Artikel #AyoIndonesia karya Fahmin
Bagaimana kita mengartikan sebuah keberuntungan?
Keberuntungan adalah fenomena yang tidak terprediksi yang membawa pada sesuatu yang diinginkan. Atau dalam kalimat lain, keberuntungan adalah mendapatkan sesuatu yang diharapkan dengan cara yang tidak diketahui/diperkirakan sebelumnya.
Namun bagaimana jika suatu hal yang kita anggap keberuntungan itu terjadi berulang-ulang, jika kata keajaiban terlampau hiperbolik untuk digunakan, adakah padanan kata yang lebih tepat untuk mengartikannya?
Gol Stefano Lilipaly kontra Singapura barangkali tidak akan berarti apa-apa apabila di tempat lain di waktu yang sama Filipina mampu mengatasi perlawanan Thailand. Sebuah kebetulan yang menyenangkan.
Namun bagaimana selanjutnya kita menilai sebuah gol dari proses umpan silang Boaz Salossa dari sisi kanan pertahanan Vietnam dan tak sengaja membentur Tran Dinh Dong sehingga memudahkan Lilipaly untuk mencocor bola ke gawang Tran Nguyen Manh pada semifinal leg kedua?
Bagaimana pula kita melihat bola yang ditendang oleh Rizky Pora yang seharusnya dengan mudah ditangkap oleh Kawin membentur tubuh Tristan Do sampai berbelok menjadi sebuah gol pada pertandingan final leg pertama di Pakansari?
Dalam konteks ini timnas Indonesia ialah tentara Sparta yang mengalahkan armada Persia dalam Battle of Thermopylae dengan kualitas pasukan yang tak seimbang dan jomplang.
Semua serasa berada di luar nalar. Sebuah anomali sedang terjadi. Apalagi kalau kita mau merunut lebih jauh, berbagai batasan serta keterbatasan pra-turnamen, kalah di laga awal kontra Thailand, imbang melawan tuan rumah Filipina dan tertinggal satu gol di babak pertama di pertandingan ketiga melawan Singapura, siapa sangka kita akan melaju hingga babak final.
Di dua laga semifinal dan leg pertama final angin keberuntungan itu tak beranjak dari kubu Indonesia. Gol penyama kedudukan yang dicetak Vietnam dalam situasi 10 vs 11 hanya semacam shock therapy. Sebelum dengan cara elegan Manahati Lestusen mengonversi gol dari titik putih.
Siapakah yang menduga Indonesia akan melenggang hingga ke babak Final dan berpeluang merengkuh titel pertamanya bahkan ketika kita tahu sendiri bagaimana gigih dan militansinya perlawanan anak-anak Vietkong, atau teknik dan pengalaman timnas Thailand yang tak berarti apa-apa di final leg pertama.
Dari anomali-anomali tersebut dapat kita simpulkan bahwa ada invisible hand yang menuntun kita lebih dekat ke podium juara. Akumulasi segala kejadian-kejadian di luar nalar itu memunculkan harapan kepada para penonton yang semula skeptis pada tim ini.
Bagaimana Anda membayangkan tim ini akan menembus final dengan segala keterbatasannya, kebijakan klub yang sepakat melepas dua pemainnya ke timnas, koordinasi para bek yang lebih lembek dari agar-agar, Zulham Zamrun yang sama gugupnya seperti saat ia akan dikhitan.
Ditambah lagi dengan segala macam cocoklogi, seperti Terasil Dangda yang tidak mampu membawa Thailand juara apabila ia menjadi top skor, atau tim yang kalah di pertemuan pertama final tak pernah juara, inilah saatnya Indonesia merengkuh juara dalam partai finalnya yang kelima.
Namun pada final tadi malam segala keajaiban tiba-tiba memendar begitu saja. Sepanjang 90 menit final kedua Thailand menyabotase segala kemungkinan, menutup segala akses Dewi Fortuna untuk hinggap di kepak sayap Garuda. Penonton-penonton mulai memaki-maki. Kita tidak bisa memaafkan lagi Zulham Zahrum dimainkan seperti saat memakluminya di pertandingan pertama.
Sebetulnya saya masih percaya Indonesia akan merengkuh gelar juara sampai Kurnia Meiga menggagalkan penalti Terasil Dangda pada menit ke-79. Setidaknya Indonesia akan mencetak satu gol lalu menang secara heroik.
Namun ketika apa yang kita inginkan tinggal selangkah lagi di depan mata, nasib seolah mempermainkan kita.
Deja vu itu kembali terulang, harapan-harapan yang muncul dari rasa skeptis, lalu kita mulai bertanya inikah saatnya kita untuk menang? kita mulai memanjatkan doa. Lalu saat optimisme sedang tinggi, dengan sekali hantaman harapan itu menghempaskan kita.
Harapan terasa menyesakkan jika peluang untuk memperoleh sesuatu tampak mustahil, tapi lebih memilukan lagi sesuatu yang sudah tampak begitu dekat, tiba-tiba hilang begitu saja dalam sekejap.
Kita kalah.
Penulis yang terus belajar menjadi penulis yang baik bisa dijumpai di akun twitternya @vchmn22. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.
Komentar