"Kok, Riedl gak mau pake tiga gelandang sih?", "Kayanya Indonesia bagusan pake 4-3-3 deh", "Indonesia butuh satu gelandang di belakang Lilipaly dan Evan Dimas", "Kira-kira Indonesia cocok gak pake 3-4-3 kaya Chelsea?".
Pertanyaan-pertanyaan di atas menghiasi lini masa setiap Indonesia bertanding di Piala AFF 2016. Pertanyaan-pertanyaan di atas akan semakin banyak bertebaran setelah susunan pemain Indonesia yang memakai formasi 4-4-2 beredar. Pertanyaan-pertanyaan di atas juga akan deras terlontar di dunia maya ketika usai pertandigan dan Indonesia mendapatkan hasil negatif.
Tak mengherankan sebenarnya jika saran-saran di atas bermunculan ketika Indonesia tampil tak sesuai harapan masyarakat Indonesia. Apalagi sebenarnya, banyak pemain-pemain tim nasional Indonesia saat ini yang lebih fasih bermain dalam skema 4-3-3 atau 4-2-3-1 ketimbang skema 4-4-2 yang diusung Riedl.
"Saya lebih enak main di 4-2-3-1. Kalau 4-4-2, wing lebih bekerja keras untuk bertahan," kata Zulham Zamrun.
Meskipun begitu, tidaklah mudah mengganti sebuah formasi dalam sebuah kompetisi. Tidak bisa kita seperti bermain Pro Evolution Soccer atau FIFA misalnya, ketika bermain buruk langsung mengubah formasi begitu saja. Sepakbola di dunia nyata tidak sesederhana permainan sepakbola virtual, bung.
Meski para pemain Indonesia fasih bermain dengan skema tiga penyerang dan tiga gelandang, namun bagi skuat tim nasional Indonesia yang dilatih Riedl, hal tersebut bisa dibilang mustahil. Hal ini dikarenakan sepanjang menangani Indonesia, Riedl sudah menyiapkan para pemainnya untuk bermain dalam sistem 4-4-2.
Dengan skema 4-4-2 yang terus diperagakan kala pertandingan, Riedl bersama tim pelatih sudah tentu memberikan porsi latihan pada para pemain untuk menyempurnakan cara bermain dengan 4-4-2. Dimulai dari misalnya, cara menekan (tanpa bola), cara menguasai bola, cara merebut bola, cara melancarkan serangan, semuanya pasti dilakukan dengan formasi yang disiapkan untuk pertandingan, yang bagi Riedl ini adalah 4-4-2.
Sementara itu, latihan cara bermain satu formasi akan berbeda juga dengan formasi lain. Misalnya latihan cara mengalirkan serangan dalam formasi 4-4-2 akan berbeda dengan latihan cara mengalirkan serangan dalam formasi 4-3-3, baik itu menggunakan umpan pendek ataupun panjang. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan posisi dan peran setiap pemain.
Menyempurnakan sistem dengan sebuah formasi pun membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Manajer Liverpool, Juergen Klopp, misalnya, ketika datang ke Liverpool menggantikan Brendan Rodgers, sudah mewanti-wanti jika ia tidak akan bisa menyulap Liverpool bermain seperti yang ia inginkan dalam waktu singkat. Ia membutuhkan pramusim, yang lamanya sekitar dua bulan, agar para pemainnya bermain dengan sesuai yang diinginkannya.
"Pramusim sangat penting, karena ketika musim berjalan, kita tidak akan sempat berlatih (taktik) dengan benar. Pramusim sangat penting, kita bisa melakukan banyak hal. Tidak hanya menonton dan berpikir hanya menjalani laga uji tanding," tutur Klopp seperti yang dilansir laman resmi Liverpool Juli lalu.
Klopp sendiri baru musim ini menjalani pramusim bersama Liverpool, karena ia menggantikan Rodgers di tengah musim 2015/2016. Namun jika membandingkan musim ini dan musim lalu, Liverpool jelas telah tampil berbeda di mana musim ini menjadi lebih berbahaya, di mana ini merupakan hasil dari pramusim.
Chelsea bersama Antonio Conte pun demikian. Perubahan sistem permainan ke 3-4-3 tidak serta merta dilakukan dalam beberapa hari saja, atau setelah kalah dari Arsenal. Kedua skema ini sudah disiapkan jauh-jauh hari olehnya, khususnya pada pramusim. Ini artinya, sebenarnya Conte hanya menggunakan skema yang sebelumnya sudah ia persiapkan.
"Saya harus jujur, selama pramusim kami mulai mempersiapkannya, menggunakan 4-2-4 tapi juga dengan 3-4-3 karena skuat ini bisa bermain dengan kedua sistem tersebut. Saya mengubahnya karena ini [3-4-3] memberikan keseimbangan ketika bertahan dan menyerang," tutur Conte.
Dari Klopp dan Conte, kita bisa menyimpulkan bahwa untuk bermain baik dengan sebuah sistem, berapapun formasinya, membutuhkan persiapan yang matang. Tidak bisa seorang pelatih mengganti formasi, dari 4-4-2 ke 4-3-3 misalnya, jika formasi penggantinya itu belum pernah ia persiapkan di pramusim atau latihan sebelumnya. Justru bisa dibilang, berjalan atau tidaknya sebuah sistem permainan, tergantung dari sesi latihannya, bukan sekadar memasang formasi dan menempatkan pemain-pemain dalam formasi yang diinginkan.
Sementara itu, Riedl sendiri tidak pernah menyiapkan alternatif strategi selain 4-4-2. Selain terlihat dari laga-laga uji tanding, hal ini juga pernah diungkapkan oleh bek timnas Indonesia, Yanto Basna, sebelum Piala AFF bergulir, "Belum ada rencana pakai tiga gelandang," katanya. Ini artinya, mungkin kita jangan terlalu berharap tim nasional Indonesia akan menggunakan skema lain selain 4-4-2.
Bahkan jika melihat 23 pemain yang dibawa Riedl ke Filipina, komposisi pemainnya pun disiapkan untuk bermain dengan 4-4-2; tiga kiper, delapan bek, delapan gelandang dan empat penyerang. Ya, dua pemain per posisi disiapkan Riedl untuk bermain dengan skema 4-4-2.
Tapi pada laga melawan Singapura, dengan adanya Bayu Pradana, Evan Dimas dan Stefano Lilipaly dalam susunan pemain, sempat ada anggapan jika Indonesia (akhirnya) menggunakan tiga gelandang atau formasi 4-2-3-1. Namun pada kenyataannya, Evan Dimas diplot sebagai second striker, yang posisinya justru lebih seperti penyerang.
Gambar di atas menunjukkan bagaimana Evan Dimas justru kerap menjauhi bola ketika bola dalam penguasaan Indonesia. Bahkan yang lebih sering terlihat menjemput bola adalah Boaz Solossa. Karenanya tak heran Evan Dimas kemudian bermain tak efektif dan digantikan oleh Ferdinan Sinaga, pergantian yang kemudian melahirkan dua gol bagi Indonesia.
Oleh karenanya, Indonesia mengganti formasi dari 4-4-2 ke 4-3-3, 4-2-3-1 atau 3-4-3 rasanya sangat sulit terealisasi di Piala AFF 2016 ketika membutuhkan kemenangan. Apalagi jika ada yang berharap Indonesia bermain seperti Chelsea menggunakan 3-4-3, para pemain Indonesia belum mencapai level mampu bermain dengan skema yang belum populer di kompetisi Indonesia.
Sekali lagi, mengubah formasi di dunia nyata tidak semudah dan sesederhana di permainan sepakbola virtual, bahkan Football Manager sekalipun. Butuh persiapan yang matang dan panjang untuk menyempurnakan sebuah sistem permainan dengan formasi tertentu. Sesi latihan akan menentukan seberapa baik sistem permainan di pertandingan, bukan formasi apa dan siapa ditempatkan di mana.
Jadi, karena skema lain selain 4-4-2 belum pernah disiapkan Riedl, dan jika kalian bertemu dengan Riedl, jangan pernah menanyakannya, "Kenapa Indonesia tidak menggunakan tiga gelandang, coach?". Karena bukan tidak mungkin, ia akan menjawab, "Tiga gelandang matamu!".
Komentar