Artikel #AyoIndonesia karya Rahman Fauzi
Tiada frasa yang tepat untuk disampaikan kepada tim nasional Indonesia selain ‘terima kasih’. Ya, terima kasih patut kita ucapkan untuk segala apa yang para pemain timnas tampilkan dalam mencapai hasil akhir 2-1 menghadapi Thailand di laga final Piala AFF 2016. Stadion Pakansari Bogor secara otentik sah menjadi pusat rasa bahagia membuncah. Selayaknya kita berbangga hati, selayaknya kita bersenang hati.
Lambungkanlah puji syukur atas pencapaian yang sifatnya masih sementara. Tidak mengapa, karena dengan begitu kita semua masih diizinkan berusaha sekuat tenaga berkali-kali lagi. Pastinya sesuai porsi masing-masing dalam upaya mewujudkan tujuan bersama.
Para pemain jelas elemen utama yang menjalankan guratan takdir kehendak Tuhan. Pelatih dengan barisan stafnya berkontribusi dalam merencanakan, mempersiapkan, dan mengendalikan apa yang semestinya terimplementasikan di lapangan. Sementara suporter mendukung lewat kehadiran langsung bagi yang mampu, menghaturkan doa setulus hati bagi semuanya, dan meluapkan emosi sepantas apa yang dirasa. Bagi para pejabat publik atau petinggi federasi, tidak bertindak macam-macam pastinya penting dilakukan kalau memang mengutamakan kepentingan umat.
Kita memang bangsa pesakitan bahkan pada olahraga paling populer di masyarakat, sepakbola. Menjadi yang terbaik untuk kawasan regional saja belum pernah. Mentas di final sebanyak empat kali, sebanyak itu pula kesempatan juara gagal di depan mata. Perlu masuk ke lorong waktu secara jauh baru kita mengetahui terakhir kali timnas senior juara di ajang kompetitif.
Emas SEA Games 1991 di Manila, Filipina masih menjadi kisah yang terus diulang-ulang karena belum sanggup lagi disamai (baru pada 2001 cabang sepakbola diikuti tim U-23). Stadion Rizal Memorial yang kini usang seolah dipaksa terus dekat secara emosional, karena kejayaan sepakbola kita belum lagi mengambil posisi di tempat suci yang lain.
Kita sama-sama tahu tiada yang menyangka kita bisa begitu dekat dengan trofi juara pertama kali tahun ini. Setelah 2010, rasa bahagia atas sepakbola level senior secara drastis sulit menghinggapi kita. Jangankan untuk menang, bisa bertanding saja ternyata susah. Perlu waktu lama untuk percaya kita cukup bisa bermain sepakbola dengan bagus, sejak terakhir kali M. Ridwan mencetak gol yang membuat kita menang 2-1 meski tidak mampu menghentikan Malaysia juara di Jakarta.
Benang kusut yang sulit terurai adalah majas simile bagi sepakbola kita pasca 2010. Konflik federasi menjadi biang keladi. Lalu terjadi dualisme kompetisi yang diikuti dualisme di tubuh banyak klub. Kegaduhan yang untungnya berujung itu memberi sumbangsih menambah perbendaharaan kata kita lewat, ‘statuta’, ‘kongres’, ‘juncto’, ‘rekonsiliasi’, ‘koalisi’, dan ‘intervensi’.
Menyelenggarakan kongres (entah yang luar biasa, standar, atau payah) seakan-akan lebih sering dilakukan ketimbang mengisi tanggal di kalender FIFA dengan uji tanding. PSSI ada berbagai macam, tergantung di mana kongres terlaksana. Ada berbagai tim yang tidak bermain sepakbola tapi muncul dari kerumitan ini, seperti Tim Transisi, Tim Sembilan, dan Tim Ad Hoc. Tim yang tidak muncul dari era Perserikatan ataupun Galatama.
Lalu kita gagal lolos dari fase grup pada dua gelaran Piala AFF selanjutnya. Menyempatkan diri dibantai Bahrain 10-0 pada kualifikasi Piala Dunia 2014. Timnas tidak diperkuat pemain terbaiknya. Kealpaan mendaftarkan klub ke kompetisi sepakbola Asia untuk kesekian kalinya. Tidak turut serta dalam kualifikasi Piala Dunia 2018 dan kualifikasi Piala Asia 2019, akibat campur tangan pemerintah kepada federasi yang berujung sanksi FIFA.
Mengapa FIFA memberi sanksi? Karena ada intervensi pemerintah dalam tata kelola sepakbola federasi, khususnya saat pelaksanaan QNB League 2015. Mengapa ada intervensi? Karena ada dua klub yang secara administratif tidak memenuhi syarat mengikuti kompetisi, tapi tetap melenggang. Mengapa dua klub itu tidak lolos syarat administrasi? Karena... karena ini hanya salah satu penyebab kekusutan dari benang yang terkumpul.
Kekusutan lain, gaji pemain tertunggak akibat kompetisi tidak ada dan tata kelola klub yang buruk. Pemain asing meninggal dunia karena alasan di kalimat sebelumnya. Pemain lokal main di arena antar kampung dan alami cedera parah juga karena alasan yang sama.
Seolah kita tidak cukup dengan keruwetan yang eksis lebih dahulu, seperti kerusuhan suporter yang tiada henti menelan korban jiwa. Tidak hanya terkubu dalam basis suporter besar yang ‘berteman karena punya kesamaan lawan’, virus kebencian juga belakangan tersalurkan kepada kelompok suporter yang mendukung klub sama dan juga aparat. Hooliganisme dipelajari secara dicicil berkat bertambahnya kecepatan internet dan tampilan forum/situs seperti ultras-tifo yang semakin nyaman dipandang.
Kekerasan di lapangan juga semakin beraneka rupa. Wasit dan hakim garis digebuki seolah mereka datang ke stadion dengan motor hasil curian semalam. Adu pukul sudah terkesan standar bagi orang-orang seperti Diego Michiels, Agus Rohman (kiper PSAP), dan Budi Eka Putra (sial, mengapa kita mesti menghafal namanya?).
Sedangkan suap dan pengaturan skor masih seperti kentut, tidak terlihat meski tercium baunya. sepakbola gajah Indonesia vs Thailand di Piala Tiger 1998 terduplikasi 19 tahun kemudian oleh PSS Sleman dengan PSIS Semarang. Kondisi suram persepakbolaan yang jelas membuat kita berang.
Bersikap optimis akan adanya perbaikan memang perlu dipaksakan dalam situasi demikian. Memang betul ucapan soal kerusakan terjadi bukan karena banyaknya orang jahat, tapi karena diamnya orang-orang baik. Setidaknya itu yang tertangkap dari perjuangan timnas Indonesia pada turnamen Piala AFF 2016. Meski tidak menyelesaikan masalah, tapi tabiat yang mereka tunjukkan menimbulkan kembali kepercayaan dan gairah yang hampir rata dengan tanah.
Centang-perenang sepakbola kita sebetulnya menyediakan sejuta alibi saat kegagalan terjadi. Konflik federasi yang nyaris tidak berkesudahan bisa menjadi opsi pertama. Ketidakstabilan kondisi kompetisi dalam beberapa tahun terakhir ada di urutan selanjutnya. Ada beberapa alasan lawas yang selalu siap sedia dikeluarkan sebagai dalih, seperti mepetnya persiapan, kalah tinggi badan, atau jujur mengakui amburadulnya permainan.
Khusus kali ini, pembatasan pemanggilan pemain maksimal dua dari setiap tim, menjadi alasan yang cukup bisa menjadi pengingat sebuah zaman. Suatu hal yang sudah dikeluhkan Alfred Riedl jauh-jauh hari, seolah-olah bakal diulangi lagi kalau tersingkir secara dini.
Kita pun mencoba bersikap rasional mengingat apa yang telah terjadi bertahun-tahun. Mencoba berekspektasi rendah dengan bersyukur seandainya para pemain menunjukkan kesungguhan dalam permainan. Tidak dibantai negara lain saja sudah menyenangkan. Bisa lolos grup? Jelas luar biasa.
Ternyata tidak sama sekali demikian. Tiada satupun alibi yang dipilih untuk melengkapi apologi. Kemuraman nasib pudar dengan kerja nyata Boaz Solossa, dkk. Jejak langkah mereka pasti kita hafal. Pesimisme menguar saat dipukul telak 2-4 dari Thailand. Masih belum habis juga saat Zulham Zamrun menjegal pemain Filipina di depan kotak penalti yang menghasilkan tendangan bebas berbuah gol James Younghusband untuk menyamakan skor 2-2. Kita semua seketika ingin bertaubat saat Singapura unggul 1-0 di babak pertama, sampai kemudian Andik Vermansah dan Stefano Lilipaly hampir berbarengan mengejutkan kita.
Rekan sejawat yang akrab sejak di masa persiapan, Vietnam menantang di semifinal. Kali ini, kehadirannya kita hadiahi buah tangan skor 2-1 khas Bogor. Sajian komikal berupa serangan mereka tanpa henti sepanjang 90+30 menit yang dilengkapi kartu merah kiper dan pembatalan penalti menjadi kumpulan adegan pada drama sejarah Rabu, (7/12/2016) malam di Stadion Nasional My Dinh.
Sampai kemudian duel klasik menjadi tajuk laga yang mempertemukan Indonesia dengan Thailand untuk ketiga kalinya di final (jumlah laga final paling banyak). Sepanjang 60 menit Thailand mendominasi, sonder bagi Indonesia memberi ancaman memuaskan. Teerasil Dangda, seperti biasa, mencetak gol yang membuat Gajah Putih mempertegas kuasanya sepanjang turnamen.
Namun, 30 menit terakhir hasil berubah signifikan. Garuda unggul lewat sepakan Rizky Pora yang mengecoh kiper pada menit ke-65 yang disusul gol tandukan Hansamu Yama Pranata lima menit kemudian setelah menyelesaikan tendangan sepak pojok pencetak gol nama pertama. Ah, kita hafal bagaimana kejadiannya.
Alangkah indahnya kalau kejutan dahsyat a la Leicester City pada Liga Inggris 2015/16 dan Portugal pada Piala Eropa 2016 sukses Indonesia tapak tilasi kali ini. Pasti bakal menjadi satu dari sekian kejadian ‘memusingkan kepala’ yang terjadi di tahun ini. Bergabung bersama referendum Brexit, terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat, menangnya Bob Dylan dalam Nobel Sastra, serangan terorisme di Jln MH Thamrin pada pekan kedua kalender, kopi Vietnam bersianida, aksi massa 411 plus 212, sampai nama-nama gadis terselip secara terpaksa dalam kepala, seperti Sonya Depari dan Karin Novilda.
Ah, belum. Indonesia belum menjuarai apapun. Jangan sampai kisah-kisah orang lain yang tidak ada kaitannya, malah membuat Indonesia terlena. Jangan sampai kiprah ciamik Indonesia sebelumnya yang akhirnya malah memberi tipu daya. Mentang-mentang Indonesia menang di laga final pertama, bukan berarti turnamen sudah selesai dengan menempatkan Indonesia sebagai juara. Intinya, jangan mau dibohongi pakai hasil laga final pertama!
Fokus, Jangan Terkecoh!
Reallitas pada dasarnya hasil rekonstruksi pancaindera manusia. Persepsi kita didasari pengetahuan dan pengalaman yang dipunya. Sekalipun tetap didasari fakta, persepsi kita tetap bisa terkecoh kalau tidak turut melibatkan kebijaksanaan dalam menginterpretasinya. Meski didukung kumpulan angka statistik yang presisi, belum berarti simpulan manusia atas suatu fenomena betul adanya.
Maksudnya begini. Kita mendapati fakta seorang bek tengah punya rasio tinggi soal kesuksesan melakukan last man tackle secara bersih. Kita sepatutnya tidak serta merta terkagum-kagum karena dia sukses melakukan penyelamatan heroik semacam itu. Konteksnya mesti dilihat secara luas.
Jangan-jangan tackle tersebut dilakukan karena kecerobohan pertahanan tiada henti? Aksi krusial last man tackle yang berhasil barang kali tidak bermanfaat dan sebetulnya suatu yang disepakati tim untuk dihindari. Begitupun dengan angka-angka statistik lainnya seperti akuratnya operan pendek kiper, banyaknya take-on gelandang, dan seringnya tendangan ke arah gawang seorang penyerang. Semua sekilas gemilang, tapi itu semua ternyata tidak menyentuh substansi yang diharapkan.
bersambung ke halaman selanjutnya....
Komentar