Artikel #AyoIndonesia karya Alfredo Pradikta
Garuda di dadaku
Garuda kebanggaanku
Ku yakin hari ini pasti menang...
Lagu tersebut tentu sangat familiar bagi suporter Timnas Indonesia, khususnya mereka yang sering menonton langsung di stadion. Lalu, apakah saya termasuk suporter yang sering menonton di stadion? Walaupun tidak terlalu sering, tapi setidaknya saya sudah menonton timnas secara langsung dalam berbagai event, seperti Sea Games, Kualifikasi Piala Dunia, Piala Asia, dan juga Piala AFF. Jika tidak sempat nonton di stadion, saya tidak akan ketinggalan untuk menonton di stasiun televisi.
Tahun 1998 merupakan pertama kalinya saya menonton pertandingan sepakbola di televisi. Ketika itu saya yang baru naik ke kelas 4 SD diajak Ayah saya -yang juga gila bola- untuk menonton Piala Dunia 1998, di mana ketika itu saya langsung mengidolakan pemain Brasil nomor punggung 9 dengan ciri khas kepala botak dan gocekan mautnya, Ronaldo! Dengan mengidolakan Ronaldo, tentunya kalian bisa tebak kan apa kesebelasan jagoan saya? Hehe. Pada tahun 1998 pula saya pertama kalinya nonton timnas di ajang Piala AFF, yang dulu masih bernama Piala Tiger.
Sebagai anak kelas 4 SD yang lebih banyak waktu untuk belajar dan mengerjakan PR, saya tidak selalu bisa menonton setiap pertandingan Timnas di Piala Tiger, maka dari itu hanya sedikit momen yang saya ingat. Salah satu yang saya ingat justru momen negatif ketika pertandingan “sepakbola gajah” antara Indonesia vs Thailand, di mana ketika itu pemain Indonesia, Mursyid Effendi, dengan sengaja melakukan gol bunuh diri.
Sebagai informasi, ketika itu Indonesia dan Thailand sama-sama ingin menghindari Vietnam (yang kala itu bertindak sebagai tuan rumah) di semifinal, maka dari itu kedua tim seperti tidak ingin meraih kemenangan. Jika ditanya siapakah jagoan saya ketika pertama kali menonton Timnas, tentu saja jawabannya bukan Mursyid Effendi. Jagoan saya ketika itu adalah Bima Sakti dan Kurniawan. Sepertinya saya tidak salah memilih keduanya menjadi jagoan, karena mereka adalah legend di sepakbola Indonesia.
Piala Tiger kembali diadakan pada tahun 2000, ketika saya menginjak kelas 6 SD. Karena pada saat kelas 6 tersebut saya sedang dalam masa persiapan Ebtanas (Bagi pembaca yang tidak tahu, Ebtanas adalah istilah lawas dari Ujian Nasional), maka saya jarang menonton pertandingan timnas sehingga tidak banyak momen yang saya ingat. Salah satu yang saya ingat adalah kemunculan pemain junior yang kelak akan menjadi legend, Bambang Pamungkas atau akrab disapa Bepe.
FYI, pada Piala Tiger ini, timnas harus puas menjadi runner up setelah dikalahkan Thailand di Babak Final. Pada Piala Tiger 2002, ketika saya sudah berganti seragam menjadi putih - biru, saya hampir tidak pernah ketinggalan nonton setiap pertandingan timnas. Hal yang paling saya ingat ketika Indonesia membantai Filipina dengan skor 13-1!
Indonesia kembali berhasil masuk final, namun lagi-lagi harus kalah dengan Thailand setelah bertarung spartan hingga babak adu penalti. Adakah yang masih ingat momen ketika kamera televisi menyorot Gendut Doni yang menolak menjadi algojo penalti? Mungkin jika Gendut Doni bersedia menjadi algojo, hasilnya akan berbeda. Ah sudahlah, penyesalan tidak akan merubah hasil pertandingan tersebut.
Pada Piala Tiger 2004, saya pun sudah berganti seragam menjadi putih - abu abu. Memori tentang Piala Tiger 2004 pun masih melekat hingga kini. Hal yang paling saya ingat adalah kemunculan bocah ajaib berumur 18 tahun, Boaz Solossa! Piala Tiger 2004 juga ditandai kembalinya Kurniawan yang sebelumnya absen lama membela timnas.
Selain itu, terdapat pula momen heroik, ketika Timnas yang kalah di leg pertama semifinal melawan Malaysia, secara tak terduga berhasil membantai Malaysia di Stadion Bukit Jalil sehingga berhasil membalikan agregat dan memastikan tempat di final. Namun sayangnya, lagi-lagi timnas harus kalah di Final, yang ditandai cedera parahnya Boaz Solossa.
Pada tahun 2007, Perusahaan bir Tiger tidak lagi menjadi sponsor utama turnamen, sehingga turnamen tidak lagi bernama Piala Tiger. Turnamen seharusnya berlangsung tahun 2006, namun mengalami penundaan hingga awal 2007.
Melihat penampilan timnas di Piala Tiger 2004, saya berekspektasi timnas akan meraih gelar juara. Namun fakta berkata sebaliknya, jangankan juara, lolos babak group saja tidak. Hasil yang tentu saja tidak memuaskan. Tahun 2008, saya yang saat itu sudah jadi anak kuliahan dengan style rambut kribo ala David Luiz, kembali menjadi saksi kegagalan timnas di Piala AFF. Saat itu timnas yang berstatus tuan rumah kalah di babak Semifinal setelah dikalahkan oleh musuh bebuyutan, Thailand.
AFF 2010 bisa dibilang menjadi titik balik Timnas setelah gagal di edisi-edisi sebelumnya. Saya mengakui bahwa penampilan timnas di AFF 2010 menjadi salah satu penampilan terbaik sepanjang saya mengikuti sepak terjang timnas. Setelah kegagalan Benny Dolo di AFF sebelumnya, PSSI menunjuk pelatih berpenampilan dingin bernama Alfred Riedl yang terkenal tegas.
Salah satu bentuk ketegasannya adalah berani mencoret Boaz Solossa karena terlambat datang ke pemusatan latihan. Selain itu Riedl juga berani memasukkan pemain-pemain baru seperti Okto Maniani, pemain blasteran bernama Irfan Bachdim, serta pemain naturalisasi yang jadi langganan top skor Liga Indonesia, Cristian Gonzales.
Saya menjadi saksi bagaimana merindingnya nyanyi Indonesia Raya bersama puluhan ribu supporter di GBK serta menyaksikan sendiri ramainya antrian untuk membeli tiket final. Bayangkan, bukan hanya dari pagi hari, tetapi dari malam sebelum ticket box dibuka pun banyak ya sudah antri. Eforia yan sangat luar biasa. Dengan eforia sebesar itu, sangat disayangkan timnas kembali harus puas jadi runner up. Kekalahan 3-0 di bukit Jalil hanya sanggup dibalas dengan kemenagan 2-1 di GBK, sehingga kalah secara agregat.
Wajah sedih terlihat di wajah penonton yang hadir di GBK, termasuk Bapak SBY yang saat itu menjabat sebagai Presiden Indonesia. Saya jadi ingat, dulu ada mitos yang mengatakan bahwa timnas akan kalah jika SBY menonton langsung di GBK (Itu mitos ya bukan saya yang bilang).
Setelah meraih runner up di AFF 2010, prestasi timnas justru menurun jauh di dua edisi AFF selanjutnya. Pada AFF 2012 dan AFF 2014, Indonesia harus menerima kenyataan tidak lolos babak group. Seperti diketahui, tahun 2012 terjadi dualisme kompetisi, yang mengakibatkan pelatih timnas saat itu (Nil Maizar) memiliki keterbatasan dalam memilih pemain. Hal itu dikarenakan klub-klub ISL menolak untuk mengirimkan pemain mereka ke timnas.
Hal yang menarik perhatian saya adalah sikap Bepe yang memutuskan untuk bergabung ke Timnas, walaupun dilarang oleh klubnya saat itu. AFF 2012 juga menjadi akhir perjalanan Bepe di Timnas, karena Bepe memutuskan pensiun. Jika ada yang menyadari, Bepe memilih nama “pamungkas” di jersey timnas, seolah sebagai kode bahwa Piala AFF adalah turnamen pamungkas dari seorang pencetak gol terbanyak timnas.
Pada AFF 2014, secara mengejutkan PSSI kembali menunjuk Alfred Riedl sebagai pelatih Timnas, yang tentu saja mengundang pro-kontra di masyarakat. Skuad Timnas 2014 bisa dibilang lebih baik dibandingkan skuad AFF 2012, namun sayangnya timnas kembali harus menelan pil pahit karena harus tersingkir lebih cepat.
Dua tahun berselang dari kegagalan di AFF 2014, saat ini, timnas kembali mengikuti AFF 2016 dengan segala permasalahannya. Seperti diketahui, pada tahun 2015 Timnas mendapat sanksi pembekuan dari FIFA karena adanya intervensi Pemerintah. Pembekuan baru dicabut pada tahun 2016, sehingga Timnas hanya memiliki waktu persiapan yang singkat menjelang Piala AFF 2016. Dimulai dengan mengadakan “audisi” mencari pelatih yang sempat dihadiri Nil Maizar, Rahmad Darmawan, hingga Indra Sjafrie, namun pada akhirnya PSSI menggunakan hak prerogatif untuk menunjuk (kembali) Alfred Riedl.
Hanya saja jika sebelumnya Riedl bebas memilih pemain, tetapi kali ini beliau harus menerima kenyataan bahwa setiap klub membatasi pemanggilan pemain dengan hanya membolehkan maksimal dua pemain. Tentunya kebijakan ini dibuat karena turnamen jangka panjang Indonesia Soccer Championship masih berlangsung bersamaan dengan AFF 2016.
Dengan segala keterbatasannya tersebut, Riedl berhasil memilih 23 pemain untuk AFF 2016. Namun masalah tidak selesai sampai di situ, timnas harus kehilangan Irfan Bachdim beberapa hari sebelum AFF karena mengalami cedera. Dengan waktu yang singkat, Riedl memutuskan memanggil Yohanes Ferinando Pahabol, yang sayangnya mengalami penolakan dari pihak Persipura. Akhirnya Riedl memanggil Muchlis Hadi, yang untungnya diperbolehkan oleh PSM.
Dengan segala permasalahannya, apakah saya masih mendukung Timnas di AFF 2016? Apakah saya tidak bosan mendukung Timnas? Yang dari mulai saya kelas 4 SD hingga sudah menikah, hampir tidak ada prestasi yang bisa saya banggakan, kecuali prestasi Timnas U-19 yang berhasil juara AFF dan lolos ke Piala Asia dengan mengalahkan Korea Selatan di babak kualifikasi. Ditambah banyak teman saya yang mengatakan “Realistis aja sama peluang Timnas di AFF, jangan berharap untuk juara”.
Namun entah mengapa, saya tetap optimis dengan timnas dan sama sekali tidak bosan untuk mendukung perjuangan Boaz dkk. Contohnya ketika Indonesia melawan Thailand di pertandingan pertama, saya sampai berteriak kencang ketika Lerby berhasil menyamakan kedudukan, walaupun pada akhirnya timnas harus kalah dengan skor 2-4. Kekalahan dari Thailand tidak serta-merta menutup peluang timnas untuk lolos.
Sebagai penutup artikel ini, saya mengutip kalimat motivasi dari Bung Karno "Gantungkan cita-cita mu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang." Jadi tidak ada salahnya kan bermimpi timnas bisa juara. Jika memang tidak juara pun, saya tidak akan bosan mendukung timnas. Jayalah terus Indonesia! #AyoIndonesia
Penulis adalah seorang pegawai kantoran yang bermimpi menjadi komentator sepakbola di televisi. Gentayangan dengan twitter @aldopradikta dan instagram aldopradikta. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Selengkapnya baca di sini: Ayo Mendukung Timnas Lewat Karya Tulis.
Sumber foto Dokumentasi Pribadi (Pict by: Muhammad Rifqi)
Komentar