Di tengah hiruk pikuk kesuksesan Timnas Indonesia menembus final ajang Piala AFF 2016, ternyata ada tim sepakbola lainnya, yang juga berasal dari Indonesia, sedang melangsungkan turnamen Asean Deaf Football Championship di Kuala Lumpur, Malaysia.
Dalam ajang yang berlangsung pada 4-10 Desember 2016 ini, tim tunarungu Indonesia mampu menembus babak semifinal usai menjadi runner-up Grup A. Bergabung dengan Thailand, Kamboja, dan Laos, Tim Merah Putih mampu meraih 6 poin.
Kegagalan Indonesia meraih poin penuh terjadi saat menghadapi Thailand di laga terakhir babak grup. Kala itu, tim besutan Akash Natani tumbang dengan skor 2-7. Dengan status runner up, mereka harus berjumpa Malaysia selaku tim tuan rumah pada Kamis sore waktu setempat.
Jelang laga yang menentukan ini, Akash menjelaskan bahwa timnya sudah mencapai target yang telah ditetapkan, yakni semifinal. Namun, hal itu bukan berarti tim Indonesia akan bermain seenaknya. Justru semangat para pemain jadi berlipat ganda untuk membuat sejarah di perhelatan Asean Deaf Football edisi pertama.
“Saya menargetkan semifinal. Sekarang, jika kita bisa menang di semifinal, itu akan menjadi prestasi bersejarah. Segala macam metode motivasi sudah saya lakukan untuk anak-anak. Mereka (pemain) semua dalam semangat jiwa yang tinggi, dan kami akan melakukan yang terbaik untuk Indonesia,” ujar Akash dalam wawancara bersama Pandit Football Indonesia.
Pencapaian ini memang patut dibanggakan untuk warga Indonesia. Sebab, tim Indonesia yang dilatih pria asal Singapura itu hanya punya masa persiapan yang sempit sebelum bertolak ke Kuala Lumpur.
Akash membeberkan bahwa pembentukan tim ini dilalui dalam empat kali sesi, atau bisa dibilang hanya empat kali tatap muka. Itu pun sudah termasuk dalam kesempatan untuk seleksi pemain dan tentunya beradaptasi dengan segala kekurangan pendengaran seluruh pemain.
Di balik persiapan itu tentu ada pertanyaan besar bagaimana sang pelatih menyampaikan pemahaman-pemahaman taktik dan strategi. Apalagi dirinya sedikit kaku dalam menggunakan bahasa Indonesia.
Rupanya, Akash menggunakan cara sederhana dalam berkomunikasi dengan pemain. Ia mengaku sangat sering mengandalkan kertas dan alat tulis untuk menyampaikan ide-ide bermainnya. Pemain juga sudah bisa membaca gerak bibir sang pelatih jika dalam beberapa kesempatan menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa Inggris.
“Saya sudah belajar banyak selama empat minggu dalam sesi latihan sebelum turnamen. Terkadang, saya beraksi (memperagakan gerakan), atau bahkan menuliskan di kertas agar mereka memahami instruksi saya. Tapi, mereka juga bisa membaca gerak bibir saya ketika berbicara dalam bahasa Indonesia,” sambung Akash.
Pergi tanpa bantuan biaya
Perjalanan tim tunarungu Indonesia untuk ambil bagian di ajang Asean Deaf Football Championship ini terbilang menyedihkan. Meski membawa nama Indonesia, mereka sama sekali tidak ada bantuan dari pihak-pihak terkait.
Dana untuk persiapan keberangkatan hingga hari pertandingan murni dikeluarkan dari saku masing-masing orang yang terlibat di tim. Bahkan, biaya yang dikeluarkan selama pelatihan terpaksa harus dibatasi agar menjaga kelangsungan hidup selama turnamen.
“Tidak ada perhatian khusus dari siapa pun. Kami pergi dengan kesulitan keuangan. Pemain menanggung biaya tiket pesawat masing-masing. Namun, ada juga dana kolektif dari masing-masing individu,” beber pria yang juga bekerja sebagai pelatih futsal itu.
Meski tanpa sokongan dana yang memadai, Akash rupanya tak gentar. Ia mengaku akan terus berjuang untuk membawa nama Indonesia setinggi-tingginya di event perdana ini.
Jika itu bisa ia realisasikan, bukan tidak mungkin pada perhelatan ajang Asean Deaf Football Championship yang kedua tim Indonesia tidak lagi kesulitan keuangan. Sebab selama ini sponsor baru punya nyali mengalirkan uang jika telah terbukti pernah berprestasi.
Foto: Facebook/ Akash Nathani
Komentar