Oleh: Mohammad Rasyid Hidayat
Scout, sebutan populer bagi pencari bakat, pada dasarnya adalah individualis. Istilah scouting is networking dalam dunia sepak bola tidak serta merta menuntut mereka menjadi seseorang yang terbuka di profesinya. Dalam satu kesempatan mereka bisa saja berkumpul di satu stadion, bahkan duduk bersampingan. Namun, mereka tidak selalu bertegur sapa apalagi saling bertukar informasi. Analisis mereka begitu ekslusif, hanya ia dan klubnya lah yang layak menikmatinya.
Pada satu titik, eksklusifnya analisis mereka ini terkadang menjadi buah simalakama. Penilaian seorang scout sedikit banyak dibumbui oleh unsur subjektivitas dan intuisi, tidak ada kitab pasti yang dijadikan panduan bersama untuk menilai dan memprediksi bakat pemain, pun tidak ada gelar konkret yang didapat setelah pemain temuannya tumbuh menjadi seorang bintang.
Pada Agustus 2016 silam, saya berkesempatan mengikuti kursus scouting dari International Professional Scouting Organisation (IPSO). Organisasi ini adalah sebuah organisasi independen yang dikelola oleh Colin Chambers, First Team Opposition Analyst dari Middlesbrough, yang sekaligus bertugas sebagai mentor bersama dengan Martin Dobson, Chief Scout dari Leicester City.
Keikutsertaan saya dalam kursus ini berawal dari keingintahuan saya tentang bagaimana seorang scout bisa meramal potensi pemain dengan cukup presisi. Sebagai pemain setia Football Manager, scouting sudah menjadi kudapan sehari-hari. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk ‘silaturahmi’ ke klub-klub kecil demi mencari potensi tersembunyi. Dan melihat kembali stats James Rodriguez di usia 14 tahun saat masih bermain untuk Envigado dan membandingkannya dengan kondisi nyata saat ini bagi saya adalah sebuah keajaiban.
Pada pertemuan pertama mereka meminta kami untuk menyebutkan tugas dan peran scout di sepak bola, “Finding Wonderkid” adalah mantra yang keluar dari mulut saya secara spontan. Saat itu tidak ada pemikiran lain tentang scout yang terlintas di benak saya. Agak sulit memang untuk tidak mengasosiasikan scouting dengan permainan adiktif tersebut.
Lima menit berlalu, mentor kami menyudahi tanya jawab. Ia kemudian menjelaskan bahwa tugas scout tidak hanya sebatas mencari bibit pemain, ada tugas yang lebih penting yang harus dilakukannya yaitu memastikan proses adaptasi pemain berjalan mulus hingga ia menjadi seorang pemain yang utuh di usia matang.
Tidak jarang kita temui kasus pemain muda berbakat yang memiliki latar belakang atau kepribadian bermasalah. Contohnya Nicolas Anelka saat ia ditransfer ke Real Madrid pada 1999. Seperti yang Simon Kuper kutip dalam Soccernomics bahwa kasus Anelka adalah contoh kegagalan transfer yang paling mencolok dalam sepak bola modern. Anelka adalah tipe pemain yang tidak mudah berinteraksi dengan orang lain, bukan hanya karena tidak fasih dalam berbahasa, melainkan juga karena ia takut menghadapi orang asing.
Dalam hal ini, Madrid tidak melakukan banyak hal untuk menyatukan Anelka dengan rekan setimnya, bahkan lemari ganti untuknya pun tidak ada. Klub justru menjatuhkan sanksi selama 45 hari kepadanya akibat tidak bisa menyesuaikan diri.
Jika sang pemain dirasa begitu spesial maka scout wajib memiliki akses informasi yang luas tentang dirinya, termasuk kelemahan dan kelebihannya diluar lapangan, disinilah peran networking bagi scout seharusnya bekerja. Scout harus siap menjadi pihak pertama yang mengakomodir segala kebutuhannya, menyediakan fasilitas bagi keluarganya, pendidikan, penerjemah bahkan jika diperlukan menjadi bahu dan telinga ketika pemainnya butuh tempat berkeluh kesah.
Lantas apa bedanya dengan peran seorang agen? Colin menjelaskan bahwa agen seperti Jonathan Barnet (Stellar), Jorge Mendes (Gestifute) dan Mino Raiola adalah pihak perantara antara scout dan pemain yang campur tangan sebatas perihal kontrak, pajak serta image right.
Walaupun dewasa ini tidak sedikit agen yang berperan ganda menjadi scout, mereka mencari, mempromosikan, serta mengurus segala kebutuhan pemainnya sendiri. Pundi-pundi yang mereka terima pun lebih besar ketimbang harus menyewa scout untuk mencarikannya seorang pemain. Namun terlepas dari itu semua adalah tanggung jawab seorang scout sepenuhnya.
Saya cukup beruntung karena selain mendapatkan teori, saya juga berkesempatan untuk mempraktikan langsung ilmu yang saya dapat di lapangan. Pertandingan yang saya saksikan saat itu adalah Huddersfield vs Barnsley, bukanlah pertandingan prestisius layaknya Derby Manchester atau El Classico, namun cukup merepresentasikan istilah ‘blusukan’ pemain ke klub-klub papan bawah.
Dalam pertandingan tersebut saya diinstruksikan untuk memantau pemain bernomor punggung 40 dari Barnsley, Ryan Kent, pemain pinjaman dari Liverpool berusia 20 tahun yang beroperasi di sektor sayap kanan. Sebagai scout, saya diminta untuk memperhatikan hal-hal terkecil “attention to details” katanya.
Di malam sebelumnya saya sudah harus melakukan studi tentang sang pemain, mulai dari ciri-ciri fisik, latar belakang dan segala pemberitaannya di media. Di hari pertandingan pun saya diminta untuk memperhatikan cara pemain melakukan pemanasan hingga pemain masuk kembali ke tunnel usai pertandingan, gerak-gerik pelatih serta sikap pemain kepadanya.
Tujuannya semata untuk mendapatkan gambaran pemain secara utuh dari berbagai perspektif. Hal kecil seperti itu bisa menjadi faktor penentu bagi klub untuk melanjutkan pantauannya atau beralih ke pemain lain.
Selama 90 menit pertandingan, pemain kidal ini tidak banyak menguasai bola, beberapa kali sentuhan pertamanya tidak sempurna, lebih sering berlari di pertahanan sendiri dan tidak pernah sekalipun duel udara walaupun posturnya cukup ideal. Sekilas pemain ini bukanlah tipe yang diidamkan dari seorang pemain sayap, namun seorang scout harus mampu menilainya secara keseluruhan, tidak hanya sebagai individu, namun sebagai tim. Tidak hanya saat ia menguasai bola tetapi saat ia kehilangannya.
Walaupun hanya bermain 60 menit, ia mampu memberikan ancaman bagi pertahanan Huddersfield di tiap kesempatan, ia menjadi pemain yang paling sering dilanggar, sebuah kabar baik bagi tim yang mengandalkan situasi bola mati. Tusukan dan cut inside nya mampu membuka lobang di pertahanan lawan, ia bahkan menjadi aktor utama terciptanya gol pertama Barnsley.
Sentuhan pertamanya memang bukanlah yang terbaik namun tiap kali kehilangan bola ia selalu turun untuk membantu pertahanan dan merebutnya kembali. Dribel dan akselerasinya diatas rata-rata, itulah salah satu alasan mengapa ia lebih sering menunggu dibanding turun ke dalam menjemput bola atau duel udara. Ia sangat efisien dalam menyimpan energinya.
Selama berada di lapangan, saya tidak pernah melihatnya berjalan bahkan saat bola berada jauh di sisi seberang ia tetap berlari kecil mencari posisi ideal, sebuah sinyal positif dari segi stamina dan visi seorang anak muda.
Di luar lapangan, tidak ada berita negatif atau sejarah cedera serius yang pernah dialaminya. Usianya yang masih muda juga menjadi pertimbangan bahwa ia masih akan terus berkembang. Secara keseluruhan, Ryan Kent menunjukan penampilan yang menjanjikan dan layak mendapat perhatian khusus.
Hal diatas diamini oleh Colin yang sudah memonitor dan membuat laporan tentang Jamie Vardy sejak ia bermain di Fleetwood Town. Namun ia juga mengatakan bahwa apa yang kita lihat di pertandingan tersebut bisa jadi tidak sepenuhnya benar, mungkin saja laga itu adalah hari baiknya, bagaimana jika di laga berikutnya ia bermain buruk?
Tentu hal tersebut akan membuat laporan scout sulit untuk dipertanggungjawabkan, oleh karena itu sama halnya dengan penelitian ilmiah lain, perlu adanya observasi yang panjang sebelum membuat kesimpulan.
Sama halnya ketika menilai pemain dalam sebuah turnamen. Perlu diingat bahwa turnamen hanya mempertandingkan sedikit laga dan umumnya digelar di tempat netral sehingga bukan momentum yang tepat untuk dijadikan dasar dalam membuat keputusan. Akan lebih bijak jika turnamen dijadikan sebagai second opinion untuk pemain yang telah dipantau panjang di liganya masing-masing. Jangan sampai kisah fenomenal Bebe yang mencetak 40 gol dalam 6 pertandingan di Homeless World Cup terulang kembali.
Usai laga di John Smith Stadium, Colin mendapat laporan bahwa terdapat kurang lebih 10 scout yang duduk di tribun yang sama dengan saya, mereka tidak saling bertegur sapa dan tidak pula saling mengetahui siapa pemain yang menjadi targetnya. Ubiquitous yet anonymous – begitulah istilah yang digunakan oleh Michael Calvin dalam bukunya The Nowhere Man dalam menyebut para pencari bakat dalam dunia sepak bola.
Mereka ada dimana-mana namun tidak ada yang tau siapa aktor dibaliknya, dan saya baru saja menjadi salah satunya.
foto: foxesfc.com
penulis adalah Football Analyst di Opta Sports. Biasa berkicau di akun Twitter @bungkoes
Komentar