Ada banyak romantisme jika kita membicarakan tim nasional Indonesia yang baru saja dikalahkan Thailand di final Piala AFF 2016. Harapan besar masyarakat terhadap Indonesia sempat menjadi-jadi karena Indonesia berhasil menang 2-1 di leg pertama di Stadion Pakansari, Cibinong, Kabupaten Bogor.
Perjuangan Indonesia kembali harus terhenti. Dari lima kali final, kalah lima kali pula. Mungkin memang kita tidak berjodoh untuk menjadi rajanya Asia Tenggara yang sangat kecil dan cupu ini di mata dunia.
Tapi kalau boleh jujur, kemampuan kita memang kalah jauh dari Thailand, baik secara individu ataupun secara tim. Persiapan yang sempit, keterbatasan pemanggilan pemain, dan banyak hal lainnya sebenarnya bisa menjawab masalah ini. Sehingga, saya pribadi bukan ingin membahas masalah itu sekarang.
Saat saya menyaksikan pertandingan final leg kedua di Bangkok, ada satu hal, hal yang jauh dari atas lapangan sepakbola, sebuah hal mendasar yang membedakan kita dari Thailand meskipun sama-sama berasal dari Asia Tenggara, yaitu soal budaya suporter.
Oke lah jika tulisan ini sedang membahas sepakbola Eropa yang sudah menjadi industri, sepakbola Amerika Latin yang sudah menjadi seperti agama, atau sepakbola Jepang yang sudah maju di Asia; tapi ini dari Thailand, sebuah negara ASEAN yang hanya berjarak 3 jam perjalanan dengan maskapai penerbangan komersial.
Sapaan seperti “Good luck, Indonesia”, “Go fight, Indonesia”, atau sekadar “Hello, Indonesia” berkali-kali saya dapatkan saat tiba di Stadion Rajamangala, Bangkok. Awalnya saya hanya menganggap hal tersebut adalah basa-basi. Namun semakin saya berpikir begitu, saya malah semakin merasakan kehangatan dari suporter di sana.
Jujur saja, Stadion Rajamangala bukanlah stadion yang indah. Tapi dengan orang-orang seperti itu di sekitar stadion, stadion menjadi terasa nyaman. Saya sebagai pendukung tamu saja merasakan kenyamanan itu, apalagi penonton tuan rumah.
Di stadion tersebut juga saya dengan mudah bisa melihat suporter wanita, anak-anak, orang tua, sampai penonton dengan kemampuan terbatas (diffable), tidak seperti di Indonesia.
Bahkan penonton diffable difasilitasi dan diberi “tempat duduk” terbaik di stadion. Bukannya jarang, selama saya menonton pertandingan di Indonesia, mohon koreksi jika salah, bahkan tidak pernah mendapatkan pemandangan ini. Sangat indah.
Orang-orang Thailand juga sangat rapi soal budaya mereka dalam mengantre. Dari mulai masuk ke gerbang stadion sampai ke toilet, semuanya mereka lakukan dengan rapi dan tertib.
Ketika lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dikumandangkan, tidak ada satupun penonton Thailand yang menyoraki. Kemudian ketika lagu kebangsaan Thailand dinyanyikan, baru seluruh penonton Thailand menyanyikannya dengan serentak. Buat yang kerap menonton pertandingan timnas Indonesia kalian seharusnya tahu makna mendalam kalimat tadi.
Momen yang membuat suporter Thailand menyoraki Indonesia hanya terjadi saat Abduh Lestaluhu terkena kartu merah menjelang akhir laga karena berlaku tidak sportif. Setelah itu, setelah pertandingan selesai, kehangatan kembali terjadi.
Mereka semua menghargai penonton Indonesia yang mungkin hanya menghuni seperenam kapasitas stadion dengan sorakan, “Indonesia! Indonesia! Indonesia!”, yang membuat kami semua, suporter Indonesia, bertepuk tangan dan menyoraki balik dengan “Thailand! Thailand! Thailand!”. Hati saya bergetar pada momen tersebut meskipun saya tahu kesebelasan yang saya dukung baru saja kalah.
https://twitter.com/panditfootball/status/810131868313976832
Saat bubaran, para suporter juga keluar dengan tertib. Ketika berpapasan dengan suporter Thailand, mereka kembali menyapa dengan hangat, “Thank you, Indonesia”, “Good game, Indonesia”, “Please enjoy your stay”, dan bentuk sapaan-sapaan lainnya.
Saya baru melihat secara langsung salah satu bentuk dan cerminan dari popularitas sepakbola. Ya, saya tahu, Indonesia adalah negara yang katanya sangat menggilai sepakbola. Olahraga ini begitu populer di Indonesia.
Namun malam itu, saya sadar jika kita menggunakan acuan yang salah untuk menentukan tingkat popularitas sepakbola. Ironisnya, setelah malam itu, saya merasa sepakbola sama sekali belum populer di Indonesia.
Sepakbola mengajarkan kehangatan, bukan hanya soal menang dan kalah di atas lapangan. Indonesia bisa jadi hanya populer sebagai penonton sepakbola, terutama soal suporter garis keras. Kita ahlinya di bidang ini.
Tapi soal budaya menonton sepakbola itu sendiri, ternyata kita belum ada apa-apanya bahkan dibandingkan dengan Thailand. Malam itu di Rajamangala saya tersadarkan fakta yang pahit, bahwa Indonesia dikalahkan oleh Thailand di dalam dan di luar lapangan.
Baca juga: Romantisme Sepakbola Indonesia-Thailand
Ini sepertinya merupakan hal kecil di sepakbola. Tapi justru hal-hal kecil inilah yang bisa membuat sepakbola menjadi benar-benar “a beautiful game” yang bisa dinikmati semua orang, semua kalangan, semua golongan, di dalam dan di luar lapangan.
Jangan dulu bermimpi soal lolos ke Piala Dunia atau sekadar menjuarai Piala AFF, karena ada hal paling sederhana bahkan yang sama sekali belum mampu kita raih.
Foto: Randy Prasatya/Pandit Football Indonesia
Komentar