Pada April 2011 lalu, Khalida Popal tiba sendirian di sebuah pemukiman suaka di Denmark. Ia bukanlah warga negara Denmark, ia seorang perempuan asal Afghanistan. Ia terpaksa meninggalkan negara asalnya karena diancam akan dibunuh karena sepakbola. Ancaman-ancaman itu datang dari Taliban dan sisa-sisa kekuasaannya yang diterapkan begitu konvensional bagi masyarakat Afghanistan.
Mereka mengancam kehidupan Popal dan keluarganya dengan mengampanyekan Popal sebagai sesuatu yang kotor. Taliban mendorong masyarakat menganggapnya sebagai perempuan yang melawan tradisi dan agama di Afghanistan. Mereka juga memberikan ultimatum kepada Popal untuk berhenti bermain sepakbola. Ia juga dilarang berbicara tentang kemajuan perempuan dalam olahraga, di mana ia merupakan seorang pelatih.
Ancaman pun menjadi tindakan. Kakaknya dipukuli dan diberikan pesan agar Popal berhenti dari segala kemungkinannya untuk bermain sepakbola. Rezim itu menegaskan kepada pelatih sepakbola perempuan agar berhenti bekerja, atau menghalau Popal dari sepakbola. Sampai pada akhirnya Popal meninggalkan Afghanistan menuju Denmark karena pertolongan dari Hummel Internasional, perusahaan pakaian olahraga di Denmark. Tapi sejujurnya Popal tidak ingin meninggalkan Afghanistan. Meninggalkan rekan-rekan perjuangan dan negaranya itu, merupakan keputusan terberat baginya.
Aghanistan Tidak Siap Merangkul Cinta Sepakbola Secara Transparan
Popal adalah perempuan yang lahir 1980-an. Ia lahir sebagai anak yang terdidik karena ibunya bekerja sebagai guru olahraga. Ibunya pun menginginkan anaknya itu terlibat dalam olahraga. Maka Popal dibelikan sepatu sepakbola agar bisa bermain dengan teman-teman sekelasnya.
Itulah mulanya Popal menyebarkan minatnya dan kebebasan anak perempuan untuk bermain sepakbola. Tapi konflik dalam negeri melanda pada 1996. Taliban mulai memasuki Kota Kabul dan mendirikan Islamic Emirate of Afghanistan. Periode itu mulai memunculkan interpretasi ultra konservatif hukum islam.
Salah satu hukum itu mengartikan bahwa perempuan dibatasi kebebasannya untuk bekerja, pendidikan, bahkan mengakses pelayanan kesehatan yang memadai. Mereka tidak bisa tampil di depan umum dengan laki-laki tanpa hubungan darah. Jika melanggar, perempuan itu bisa dihukum langsung dengan kekerasan cara Taliban. Hukuman itu juga termasuk melarang perempuan datang ke pertandingan sepakbola karena bisa bercampur dengan lawan jenis. Salah satunya pernah ada beberapa perempuan yang dihukum karena menonton sepakbola di Stadion Ghazi, Kabul.
Mereka dihukum dengan cara dikubur. Padahal perempuan di sana hanya ingin menyaksikan langsung saudara laki-lakinya bertanding. Menonton sepakbola langsung pun dilarang, apalagi berkecimpung di dalam olahraga tersebut. Maka bukan tanpa alasan mengapa sepakbola perempuan menjadi perdebatan di Afghanistan. Bagi perempuan yang memainkan si kulit bundar di Afghanistan, bersiap-siaplah disebut pelacur.
Cacian itu begitu keji karena ada anggapan lain; menganggap perempuan yang bermain sepakbola hampir tidak mungkin menikah. Sebab menikah adalah budaya tradisional di Afghanistan untuk perempuan usia 17 atau 18 tahun. Sebab jika tidak menikah, perempuan itu akan menanggung malu karena akan dibicarakan secara buruk oleh keluarga lain.
Sementara itu Popal yang besar secara terdidik dan mengerti hak-hak perempuan tidak ingin seperti itu. Ia bertekad melakukan apapun yang ia inginkan terutama dalam sepakbola yang sudah dijadikan aktivitasnya sejak kecil. Dan Taliban melarang hal tersebut.
Hal itu membuat sepakbola di mata Popal berubah. Dari awalnya hanya permainan untuk senang-senang, kemudian berubah menjadi perlawanan. Dari keterbukaannya bermain sepakbola sejak kecil, menjadi aktivitas sembunyi-sembunyi di balik tembok besar sekolah. Sebab jika ketahuan, maka mereka akan disebut pelacur, pelaku bom bunuh diri, bahkan langsung diserang.
"Orang-orang melempar sampah dan batu kepada kami dan memperingatkan bahwa kami harus berhenti bermain sepakbola atau mereka akan membunuh kami," celotehnya seperti dikutip dari People.
Selain itu, peralatan para pesepakbola perempuan juga sering dicuri, seperti syal, pakaian atau bola. Alhasil, setiap keluarga di Afghanistan begitu mengerti akan ketakutan itu dan melarang anak-anak perempuannya bermain sepakbola. Begitu sulit bagi anak perempuan untuk aktif dalam masyarakat. Jadi sebelum bermain sepakbola, para perempuan harus berpikir tentang risikonya di masa depan dan keluarganya sendiri.
Tapi Popal sendiri masih sangat muda waktu itu dan menolak menyerah. Alih-alih menunduk, ia justru berdiri semakin tegak. Atas agresivitas yang menimpanya, Popal berpergian ke sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga untuk merekrut perempuan-perempuan yang mau bergabung dengan tim sepakbolanya.
Tanah dan Rumput di Landasan Helikopter NATO
Setelah berkampanye kepada berbagai sekolah dan lembaga, Popal pergi ke Federasi Sepakbola Afghanistan (AFF) dan meminta dibentuk Komite Sepakbola perempuan. Presiden AFF saat itu, Keramuddin Karim, pun merupakan orang yang berpikiran maju. Turnamen sepakbola perempuan pun sejak 2005 mulai diselenggarakan, yang diikuti delapan kesebelasan. Dan pada akhirnya, pada 2007 terpilih pemain-pemain terbaik untuk membentuk Tim Nasional (timnas) perempuan Afghanistan, termasuk Popal yang ditunjuk menjadi kapten.
Kemudian mereka dilatih Klaus Stark dari Jerman yang juga melatih timnas laki-laki Afghanistan. Awalnya terpilih empat pemain berusia 15 sampai 17 tahun pada waktu itu. Semuanya berasal dari keluarga terdidik seperti Popal. Mereka berada di timnas tanpa banyak mendapatkan pelatihan normal. Mereka hanya bermain sebagai manusia yang terlepas dari tekanan, keluarga, teman dan tetangga yang mengikuti jalan tradisional.
Atas lingkungan itulah yang membuat mereka sempat melarikan diri ke Pakistan atau Iran. Hal itu karena sisa-sisa rezim Taliban masih diterapkan masyarakat Afghanistan, kendati sudah diinvasi Amerika Serikat dan Inggris sejak 2001. Sementara pelarian Popal dkk. ke Pakistan atau Iran hanya bisa menunggu hari ketika bisa kembali ke rumah.
"Masyarakat sangat tertutup dan tidak siap untuk menerima perubahan dan melihat perkembangan perempuan. Jadi itu lebih menantang bagi kami untuk tim sepakbola perempuan pertama memainkan sepakbola," ujar Popal seperti dikutip dari Unusual Efforts.
Bahkan dengan dukungan terus menerus dari AFF pun sulit bagi pemain perempuan untuk benar-benar terlibat dalam sepakbola. Sikap mereka yang berani meninggalkan lingkupnya untuk sepakbola justru menciptakan sejumlah masalah. Sesuatu yang sederhana seperti berlatih, masih belum lepas dari mimpi buruk berupa pelecehan dan ancaman di jalanan.
Mereka masih menghadapi ketidaksetujuan publik dan ancamannya, sehingga terpaksa berlatih di pangkalan NATO di Kabul. Di sana adalah tempat yang sering dijadikan zona pendaratan helikopter. Bahkan sesekali terdengar ledakan bom dari depan pintu komplek akibat ulah sisa rezim Taliban.
Mereka juga diabaikan masyarakat. Media lokal begitu lambat meliput sepakbola perempuan, pun media internasional. Pemberitaan tentang kemajuan mereka tidak lebih dari satu menit. Padahal, media dibutuhkan sebagai alat yang penting untuk berdiri di atas hak dan mengangkat suara perempuan Afghanistan untuk bermain sepakbola. Tapi para media perlahan mulai tertarik meliput sepakbola perempuan Afghanistan seiring dengan berbagai upaya pertandingan di dalam maupun luar negeri.
Timnas sepakbola perempuan semakin rajin menjalani partai uji tanding atau persahabatan. Maladewa, Nepal, Pakistan dan lainnya pernah bertanding dengan Afghanistan. Dulu tidak ada perempuan yang bermain sepakbola, tapi sekarang sudah dimainkan lebih dari 2000 jiwa. Dan memiliki pelatih, perempuan, wasit dan pemimpin federasi sepakbola perempuan yang dipimpin Popal untuk pertama kalinya. Tapi kemajuan-kemajuan itu tidak membuat semua orang senang melihatnya.
Siap Pulang Lebih Lantang
Sekitar tahun 2010, Popal pun bergabung dengan AFF. Ia menghadiri kursus pembinaan dan menjadi pelatih timnas muda. Mengambil peran petugas keuangan, kemudian pindah ke kepala departemen hubungan luar negeri AFF. Hebatnya, ia adalah perempuan pertama yang bekerja untuk federasi dalam sejarah Afghanistan. Bersama AFF, Popal membantu masa depan sepakbola perempuan Afghanistan dengan meningkatkan struktur administrasi. Tapi rupanya situasi negara masih belum pulih dari aturan yang ditindas Taliban itu menimbulkan reaksi begitu parah kepada Popal.
"Ada beberapa pemimpin dan beberapa orang kuat di negeri ini dan di daerah-daerah olahraga yang takut saya berkembang, takut kehilangan kekuasaan oleh seorang gadis berusia 23 tahun. Mereka membuat situasi saya lebih buruk dan membuat lebih banyak masalah dan tantangan bagi saya," jelas Popal.
Maka sejak itulah ancaman-ancaman pembunuhan kepada Popal dan keluarga semakin deras. Hal itu juga yang membuatnya meninggalkan Afghanistan ke Denmark. Sebab keputusannya itulah yang menandakannya tidak menyerah dan semakin kuat dari waktu ke waktu atas ancamannya. Ia pun sekolah di Copenhagen Business Academy dan bekerja untuk Hummel.
"Saya meminta bantuan dari organisasi pemerintah, tapi tidak ada yang membantu saya. Pada akhirnya itu memburuk bagi saya dan harus meninggalkan negara dan tinggal di bawah tanah India. Sampai waktunya Hummel membantu saya untuk keluar dari India dan datang ke Denmark. Kemudian saya mencari suaka di sini (Denmark) dan mendapatkan izin untuk tinggal," tambah Popal.
Kendati demikian, Hummel pun mengkhususkan Popal untuk bekerja dalam masyarakat melalui sepakbola. Hal itu membuat Popal masih terlibat dengan sepakbola perempuan Afghanistan melalui organisasi olahraga negara dan proyek asosiasi lintas budaya. Melalui LSM internasional itu jugalah Popal memastikan kedatangan perempuan dengan perjuangan yang sama, yaitu mengorganisir asosiasi sepakbola perempuan di seluruh dunia.
Selain itu, Hummel jugalah yang pernah merancang seragam khusus untuk Popal yang menutupi auratnya dari kepala sampai kaki yang sesuai dengan norma-norma budaya di Afghanistan. Setelah lima tahun melarikan diri karena ancaman pembunuhan, Popal bersumpah akan kembali ke Afghanistan, melanjutkan pekerjaan yang sangat penting di sana.
Ia harus pulang untuk melanjutkan perjuangan hak-hak perempuan dalam masyarakat Afghanistan, yang katanya belum membaik meski Taliban sudah cukup lama digulingkan. Maka tidak ada selamat tinggal untuk keluarga dan teman-temannya di Afghanistan, "Saya merasa lebih kuat. Saya menggambar dan bersuara untuk mereka. Berada di sana membuat situasi yang sangat sulit untuk mengangkat suara dan saya tidak ingin tinggal diam," tegasnya seperti dikutip dari AS.
Popal memang tidak bisa berpaling kepada semangat dan sumber kekuatan terbesarnya, yaitu sepakbola. Tindasan karena ketakutan akan perubahan memang berhasil mengusirnya ke luar negeri. Tapi itu tidak bisa membungkamkan Popal. Mungkin sekembalinya nanti, ia akan bersuara lebih lantang dari pada sebelumnya dan itu penting untuk didengarkan. Sepakbola untuk semua orang dan semua orang berhak bermain dengan keselamatan yang terjamin. Popal seorang perempuan kuat, ia tidak akan bisa dibungkam.
Sumber lain: Excelle, Girl Power, Global Citizen, Huffington Post, Unwomen, Unusual Efforts.
Komentar