Artikel #AyoIndonesia Karya Anggara Gita Arwandata
Sembilan tahun lalu, saya menyaksikan langsung tiga pertandingan tim nasional Indonesia di Piala Asia. Di Stadion Gelora Bung Karno, tepatnya.
Di pertandingan pertama, saya datang bersama dua teman yang memang sama-sama menggilai sepakbola, khususnya sepakbola lokal. Di pertandingan ke dua, versus Arab Saudi, teman-teman saya yang juga penggila sepakbola namun antipati menyaksikan sepakbola dalam negeri ikut-ikutan datang ke stadion. Kami datang bertujuh.
Di pertandingan ke tiga, ketika Indonesia punya peluang lolos ke babak selanjutnya bila mampu mengalahkan Korea Selatan, atau cukup seri saja asalkan Bahrain bermain seri melawan Arab, saya datang berlima belas. Teman saya yang sama sekali tidak suka dan tidak tahu menahu tentang sepak bola ikut datang, bahkan membawa pacar-pacar mereka.
Sejak kemenangan lawan Bahrain saat itu, animo masyarakat pada pertandingan timnas semakin menguat. Levelnya hampir sama seperti konser-konser musik. Tiket habis terjual jauh-jauh hari. Antrean mengular pada hari H. Calo pun membludak nyaris tiap kali timnas bertanding.
Sedemikian banyaknya kah pecinta sepakbola tanah air? Delapan dari lima belas teman yang waktu itu ikut nonton langsung Piala Asia bersama saya tidak suka sepakbola. Bukan hanya tidak suka, tapi juga tak tahu sama sekali. Paling banter hanya pernah dengar Bambang Pamungkas.
Keriuhan itu berlanjut di pertandingan-pertandingan selanjutnya. Tiap kali lihat langsung timnas di GBK, saya selalu bertemu setidaknya tiga orang teman yang selama ini, sepengetahuan saya, sama sekali tidak suka sepak bola. Bahkan rata-rata datang bersama kekasihnya, yang kemungkinan besar juga tidak tahu sepakbola.
Jadi, ya, dari puluhan ribu orang yang memadati stadion, menurut perkiraan saya, hampir setengahnya tidak tahu sepakbola.
Walau mereka datang ke stadion sepertinya ikut-ikutan tren saja, saya melihat ada kegembiraan tulus terpancar dari wajah mereka ketika timnas berhasil mencetak gol. Begitu juga sebaliknya, mereka yang saya duga hanya gaya-gayaan saja nonton langsung di stadion, tidak kalah hebohnya dalam mengekspresikan rasa kesal ketika peluang emas gagal berbuah gol. Seakan-akan darah timnas sudah mengalir sejak lama. Semua larut dipersatukan timnas.
Kini, hampir 10 tahun berselang, saya dan teman-teman saya yang lain, bahkan mungkin juga mereka semua yang dulu juga turut hadir di stadion, masih punya gairah yang sama terhadap timnas. Tidak berkurang.
Sayangnya sepakbola Indonesia malah berhenti di tempat. Atau bahkan mundur. Lha, sekarang ini kurang kacau bagaimana lagi coba? Liga tidak bergulir sementara Piala AFF di depan mata.
Hey, ini AFF, Bung! Piala Dunia-nya kita, bukan? Harus serius. Kita harus juara!
Saya tidak sanggup muluk-muluk bicara zona Asia. Masih jauh panggang dari api. Sedangkan Sea Games yang berisi pemain-pemain U-23, rasa-rasanya lebih mirip Olimpiade. Jadi, ya, bagi saya, AFF ini harga mati. Harus dipandang serius oleh kita semua, pecinta sepakbola nasional.
Apalagi AFF 2016. Tak bisa ditunda-tunda lagi, Indonesia wajib menjuarai turnamen edisi ke-20 ini. Tak boleh lewat dari sekarang.
Di tengah-tengah terbelahnya sebagian dari masyarakat Indonesia karena isu politik, sepakbola kita bisa menjadi perekat. Harus menjadi perekat. Hanya timnas yang bisa memaksa kita mengganti warna-warni baju partai yang kita kenakan setiap hari menjadi jersey merah putih.
Emas Olimpiade dari Owi/Butet yang lalu masih belum cukup memuaskan dahaga kita. Timnas harus menjadi oase. Harus. Kita semua, baik yang suka sepakbola maupun yang tidak, sedang membutuhkan momentum pemersatu dan vitamin penyemangat. Dan itu diemban dalam perjuangan timnas di AFF 2016 ini.
Tidak adil rasanya bila saya, atau kita, hanya sebatas berharap timnas juara tapi tidak ada keyakinan dalam diri bahwa timnas dapat mencapainya.
Timnas kita bisa saja mengambil inspirasi dari Italia di Piala Dunia 2006. Menjadi juara setelah liganya diguncang skandal pengaturan skor (calciopoli). Bila membandingkan dengan Italia dianggap terlalu jauh, kita bisa menjadikan Irak sebagai acuan. Perang yang sedang terjadi di negaranya, tak menghalangi Younis Mahmoud dkk untuk meraih gelar juara setelah mengalahkan Arab Saudi 1-0 di final, dan menundukkan Korea selatan melalui adu penalti di semifinal.
Hal lainnya yang membuat saya merasa timnas harus juara sekarang juga adalah faktor komposisi pemain. Mumpung Boaz Solossa belum pensiun. Entah kapan lagi akan lahir pemain dengan skill lengkap seperti Boas? Bukan berarti kita bergantung pada Boas seorang. Justru maksud saya, mumpung Boas belum pensiun dan masih hebat, sementara pemain-pemain muda seperti Evan Dimas dan Andik Vermansyah sudah punya tempat di timnas. Mereka bertiga tipe pemain kreatif yang dapat menyulitkan pertahanan lawan sekaligus memanjakan mata kita.
Saya sangat berharap Evan dan Andik dapat mengambil banyak pelajaran dari Boas di turnamen ini.
Oh ya, cedera Irfan Bachdim tentu patut disesali. Tapi di lain sisi dapat menjadi berkah tersendiri dengan dipanggilnya Muchlis Hadi, rekan Evan Dimas saat menjuarai AFF U19 tahun 2013. Indonesia butuh pemain bertipe finisher seperti dia.
Lagipula, di timnas, Muchlis punya torehan gol yang lebih baik dibanding tiga penyerang lainnya, Ferdinand Sinaga dan Lerby Eliandry. Walau belum pernah sekalipun main untuk timnas senior, dia tercatat sudah mencetak lima gol untuk timnas U23 dan tujuh gol untuk timnas U19. Sedangkan Ferdinand baru mencetak delapan gol untuk timnas U23 dan Lerby Eliandry bahkan belum pernah mencetak gol saat mengenakan jersey berlambang garuda.
Eh, whaaatt, jadi dari semua striker yang dibawa ke AFF 2016 ini cuma Boaz, nih, ya, yang sudah pernah mencetak gol untuk timnas senior? Gile!
Selain sektor depan, pos gelandang dan bek juga diisi kombinasi pemain senior dan junior yang cukup ideal untuk kita saat ini dan perkembangan timnas ke depannya. Jangan lupa, kita punya Kurnia “Andika Kangen Band” Meiga di bawah mistar, salah satu kiper terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Usianya masih 26 tahun, tapi dia sudah pernah juara liga dan dua kali meraih medali perak Sea Games. Sangat berpengalaman! Bukan cuma itu, dia satu-satunya kiper di Indonesia yang bisa meraih penghargaan pemain terbaik liga (2009-2010). Kurnia Sandy dan Hendro Kartiko yang legendaris itu bahkan tidak pernah.
Faktor teknis maupun non-teknis sudah mendukung semua. Terus masa iya kalian masih tidak yakin timnas akan juara? Akhir-akhir ini banyak hal ajaib terjadi lho. Liverpool di puncak klasemen, Mauro Icardi tidak juga dipanggil pelatih Argentina, Edgardo Bauza, sampai terpilihnya Donald Trump jadi presiden Amerika Serikat. Mungkin saja tren ini merambat sampai ke Asia Tenggara.
Jadi, mulai nabung dari sekarang, ya. Nonton bareng kita 14 dan 17 Desember nanti. Home & away tuh finalnya. #AyoIndonesia
Perakit balon di IG: @nf.nellafantasia beredar di dunia maya dengan akun twitter @cekinggita. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Selengkapnya baca di sini: Ayo Mendukung Timnas Lewat Karya Tulis.
Komentar