Pertandingan antara dua rival dari satu daerah yang sama atau kerap disebut derby memang menarik perhatian. Bukan hanya untuk memperebutkan status terbaik di kota tersebut, pertandingan derby juga kerap lahir dari persaingan dua kesebelasan yang memiliki sejarah yang bersinggungan.
Derby della Lanterna antara Genoa C.F.C dan U.C. Sampdoria menjadi salah satu contoh bagaimana pertandingan derby lahir dari persaingan di masa lalu. Salah satu pelatih legendaris asal Italia, Marcelo Lippi, bahkan pernah berujar bahwa Derby della Lanterna adalah salah satu pertandingan paling spesial.
"Derby yang paling spesial? Saya pikir jawabannya Derby Lanterna," ujar pelatih legenda Italia, Marcelo Lippi, pada Il Secolo XIX 2008 lalu.
"Sampdoria melawan Genoa berbeda dengan derby lainnya [di Italia]. Saya telah merasakan semua derby dan [derby] Lanterna memiliki semua itu. Derby ini menyajikan lebih banyak kebencian dibanding yang lain, ini yang membuatnya menjadi seru."
Menariknya, bagaimana awal mula persaingan kedua kesebelasan yang berdomisili di kota pelabuhan ini hadir?
Sampdoria Lahir Karena Kebencian Mussolini Terhadap Genoa
Sepakbola di Italia tidak bisa dilepaskan dari dua kota, Turin dan Genoa. Federasi sepakbola Italia, FIGC, bahkan dibuat oleh empat kesebelasan yang lahir di dua kota tersebut, Genoa C.F.C, FBC Torinese, Ginnastica Torino and Internazionale Torino.
Sepakbola di Genoa semakin berkembang ketika memasuki 1900-an. Di kota Genoa, ada tiga kesebelasan yang tampil sebagai penguasa, Genoa C.F.C, Society Andrea Doria, dan Sampierdarense. Namun di antara ketiganya, hanya ada satu yang terkuat: Genoa C.F.C.
Kuatnya Genoa bukan hal yang patut untuk dipertanyakan. Pasalnya, kesebelasan tersebut merupakan salah satu yang tertua di Italia. Dari awal terbentuk pada 1893, hingga 1924, sembilan gelar kompetisi teratas Italia telah dimiliki mereka.
Keberhasilan Genoa tak lepas dari tangan dingin pelatih asal Inggris, William Garbutt. Garbutt sendiri tidak datang ke Italia sebagai pelatih, melainkan seorang pegawai pelabuhan. Namun seiring berjalannya waktu dan statusnya sebagai eks pemain sepakbola, ia dinominasikan oleh salah satu pelatih muda Genoa asal Irlandia, Thomas Coggins, untuk menjadi pelatih kepala.
Mayoritas pemain asal Inggris mengisi skuat Genoa di bawah didikan Garbutt. Dengan bantuan dari para pemain asal Inggris ini, Garbutt berhasil memberikan tiga scudetto bagi Genoa, yakni pada musim 1915, 1923, dan 1924.
Kesuksesan ini menimbulkan kebencian bagi seorang diktator Italia yang berpaham fasis, Benito Mussolini. Ia tak rela sebuah kesebelasan yang beranggotakan para pemain non-Italia menjadi penguasa tanah kelahirannya. Genoa pun dianggap sebagai antek Inggris oleh Mussolini.
Kegeraman Mussolini ia wujudkan dalam sebuah kesebelasan sepakbola tandingan. Ia pun memerintahkan agar Sampier dan Doria menggabungkan kekuatan untuk melawan dominasi Genoa. Pada 1927, terciptalah La Dominante Genova. Penamaan La Dominante, sebagaimana terlihat dari akar katanya yaitu `dominan`, adalah harapan kesebelasan yang baru tersebut mengambil pucuk kekuasaan dari tangan Genoa.
Namun harapan tinggal harapan. Kesebelasan `bentukan` Musolini ini hanya bertahan selama tiga tahun. Pendukung lawas Samper dan Doria tak terkesan atas performa La Dominante. Pada Italian Football Championship, kompetisi teratas sebelum Serie A, La Dominante hanya dua kali finis di urutan ke-10, bahkan tak terpilih sebagai peserta musim pertama Serie A.
Pada musim pertama di Serie B, La Dominante gagal promosi ke Serie A karena hanya berada di peringkat tiga klasemen akhir. Musim berikutnya pada 1930-1931, La Dominante melemah. Di akhir musim mereka harus menelan kekalahan demi kekalahan yang membuat mereka menjadi peringkat terakhir klasemen Serie B sehingga terdegradasi ke Serie C.
Karena kegagalan ini, La Dominante pun pecah. Sampierdarense dan Andrea Doria memilih jalannya masing-masing. Sampierdarense kembali ke Serie B pada musim berikutnya dan Andrea Doria berkutat di Serie C.
Sampier berhasil melenggang ke Serie A untuk pertama kalinya pada musim 1933-1934. Lalu, saat mereka mengakhiri musim di urutan ke-5 di Serie A musim 1938-1939, mereka melakukan merger dengan kesebelasan asal Genoa lain, yakni Corniglianese dan Rivarolese, untuk melahirkan Associazione Liguria Calcio.
Selama Liguria bertarung `sendirian` melawan Genoa, Andre Doria perlahan-lahan menunjukkan kemajuan yang baik. Hingga pada akhirnya mereka berhasil ke Serie A untuk pertama kalinya pada musim 1945-1946.
Mendapati Doria telah menampilkan peningkatan kualitas, Liguria yang di dalamnya terdapat Sampierdarense, kembali menyatukan kekuatan untuk meruntuhkan Genoa C.F.C. Pada 12 Agustus 1946, setelah Perang Dunia II usai, Samper dan Doria kembali bergabung dan menciptakan Unione Calcio Sampdoria.
Warna seragam baru pun diciptakan untuk menunjukkan rasa kebersamaan antara Sampier dan Doria, yang selalu berada di bawah bayang-bayang Genoa. Warna merah-hitam Sampier dan biru berpolet putih Doria pun melahirkan simbol warna seragam Sampdoria hingga saat ini.
Derby della Lanterna sebagai Penentuan Penguasa Kota Genoa
Kelahiran Sampdoria dianggap sebagai bentuk tantangan bagi Genoa, khususnya para pendukungnya. Hal ini terjadi karena presiden Sampdoria musim 1946 hingga 1948, Amedeo Rissotto, meminta pada pemerintah Genoa untuk membagi agar Stadion Luigi Ferraris dapat dipergunakan Sampdoria.
Luigi Ferraris sebelumnya memang digunakan oleh Genoa saja. Pemerintah kota pun menyetujuinya dan memperbolehkan Sampdoria berbagi kandang dengan Genoa.
Pertarungan kedua kesebelasan dalam status derby pun dicatat pada Serie A 1946. Dalam pertandingan saat itu yang digelar pada 3 November 1946, Sampdoria yang berstatus sebagai tuan rumah, membuka Derby della Lanterna dengan kemenangan meyakinkan, 3-0.
Saat itu Genoa tampil buruk sepanjang musim. Pada 17 laga pertama, Genoa hanya menorehkan dua kemenangan. Pada pertemuan kedua, Genoa berstatus sebagai tuan rumah, Genoa kembali tumbang di tangan Sampdoria dengan skor 2-3.
Dua kali kekalahan dari saudara mudanya membuat Genoa mulai dianggap mulai kehilangan kesaktiannya. Sejak saat itu pula Sampdoria mulai diperhitungkan sebagai salah satu raksasa sepakbola Italia.
Anggapan itu tak sepenuhnya salah. Nyatanya, sejak kehilangan Garbutt, kesebelasan tersebut memang bukan lagi sebuah kesebelasan besar. Tak ada satu pun scudetto diraih setelah Italian Football Championship berubah menjadi Serie A. Padahal, sebelum menjadi Serie A, Genoa selalu berada di papan atas Italian Football Championship.
Situasi tersebut rupanya menguntungkan Sampdoria. Genoa yang sedang terpuruk, membuat nama Sampdoria muncul sebagai kekuatan baru di Italia. Trofi Serie A, trofi yang tak bisa diraih Genoa, diraih Sampdoria pada musim 1990-1991.
Tak hanya di liga domestik, Sampdoria pun melebarkan sayapnya ke Eropa. Pada akhir 1980an, Sampdoria berhasil menjuarai Piala Winners UEFA dan sekali menjadi runner-up. Suatu hal yang lagi-lagi tidak bisa didapatkan oleh Genoa.
Awal era 90an memang merupakan masa keemasan Sampdoria. Saat itu, kesebelasan berjuluk Il Samp tersebut diperkuat oleh talenta-talenta terbaik Serie A. Dilatih oleh pelatih legendaris asal Yugoslavia, Vujadin Boskov, mereka diperkuat oleh pemain-pemain macam Gianluca Pagliuca, Gianluca Vialli dan sang kapten, Roberto Mancini, di mana karier mereka tengah menanjak.
Meski mulai dikenal sebagai kesebelasan papan atas Serie A, namun rupanya Sampdoria belum dianggap sebagai lawan setara Genoa. Pendukung Genoa bahkan terus menerus berkata bahwa mereka lebih baik karena berhasil menjadi kampiun Italia sembilan kali.
***
Hingga 2016, kedua kesebelasan telah bertemu 94 kali. Genoa berhasil memenangi 24 partai, 35 kali imbang, dan sisanya dimenangkan oleh Sampdoria. Kedua kesebelasan ini pun akan melangsungkan pertemuan ke-95 mereka pada Sabtu, 22 Oktober 2016. Siapa yang kali ini akan menang? Genoa atau Sampdoria?
Komentar