Karya: Muhammad Abdulloh
Pekan di pertengahan tahun 2010 menjadi cerita tersendiri bagi penulis. Selain melepas masa putih abu – abu, di kota penulis tinggal, Malang, terjadi sebuah perayaan bersejarah. Salah satu klub yang setiap tahun masuk dalam tim unggulan Liga, Arema, akhirnya mencicipi manisnya juara Liga Indonesia (kala itu bernama Indonesia Super League / ISL) untuk pertama kalinya.
Sebelumnya, Arema ‘hanya’ sekali menjuarai Liga Profesional berjuluk Liga Bola Utama (Galatama) pada musim 1992/1993. Setelah unifikasi Liga antara Galatama dan Perserikatan pada tahun 1994 hingga berubah nama menjadi Indonesia Super League pada tahun 2008, Arema belum sekalipun mencicipi gelar juara, bahkan Arema pernah terdegradasi pada musim 2003.
Menjadi juara ISL 2009/2010 dengan nakhoda Meneer Robert Alberts, tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi Aremania (julukan supporter Arema) setelah berpuasa lebih dari satu dekade. Puja puji pun bermunculan dari berbagai pihak dan semua pihak merasa berjasa pada Arema, tak terkecuali Bapak Peni Suparto, Walikota Malang yang ketika itu menduduki periode keduanya.
Akan tetapi cerita manis Arema bak roller-coaster. Awan gelap mulai datang saat menjalani musim 2010/2011. Dimulai dengan pelepasan Arema oleh PT Bentoel Internasional Investama Tbk sebagai pemilik karena diakusisi oleh British American Tobacco (BAT) pada 1 Januari 2010. BAT menginstruksikan Bentoel untuk melepas kepemilikan terhadap Arema yang dibeli pada tahun 2003 dari Lucky Acub Zaenal, sang pendiri. Selanjutnya, banyak pihak memberikan opsi untuk Arema, termasuk melakukan merger dengan klub ‘plat merah’ Kota Malang yang juga saudara tua Arema, Persema.
Namun kemudian opsi diserahkan pada publik (konsorsium) yang dipilih. Konsorsium diwujudkan dalam bentuk Yayasan Arema sebagai pengelola PT Arema Indonesia (badan hukum klub Arema), komposisinya adalah saham mayoritas (93%) PT Arema Indonesia dipegang oleh Yayasan Arema, sedangkan sisanya (7%) dipegang oleh pendiri, Lucky Acub Zaenal, sebagai golden share atau entitas yang tidak ikut menyetor modal awal, namun akan mendapat untung dari laba yang diperoleh perusahaan.
Yayasan Arema sendiri dipegang oleh beberapa tokoh publik Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu). Beberapa nama beken yang menjadi pengelola Yayasan Arema adalah Rendra Kresna (Bupati Kabupaten Malang ketika itu, masih menjabat) dan Muhammad Nur (Sekretaris Daerah Kota Malang 1999-2005). Suara sumir masih terdengar di akhir tahun 2010, salah satunya dari Walikota Malang yang juga Ketua Persema ketika itu, Peni Suparto. Peni menyayangkan perubahan nama menjadi Arema Indonesia.
"Saya lebih setuju kalau nama Arema tetap Arema Malang, bukan Arema Indonesia. Karena kalau pakai Arema Indonesia yang diuntungkan orang luar Malang, bukan orang Malang sendiri yang punya Arema," tegas Peni di Malang, seperti yang dikutip oleh Bolanet. Jika Arema tetap memakai Arema Malang, katanya, dirinya siap membantu tim berjuluk "Singo Edan" itu. "Karena saya juga Aremania sejati, kasihan kan yang mendirikan Arema Malang," tegasnya.
Dengan nakhoda ‘baru tapi lama’, Miroslav Janu, Arema Indonesia (nama ketika itu) ‘berhasil’ menjadi runner-up Liga, sementara Juara direngkuh oleh Si Mutiara Hitam, Persipura Jayapura.
Musim 2010/2011 mungkin menjadi musim terakhir bagi sepakbola ‘damai’ dan ‘sejuk’ di Indonesia. Merasa melaksanakan amanat Kongres Sepakbola Nasional 2010 yang diselenggarakan di Malang pada 30 – 31 Maret 2010 yang juga dihadiri oleh Presiden Indonesia kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono, sebagian pihak mengusulkan untuk membuat liga baru yang (katanya) lebih profesional.
Akhir 2010 menjadi awal mula konflik berkepanjangan (liga) sepakbola Indonesia. Tiga klub peserta ISL, Persema Malang, Persibo Bojonegoro, dan PSM Makassar menyatakan keluar dari ISL yang berbuah sanksi pencopotan keanggotaan oleh PSSI pada Januari 2011. Liga Primer Indonesia, nama liga (profesional) yang diikuti oleh ketiga mantan anggota PSSI + Persebaya 1927 diklaim sebagai liga profesional yang juga diisi oleh marquee player yaitu pemain bintang gaek yang didatangkan untuk menggenjot penonton, sistem yang sama diterapkan di Major League Soccer (MLS) Amerika Serikat, A-League Australia dan berhasil dicangkok oleh Indian Super League (ISL).
Liga Primer Indonesia, breakaway league ketika itu, ‘berhasil’ berjalan separuh musim dan menahbiskan Persebaya 1927 sebagai satu – satunya juara liga ini. Musim 2011/2012 api konflik semakin membesar, karena kondisi berbalik, PSSI sebagai otoritas sepakbola di Indonesia menunjuk PT Liga Prima Indonesia Sportindo (PT LPIS) sebagai operator liga menggantikan PT Liga Indonesia (PT LI). Pada musim 2011/2012, nama liga Indonesia menjadi Indonesia Premier League atau Liga Prima Indonesia (IPL). Sementara sebagian klub yang tidak setuju dengan format tawaran PT LPIS yang diamini oleh PSSI membentuk breakaway league dengan operator PT LI dengan tetap mempertahankan nama Indonesia Super League (ISL).
Dualisme liga ini juga menular pada dualisme Arema Indonesia. Musim 2011/2012 menjadi tonggak sejarah Arema karena terdapat dua klub bernama Arema dengan kepengurusan yang berbeda dan mengikuti dua liga yang berbeda. Ketika itu, tim juara 2009/2010 dan runner-up 2010/2011 seperti striker andalan Singapura yang kabarnya kini menjadi pengemudi taxi aplikasi, Noh Alam Shah, dan kompatriotnya di timnas Singapura, Muhammad Ridhuan atau kiper timnas Indonesia saat ini, Kurnia Meiga, memilih untuk mengikuti Arema yang bermain di IPL (selanjutnya disebut Arema IPL). Sementara Arema satunya (selanjutnya disebut Arema ISL) menjalani ISL dengan pemain seadanya dan terseok – seok di awal liga sehingga menjadi juru kunci ISL.
Lalu mana Arema yang asli? Tiap pengurus memiliki argumen masing – masing, PSSI memiliki argumen sendiri, bahkan suporter memiliki argumen sendiri dalam menilai ‘keaslian’ Arema, penulis ingin menilik dari sudut pandang terakhir. Penulis pernah bertanya mengenai ‘keaslian’ Arema pada seorang suporter Arema, Aremania (tidak mencitrakan mayoritas pendapat Aremania),
Penulis : “Mana ya kira – kira Arema yang asli?”
Aremania : “Yang menangan lah”
Bersambung ke halaman berikutnya...
Komentar