Pep Guardiola bisa saja gagal mempersembahkan trofi Liga Champions andai Andres Iniesta gagal berhasil menyamakan kedudukan di penghujung pertandingan kala Barcelona berkunjung ke markas Chelsea di leg kedua semifinal Liga Champions pada tahun 2009 silam (saat itu Barcelona lolos ke final karena unggul gol tandang). Di laga yang sarat akan kontroversi ini, Barcelona tertinggal terlebih dahulu melalui gol cantik yang dilesakan oleh Michael Essien di babak pertama. Saking istimewanya, gol ini menjadi Chelsea’s goal of the year 2009 yang dipilih oleh para penggemar.
Ketika mendengar nama Essien, otomatis yang terlintas dipikiran kita adalah: seorang petarung, kuat, mempunyai takel mumpuni, juga memiliki fisik yang prima. Dalam periode 2005-2012, mustahil bagi kita untuk mengesampingkan nama Essien sebagai figur penting Chelsea dalam meraih kesuksesan.
Michael Kojo Essien lahir di Accra, Ghana, pada tanggal 3 Desember 1982. Dibandingkan dengan pesepakbola pada umumnya, Essien bisa dikatakan terbilang telat untuk berkecimpung ke dunia sepakbola. Jika kebanyakan pesepakbola memulai karirnya sejak usia 13 tahun ke bawah, Essien justru baru mendaftar ke akademi Liberty Professionals ketika umurnya sudah menginjak 16 tahun.
Kedua orang tuanya bercerai ketika Essien baru berumur dua tahun. Ia kemudian tinggal bersama ibunya. Keinginan dari sang ibu agar Essien untuk tetap bersekolah lah yang kemungkinan membuat dirinya telat untuk terjun ke dunia sepakbola.
Namun memang dasar berbakat, hanya baru satu tahun menggeluti sepakbola secara serius, pada tahun 1999 Essien sudah terpanggil oleh timnas Ghana yang akan berlaga pada ajang Piala Dunia U-17 di Selandia Baru. Essien tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dirinya bermain cemerlang. Walau hanya berhasil membawa Ghana menduduki peringkat ketiga, bukan berarti dirinya luput dari perhatian para pemandu bakat tim-tim Eropa.
Tidak tanggung-tanggung, pemandu bakat yang tertarik terhadap permainannya adalah perwakilan dari tim raksasa Liga Inggris, Manchester United. Essien senang bukan kepalang, apalagi Manchester United adalah tim favoritnya.
Barulah pada April tahun 2000 dirinya terbang ke Manchester untuk mengikuti trial. Essien pun diturunkan di laga melawan Derby County U-17. Selepas mengikuti serangkaian tes, Sir Alex cukup terkesan untuk mengontraknya, tetapi karena terganjal izin kerja, Essien pun rencananya akan dipinjamkan terlebih dahulu ke klub Belgia, Royal Antwerp sambil menunggu dokumen-dokumennya selesai.
Namun, entah kenapa proses transfer ini urung terlaksana. Beberapa tahun setelahnya, kepada media, Essien membeberkan kegagalannya bergabung dengan Manchester United.
“Saya sangat mengagumi Roy Keane. Saya suka dengan cara mainnya, kepemimpinannya, dan komitmennya untuk tim. Saya selalu ingin bisa bermain seperti dia. Saya selalu bermimpi untuk bisa bermain di Eropa. Ketika kecil, tim idolaku adalah Manchester United. Ketika mereka menawariku untuk tes selama satu minggu, itu tidak bisa dipercaya. Saya sangat senang. Saya ingat ketika pertama kali saya datang, dan wow, ini adalah klub terbesar di dunia."
“Sir Alex tidak jadi mengontrak saya karena menurutnya saya terlalu kecil. Ia mungkin memiliki kriteria yang sangat khusus, dan saya tidak termasuk di dalamnya. Kemudian ibu saya menyarankan agar saya pergi ke Prancis."
Bakat Essien kemudian tercium oleh klub Ligue 1 Prancis, SC Bastia. Pada Juli tahun 2000 ia menandatangani kontrak profesional pertamanya. Debutnya terjadi satu bulan kemudian melawan FC Metz. Sepanjang musim, Essien lebih sering ditempatkan sebagai bek kanan atau bek tengah. Satu musim setelahnya barulah Essien mulai mendapatkan kepercayaan sebagai seorang gelandang. Selama tiga musim memperkuat Bastia, Essien berhasil mencetak 11 gol dari 66 pertandingan.
Penampilan apiknya yang ditunjukan bersama Bastia mengundang perhatian dari klub-klub besar untuk meminangnya. Paris Saint-Germain dan Olympique Lyon saling sikut demi mendapatkan tanda tangannya. Walau PSG memberikan kontrak yang lebih besar, Essien justru lebih memilih tawaran dari Lyon. Pilihan Essien terbilang cukup masuk akal, karena ketika itu kualitas PSG tidaklah sementereng saat ini, dan masih berada di bawah Lyon.
Kepindahannya ke Lyon sangatlah tepat, bersama Mahamadou Diarra, dirinya memberikan rasa aman bagi Juninho Pernambucano di lini tengah. Dua musim bermain bersama Lyon, Essien berhasil mendapatkan dua gelar Ligue 1 dan dua Trophee des Champions secara berturut-turut.
2005/2006 Pindah ke Chelsea
Chelsea baru saja berhasil memenangkan gelar Liga Inggris pertamanya sejak 55 tahun terakhir. Jose Mourinho pun berkeinginan untuk memperkuat skuadnya agar Chelsea dapat mempertahankan gelarnya, dan nama Essien menjadi bidikan paling utama. Setelah melalui negosiasi yang cukup alot, Essien akhirnya berhasil didatangkan dengan mahar 24,4 juta paun, dan menjadikannya sebagai pemain termahal Afrika sepanjang sejarah, mengalahkan rekor 24 juta paun milik Didier Drogba yang juga di transfer Chelsea pada tahun sebelumnya.
Essien langsung mendapatkan tempat di tim inti Chelsea. Di bawah Jose Mourinho, permainannya semakin bertransformasi. Jika di Lyon ia lebih sering ditugaskan untuk menjaga pertahanan, bersama Chelsea ia harus bisa bertahan dan juga menyerang. Essien pun dapat memerankan tugas sebagai box-to-box midfielder ini dengan sangat baik. Gaya bermainnya yang tak kenal lelah sangat cocok dengan sepakbola Inggris. Tak ayal, julukan Bison pun disematkan kepadanya. Selain menjadi seorang gelandang, Essien pun tidak jarang ditempatkan sebagai bek kanan atau bek tengah di Chelsea.
Berkat penampilan konsistennya yang ia tunjukan, Chelsea pun berhasil mempertahankan gelarnya. Tidak hanya itu, Essien juga diganjar penghargaan BBC African Footballer of the Year 2006 dan terpilih ke dalam nominasi Ballon d’Or 2006.
Tetapi situasi berubah ketika memasuki musim 2011/2012. Akibat dari kondisinya yang mulai akrab dengan cedera, Essien mulai tersisih dari skuad utama Chelsea. Dirinya kalah bersaing dengan John Obi Mikel, Ramires, dan Raul Meireles. Pada musim 2012/2013 Chelsea meminjamkannya ke Real Madrid, ia pun akhirnya kembali bereuni dengan Jose Mourinho. Selama 7 tahun memperkuat Chelsea, Essien bermain sebanyak 256 kali dan berhasil mencetak 25 gol, juga turut menyumbangkan dua Liga Primer, tiga FA Cup, satu Piala Liga, satu FA Community Shield, dan satu Liga Champions.
Bersama El Real, Essien hanya bermain sebanyak 20 kali karena Jose Mourinho lebih sering memilih dirinya sebagai ban serep andai para pemain utama tidak dapat tampil. Walau demikian, ada satu hal yang mungkin dapat diingat oleh fans Real Madrid tentang Essien. Adalah ketika dirinya dengan ciamik menghentikan pergerakan Lionel Messi di parta El Clasico.
Selanjutnya Essien pun hijrah ke AC Milan. Karena kondisinya yang menjadi gampang cedera, Essien hanya dapat bermain sebanyak 20 kali, dan hanya dapat bertahan selama satu musim saja. Nasibnya sempat coba diselamatkan oleh Panathinaikos yang memboyongnya pada musim 2015/2016, tetapi lagi-lagi cedera menghantui dirinya, Essien pun hanya dapat bermain sebanyak 12 kali.
Setelah dilepas Panathinaikos, nasibnya semakin buruk. Saat ini Essien belum memiliki klub. Walau demikian, Ia belum mau memutuskan untuk gantung sepatu. Sang Bison masih ingin merumput. Belakangan ini ia terlihat cukup sering mengunjungi markas Chelsea untuk menumpang latihan demi meningkatkan kebugarannya kembali. Selepas sembuh nanti, bukan tidak mungkin masih banyak tim yang menginginkan jasanya.
Tetap semangat, Bison!
foto: givemeasport
Komentar