menjadi kakak yang sesungguhnya bagiku, ia begitu perhatian dan selalu melindungiku, benar-benar baik. Ketika ia berangkat ke Perancis untuk memenuhi impian seumur hidupnya, itulah yang kupikirkan: yang pergi itu kakakku. Januari 1991; aku ingat pasti.
***
Bukan hanya aku saja yang terpesona oleh Camilo. Kakak perempuanku malah sangat tergila-gila, dan adik perempuanku, yang biasanya tak bisa memperhatikan sesuatu lebih dari dua detik, selalu memandanginya penuh perhatian ketika ia datang berkunjung, meramaikan semua lelucon yang dibuatnya. Belum lagi ibuku, yang bukan saja teman bercandanya melainkan juga teman curhatnya, karena waktu itu Camilo sedang mengalami — menurut istilah Camilo sendiri — keresahan beragama, dan meski ibu bukan orang yang taat, ibu gumun sekali mendengar gagasan bahwa orang bisa menyangkal keberadaan Tuhan sehingga ibu pun duduk dengan tenang sekaligus terkagum-kagum mendengarkan Camilo.
Bagi ayah, kupikir, Camilo lebih seperti teman atau sobat daripada anak baptis; ia bahkan membiarkan Camilo memanggilnya dengan sapaan akrab, "kamu". Mereka sedang duduk-duduk sampai larut malam di ruang tamu, ngobrol segala macam — kecuali eksistensi Tuhan, karena ayah tidak mungkin bisa menerima hal itu dipertanyakan, atau tentang sepakbola, karena Camilo adalah orang pertama yang kutemui yang tak suka sepakbola. Ia bahkan tidak paham aturan-aturan bola. Sekali-sekalinya ia bermain bola di San Miguel, saat usianya lima tahun: satu-satunya sumber pengetahuannya tentang permainan itu adalah cuplikan gol-gol yang ia tonton di televisi, maka sepanjang sore itu yang ia lakukan adalah berlari ke sana ke mari, bersorak merayakan gol yang tidak pernah ada dan dengan riang-gembira melambai ke arah kerumunan, ia sama sekali tak tertarik pada bola.
***
Hubunganku dengan ayah, bagaimanapun, terkait erat dengan sepakbola. Kami menonton atau mendengarkan pertandingan, kadang ke stadion, dan setiap hari Minggu, di siang hari, aku ikut ayah ke lapangan di La Farfana, di mana ayah bermain sebagai kiper. Ayah kiper yang hebat. Aku ingat ayah melayang di udara, meraih bola dengan dua tangan lalu mencengkeramkannya di dada. Namun, aku selalu curiga rekan-rekan setimnya pasti benci ayah, karena ayah adalah jenis kiper yang menghabiskan seluruh pertandingan dengan menggonggongkan perintah, menyuruh bek dan bahkan mengatur gelandang, semua dengan pekikan terkerasnya. "Oper balik, Coy, oper balik! Sini! Oper balik, Coy, oper balik!" Sangat sering aku mendengar ayah teriak begitu dengan nada alarm yang paling mengganggu. Seruannya kepadaku — kalau pernah — tidak pernah sekeras pekikan yang membuat rekan-rekan setimnya jengkel, atau setidaknya begitulah asumsiku, karena bermain dengan keberisikan nonstop di belakangmu tentu tidak menyenangkan. Tapi ayah dihormati, ayahku. Dan kukatakan lagi, ayah benar-benar hebat. Aku betah di belakang gawang ditemani Bilz atau Chocolito, dan sesekali ayah akan melirik ke arahku untuk memastikan aku masih di sana, dan lain kali ia akan bertanya, tanpa menoleh, apa yang terjadi, sebab itulah masalah utama ayah sebagai kiper: itulah alasan mengapa ayah tak pernah bisa menjadi pemain bola profesional — rabun jauh menderanya begitu parah sehingga hanya bisa melihat sejauh lini tengah. Namun refleksnya luar biasa, begitu pula kenekatannya, yang harus ayah bayar dengan dua patah tulang di tangan kanan dan kiri.
Selama istirahat babak pertama aku suka pergi ke titik kiper berdiri, dan selalu memikirkan betapa besarnya gawang itu. Aku bertanya-tanya bagaimana mungkin orang bisa menahan tendangan penalti. Ayah jago menahan penalti, tentu saja. Satu banding tiga atau empat: ayah tidak pernah melayang lebih dulu; ayah selalu menunggu, dan ayah bisa mementahkan kalau eksekusinya kurang bagus.
***
Aku ingat perjalanan kami ke kampung, ketika Camilo mendapatiku berkedip di antara lampu merah. Sampai sekarang aku masih melakukannya, bahkan ketika mengemudi; Aku tak bisa tahan. Segera setelah berada di jalan raya, aku mulai berkedip dengan hati-hati, sebisa mungkin tepat di tengah pergantian lampu. Hari itu, kami memenuhi kursi belakang Chevette orangtuaku, bersama kakakku, dan Camilo menyadari keteganganku, berkonsentrasi, kemudian ikut berkedip di saat yang sama denganku, dan tersenyum kepadaku. Aku waswas sekali, karena aku tak ingin membuat kesalahan; aku sungguh-sungguh percaya hanya jika aku berkedip tepat di antara pergantian lampu merah kami semua akan selamat.
Kebiasaan gugup tidak terlalu menggangguku lagi sekarang, tapi di masa kecilku kebiasaan itu membuatku begitu cemas bahkan membuat kegiatan yang paling sederhana pun bisa menjadi sangat pelik. Kukira aku terkena O.C.D. Seperti anak-anak O.C.D lain, aku begitu hati-hati menghindari retakan trotoar. Jika tanpa sengaja aku menginjak salah satu retakan itu, aku akan sangat putus asa tiada terkira — dan aku tahu, dalam derajat tertentu, itu semua terlalu konyol untuk dibicarakan. Aku juga punya obsesi menyeimbangkan bagian-bagian tubuhku: jika satu kaki sakit, aku akan memukul kaki yang lain biar impas. Kadang-kadang aku menggerakkan bahu kanan mengikuti irama detak jantung, seolah-olah aku punya dua hati. Aku juga punya beberapa rutinitas acak, misalnya naik-turun tangga curam yang mengarah dari kolam ke taman sebanyak sembilan kali. Ini tidak benar-benar aneh, kok — bisa jadi semacam permainan — tapi aku berhasil memastikan agar tidak terlihat aneh dengan menyarukannya secara hati-hari: aku akan berhenti di tangga paling bawah, menggeleng-gelengkan kepala seakan-akan lupa sesuatu, kemudian berbalik arah dan menelusuri langkah-langkahku kembali.
Aku ceritakan semua ini karena Camilo yang selalu bersedia membantuku. Di Chevette waktu itu, ketika ia mengetahui kegugupanku, ia mengusap-usap rambutku dan mengatakan sesuatu yang tidak kuingat, tapi aku yakin itu menghangatkan, penuh perhatian, dan lembut. Beberapa waktu kemudian, ketika aku bercerita tentang keanehanku, ia berkata bahwa setiap orang memang berbeda, dan mungkin hal-hal aneh yang kulakukan itu sebenarnya normal, atau mungkin tidak, bukan masalah, karena orang normal itu payah.
***
Bersambung ke halaman selanjutnya
Komentar