Pertandingan sudah berjalan selama 120 menit, tapi kemenangan belum berpihak kepada salah satu tim yang bertanding karena hasil masih imbang. Akhirnya kemenangan pun ditentukan lewat babak yang menegangkan, penuh drama, sekaligus penuh emosi; babak adu penalti.
Dalam babak ini, kiper berhadapan dengan penendang. Nasib tim ditentukan di tangan kiper dan di kaki penendang. Pada babak ini juga, seorang pemain dapat menjadi pahlawan sekaligus pesakitan. Semua terjadi dalam sekejap mata, mungkin hanya sepersekian detik saja. Itulah sensasi juga kengerian dari babak adu penalti.
Babak adu penalti, yang pertama kali diajukan oleh Yosef Dagan (wasit asal Israel) usai melihat timnas Israel kalah dalam babak delapan besar Olimpiade 1968, sampai sekarang masih menjadi patron dalam menentukan kalah-menang ketika dua tim bermain imbang selama babak normal plus perpanjangan waktu.
Sejak diajukan pada 1968, dan usulan ini diterima oleh FIFA pada 1970, sudah banyak sekali babak adu penalti yang dilakukan, baik itu dalam turnamen-turnamen skala kecil (seperti turnamen pramusim) ataupun turnamen skala besar seperti Piala Dunia. Sudah banyak juga yang merasakan kengerian dan sensasi ketegangan dari babak adu penalti ini (ingat bagaimana kesalnya Roberto Baggio saat tendangannya dalam babak adu penalti final Piala Dunia 1994 melenceng jauh?)
Itulah babak adu penalti, sebuah babak ketika ketenangan dan pengalaman mengungguli kemampuan individu. Tapi tahukah Anda, bahwa Major League Soccer (MLS) ternyata pernah menerapkan babak adu penalti dengan cara yang berbeda?
Babak Adu Penalti Rasa Hockey
Jika orang lazim mengenal babak adu penalti, ataupun tendangan penalti dengan sebutan tendangan 12 pas (karena tendangan dilakukan dari jarak 12 yard, atau jika dikonversi ke meter jaraknya menjadi 11 meter), mungkin lain hal dengan pemain-pemain yang berlaga di MLS.
Liga sepakbola yang berlangsung di Amerika Serikat sejak 1996 ini menerapkan sistem babak adu penalti yang sedikit berbeda dari liga-liga Eropa sana. Metode yang diterapkan oleh MLS ini cukup mirip dengan babak adu penalti olahraga Ice Hockey.
Jadi pemain akan berdiri di jarak 35 yard (32 meter) dari gawang. Dari jarak 35 yard ini, para pemain memiliki waktu lima detik untuk mencetak gol ke gawang lawan. Mereka bebas melakukan gerakan apa saja, untuk mendekati gawang, lalu kemudian menembak ke arah gawang. Umumnya para pemain akan menggiring bola, mendekati gawang sampai mencapai sebuah titik tembak, lalu menembakkan bola ke gawang.
Sistem ini berlangsung dalam empat awal musim MLS (1996-1999). Babak adu penalti dengan sistem yang unik ini pun acap dilangsungkan, terutama ketika kedua tim bermain imbang sepanjang waktu normal. MLS ketika itu memang tidak mengenal waktu normal karena para panitia penyelenggara MLS memiliki persepsi bahwa jika para penggemar olahraga di Amerika tidak mengenal hasil imbang dalam sebuah pertandingan.
Kalau pun ada olahraga yang berakhir imbang, maka popularitas olahraga tersebut di Amerika akan menurun. Sepakbola yang saat itu muncul sebagai olahraga baru di Amerika, tentu masih butuh banyak penggemar sebagai usaha untuk mempertahankan eksistensi sepakbola yang baru dikenal luas di Amerika Serikat usai Piala Dunia 1994.
Cermin Sebagai Amerika Serikat Si Raja Hiburan
Sekarang babak adu penalti seperti ini hanya tinggal kenangan, karena sistem babak adu penalti seperti ini memang sudah tidak lagi digunakan di MLS sejak 2000 silam. Tapi dari sistem ini dapat dilihat, bahwa Amerika memang selalu memiliki cara untuk menarik perhatian penggemar olahraga dengan hiburan-hiburan yang mereka sajikan, yang ujung-ujungnya akan berakhir dengan keuntungan komersial yang didapat.
Contohnya adalah latar belakang penyelenggaraan Major Indoor Soccer League pada 1978 yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan penggemar olahraga Amerika Serikat yang menginginkan olahraga yang keras dalam balutan sepakbola. Ada juga Katy Perry yang pernah muncul lama di jeda halftime Super Bowl 2015 (pertandingan final sepakbola Amerika Serikat).
Sistem babak adu penalti MLS 1996-1999 ini pun tak lepas dari kejelian sekaligus kreativitas dari panitia penyelenggara MLS untuk menarik minat penonton akan sepakbola. Dengan sistem ini, ketika itu sepakbola pun perlahan mulai menjadi olahraga yang populer, seperti yang kita kenal sekarang ini.
**
Terlepas dari motivasi apapun yang dipergunakan oleh panitia penyelenggara MLS ketika itu, sistem tendangan penalti ini merupakan sebuah keunikan tersendiri di Amerika. Ketika negara lain menggunakan sistem tendangan 12 pas, Amerika malah mengenalkan sistem yang lain yang sedikit berbeda dari yang diterapkan di Eropa sana, dengan sistem yang mirip dengan adu penalti Ice Hockey.
Ini juga bisa jadi mencerminkan Amerika sebagai negara yang selalu ingin berbeda. Juga mencerminkan Amerika sebagai negara yang mementingkan hiburan di atas segala-galanya.
Atau, ah, Amerika Serikat memang suka caper deh!
Komentar