Artikel #AyoIndonesia karya Nurgilang Agus Dejan
Belanda dan Indonesia memiliki keterikatan yang erat. Terlepas dari negeri bekas jajahan, Nusantara diwarisi banyak peninggalan bersejarah berupa bangunan kolonial, nama klan Belanda, dan peninggalan lainnya. Seperti yang terjadi di Maluku, banyak prajurit Belanda semasa penjajahan yang beranak-pinak dan meninggalkan keturunan, darah, dan nama klan Belanda.
Berabad-abad kemudian, kita dipaksa untuk merawat ingatan bahwa Indo-Belanda pernah kawin di masa lalu. Giovanni van Bronckhost kapten timnas Belanda keturunan Maluku yang memaksa kita terus merawat ingatan tentang keberadaan Belanda di Nusantara beberapa tahun lampau. Juga keberadaan Stefano Lilipaly, Sergio van Dijk, Irfan Bachdim, Kim Jeffrey Kurniawan, Raphael Maitimo di tim nasional Indonesia.
Ada asumsi bahwa Negara bekas jajahan Inggris lebih maju daripada Negara bekas jajahan Belanda. Benar atau salah, faktanya memang menarasikan begitu. Berbicara hal ini berarti kita tengah membanding-bandingkan Ratu Wilhelmina dan Ratu Elizabeth1. Pada dasarnya semua penjajah tak ada yang baik. Namun tanpa penjajahan itu barangkali tidak akan Negara kita ini mengenal apa arti sebuah perjuangan dan kemerdekaan.
Negeri Elizabeth yang menjajah 1/3 belahan bumi, Negara bekas jajahannya, pada akhirnya secara umum relatif lebih baik dibandingkan dengan Negara bekas jajahan Ratu Wilhelmina dan Ratu Juliana itu. Ambil-lah misalnya beberapa sampel Negara bekas jajahan Ratu Elizabeth yang bertetanggaan dengan Negara kita seperti Singapura, Brunei Darussalam, Papua New Gunea, Malaysia, Fiji, Australia, Salomon, Vanuatu. Sektor Pemerintahan, Perekonomian, GDP, dan sebagainya relatif lebih baik.
Bagaimana dengan bekas jajahan Ratu Wilhelmina? Memang, luas daerah jajahannya tak sebanyak Inggris. Ketika Belanda dipukul mundur pun pada tahun 1949, mereka tidak mewariskan struktur pemerintahan yang baik kepada pemerintahan Bung Karno-Hatta ketika itu. Tentu hal ini berbeda dengan Inggris yang mewarisi tata kelola pemerintahan sehingga terkesan hal demikian menjadi ‘modal awal’ Negara bekas jajahannya.
Lantas bagaimana perbedaan Negara bekas jajahan Inggris dan Belanda di bidang pola pikir, budaya kerja, pemberantasan korupsi, penegakan hukum, toleransi beragama, penghormatan HAM dan sebagainya?
Silahkan saudara-saudara sekalian menilai sendiri. Saya ingin memfokuskan tulisan ini dengan perbedaan bekas jajahan Inggris dan Belanda di bidang sepakbola. Sampel yang diambil hanya sepertiga Negara yang saya sebutkan di atas tadi, tentunya hanya level Asia Tenggara saja, antara lain Singapura, Malaysia, dan Australia. Coba bandingkan dengan prestasi Indonesia yang notabene bekas jajahan ‘De Oranje’.
Negeri tetangga Malaysia dan Singapura sudah mencicipi manisnya membawa pulang gelar juara Piala AFF yang dulunya bernama Piala Tiger itu, sedangkan Australia levelnya bukan Asia Tenggara lagi, mereka bahkan menolak untuk ikut berpartisipasi di Piala AFF 2016 atas alasan fokus ke turnamen yang lebih bergengsi macam Piala Asia, atau kualifikasi Piala Dunia.
Indonesia sendiri dalam sejarahnya rajin masuk final Piala AFF tak ubahnya Belanda di pentas sepakbola dunia. Kelewat sering, sampai-sampai timnas Belanda digelari ‘juara tanpa mahkota’. Permainan menarik dengan kata kunci ‘menyerang’ sudah menjadi ciri khas tersendiri bagi Belanda, pun dengan Indonesia.
Data menarasikan, Belanda hanya satu kali membawa pulang tropi Piala Eropa di tahun 1988, dan belum sekalipun menjadi juara dunia. Tercatat sejak Piala Eropa tahun 1960 hingga 2012 Belanda hanya satu kali menembus final dan empat kali mencapai fase semifinal. Sedangkan di ajang Piala Dunia Belanda hanya mampu menggapai partai puncak sebanyak tiga kali dan dua kali tertahan di semifinal. Semua catatan itu tanpa trofi juara seperti timnas Indonesia yang entah kapan terakhir kali timnas seniornya mengangkat tinggi-tinggi trofi di level resmi Internasional.
Tentu hal tersebut ibarat kutukan bagi tim sehebat Belanda dengan rentetan pemain bintang yang keluar masuk mulai dari era Johan Cruyff, Van Basten, dan Ruud Gullit hingga pemain modern macam Arjen Robben, Wesley Sneijder, dan Robin van Persie. Mereka belum sekalipun melewati kutukan tersebut.
Lebih ironi lagi, hari ini mereka melewatkan ajang-ajang bergengsi. Semacam Piala Eropa 2016 yang berlangsung beberapa waktu lalu di Perancis. Tak ubahnya Indonesia yang dikutuk (baca: banned) sungguhan oleh FIFA selama setahun terakhir dan tidak bertanding kemana-mana.
Memang, Inggris tidak lebih hebat dari Belanda dalam urusan bermain bola. Akan tetapi kita tengah membicarakan perbandingan Negara bekas jajahan Inggris dan Belanda bukan negeri penjajahnya itu sendiri.
Seperti empunya (baca: Belanda), Indonesia juga seakan mengalami nasib sama. Entah kutukan atau apa, selama gelaran AFF berlangsung Indonesia belum sekalipun mengangkat piala. Terlebih perjalanan tim Garuda nyaris mendekati keapesan timnas Belanda di Eropa maupun Dunia. Indonesia berhasil mencatatkan sejarah empat kali masuk final plus satu kali dengan tahun ini. Namun, tak ada satu pun trofi yang sudi mampir ke lemari prestasi PSSI. Penulis jadi ingin mengajukan hipotesis, apesnya kita di dunia sepakbola mungkin berkaitan erat dengan bekas jajahan negeri Ratu Wilhelmina.
Bisa disimpulkan atas dasar data dan fakta yang telah dijabarkan di atas, perbedaan prestasi mengolah si kulit bundar Negara bekas jajahan Belanda dan Inggris pun tak jauh berbeda dengan pelbagai sektor lainnya. Ketidakberuntungan De Oranje pernah dijabarkan oleh kolumnis Belanda, Almarhum Percy Stuart. Hanya satu hal yang membuat Belanda tak pernah juara dunia yaitu ‘mental juara’. Mereka tak cukup punya mental dan totalitas tinggi, misal seperti lawannya Jerman Barat di final PD 1974 dikenal dengan determinasi tinggi dengan semangat pantang menyerahnya tanpa peduli mereka bermain kikuk. Pada akhirnya mereka bisa mencoreng permainan indah ‘total voetbal’.
Tak perlu kita mengaitkan ketidakberuntungan Belanda kepada hal klenik atau mistik yang disebut ‘kutukan’ itu. Toh penyebab utama mereka tak pernah juara sudah diketahui oleh Percy. Jika mereka tak mengubah diri sendiri maka berarti mereka mengutuk Negara-nya sendiri.
Meski begitu, tak melulu kita mengaharamkan melihat Belanda sebagai referensi. Ada yang perlu diadopsi dari segala kegetiran negeri sempit daratan itu. Adalah perkataan mendiang Rinus Michel yang berbunyi “Sepakbola itu permainan sederhana tapi sulit dimainkan dengan cara sederhana”. Maka itu, kita harus bermain sederhana demi menjadi ‘juara’, daripada berutak-atik gathuk tanpa hasil.
Seperti Indonesia tahun ini, kita memiliki harapan lebih, optimis-nya adalah timnas Indonesia menjadi tim non-unggulan, jadi jika berbicara matematis Indonesia memiliki kans juara di AFF kali ini mengingat tahun 2016 merupakan tahunnya para non-unggulan. Leicester City dan Portugal sudah lebih dulu membuktikannya. Sesungguhnya kita bosan menjadi Belanda; Diunggulkan, menyerang, dan bermain cantik toh pada akhirnya tidak juara. Maka dari itu teriakan terkeras saya untuk Boaz dan kolega jelang final melawan Thailand “Kita jangan seperti Belanda, Bung!”. Jika kita tetap kalah walaupun bermain sederhana, mari kita sama-sama salahkan mendiang Rinus Michel.
Penulis beredar di dunia maya dengan akun @Gdejan20. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis
Komentar