Kompetisi resmi sepakbola Indonesia akan segera dimulai. Beberapa aturan baru pada kompetisi Indonesia Super League (ISL) dan Divisi Utama (DU) rencananya akan diberlakukan. Meski masih berupa wacana, namun ada tujuan besar yang hendak diraih PSSI, selaku federasi sepakbola Indonesia, pada tahun 2017 ini.
Wacana pertama, jatah pemain asing dikurangi di ajang ISL. Jika pada kompetisi sebelumnya setiap kesebelasan bisa memiliki 4 pemain asing dengan minimal 1 pemain dari Asia, kali ini pemain asing hanya akan berjumlah 3 pemain saja (minimal 1 pemain Asia). Sementara itu kesebelasan DU tidak boleh diperkuat oleh pemain asing.
Wacana kedua, setiap kesebelasan ISL tidak boleh memiliki lebih dari dua pemain yang berusia di atas 35 tahun. Bahkan untuk kesebelasan DU, maksimal usia pemain adalah 25 tahun. Jika pun merekrut pemain di atas 25 tahun, batas maksimal hanya lima pemain saja, boleh dimainkan semuanya dalam satu pertandingan.
Wacana ketiga, kesebelasan ISL diwajibkan memiliki lima pemain dengan usia di bawah 23 tahun. Selain itu, tiga pemain dari usia 23 tahun itu wajib dimainkan sejak menit pertama.
Ketiga wacana di atas memang masih ditinjau ulang oleh PSSI. Keputusan final mengenai regulasi tersebut baru akan diputuskan tiga pekan setelah pertemuan PSSI dengan pihak klub pada Minggu (8/1) kemarin.
Sekilas, apa yang ditawarkan PSSI ini merupakan terobosan yang cukup positif. Aturan-aturan di atas akan membuat para pemain lokal, khususnya pemain muda, lebih banyak mendapatkan kesempatan bermain. Tak hanya di Divisi Utama, tapi juga di Indonesia Super League.
Diluncurkannya regulasi ini pun tak lain dengan tujuan agar Indonesia siap menghadapi Sea Games 2017 dan Asian Games 2018. Dua ajang internasional tersebut memang memberlakukan aturan bahwa hanya pemain berusia di bawah 23 tahun saja yang bisa terlibat. Timnas senior Indonesia tidak akan menghadapi ajang apapun hingga Piala AFF 2018 nanti.
Namun selain beberapa hal positif di atas, sebenarnya ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan juga oleh PSSI jika aturan ini benar-benar direalisasikan pada kompetisi ISL 2017. Berikut adalah beberapa risiko yang bisa terjadi jika regulasi di atas diberlakukan.
Regulasi Pemain Asing Membuat Penyerang Lokal Tak Berkembang
Terkait regulasi pemain asing, pengurangan jumlah pemain asing tentunya sangat positif. Ini membuat pemain lokal akan mendapatkan kesempatan bermain yang lebih banyak. Hanya saja pengurangan jatah pemain asing ini tampaknya tidak akan membantu peningkatan kualitas pemain depan untuk timnas Indonesia dalam waktu dekat.
Dari data yang kami kumpulkan, sedikitnya 76 pemain asing beredar di kompetisi Indonesia Soccer Championship 2016 lalu (termasuk yang sudah hengkang pada pertengahan musim). Total 59 di antaranya berasal dari non-Asia. Dan mayoritas pemain asing tersebut menempati posisi gelandang dan depan.
Sebanyak 28 pemain menempati posisi gelandang, 26 pemain menempati posisi penyerang. Dengan hanya satu kiper asing yang berlaga di ISC, ini artinya pemain asing yang menempati posisi bek berjumlah 17 pemain.
Pada kenyataannya, kehadiran pemain asing ini menggerus talenta-talenta pemain lokal khususnya di lini depan, dan ini terjadi bukan kali ini saja. Sebagai buktinya, pemain asing selalu menguasai daftar pencetak gol terbanyak kompetisi.
Pada ISC saja misalnya, dari 10 besar pencetak gol terbanyak, hampir tidak ada nama pemain lokal. Ada nama Sergio Van Dijk dan Cristian Gonzales, namun kedua nama tersebut merupakan pemain naturalisasi.
Pemain lokal dengan jumlah gol terbanyak menempati peringkat 11, Boaz Solossa dengan torehan 11 gol. Di bawahnya terdapat Ferdinan Alfred Sinaga dengan 10 gol. Uniknya, peringkat ketiga pemain lokal dengan jumlah gol terbanyak ditempati oleh kapten Arema Cronus, Hamka Hamzah, yang berposisi sebagai bek tengah.
Fakta di atas tentu menjadi sebuah fakta yang cukup miris untuk diterima. Indonesia tak memiliki penyerang yang bisa diandalkan untuk timnas. Pada Piala AFF lalu misalnya, Indonesia hanya mengandalkan Boaz untuk menjadi penggedor lini pertahanan lawan. Ketika torehan gol Boaz mentok (tertahan di tiga gol), penyerang lain tak mampu menggantikannya.
Begitu juga dengan posisi gelandang serang. Kesebelasan-kesebelasan Indonesia tampaknya kesulitan mendapatkan pemain lokal yang handal dalam mengatur serangan. Buktinya, di Piala AFF 2016, Indonesia pun harus bertumpu pada pemain kelahiran Belanda, Stefano Lilipaly. Ini menunjukkan kualitas gelandang serang Indonesia memang kalah saing di dalam negeri.
Pengurangan jatah pemain asing ini sekali lagi positif untuk memberikan kesempatan bermain lebih banyak untuk pemain lokal. Namun untuk posisi gelandang serang dan penyerang, tampaknya pemain lokal akan kesulitan bersaing. Hal ini dikarenakan slot tiga pemain asing biasanya akan menempati satu posisi bek tengah, gelandang serang dan penyerang. Sementara tak seperti bek tengah yang membutuhkan tandem, pos gelandang serang dan penyerang biasanya hanya diisi oleh satu pemain saja (formasi 4-2-3-1 atau 4-3-3 sangat populer di Indonesia). Jadi tetap saja, gelandang serang dan penyerang lokal tetap sulit mendapatkan kesempatan bermain ketika timnas Indonesia justru membutuhkan pemain-pemain berkualitas pada posisi tersebut.
Terkait pemain usia 35+, 25 DU dan U23
Untuk aturan maksimal dua pemain berusia di atas 35 tahun di kesebelasan ISL sebenarnya tak terlalu menjadi masalah besar. Di Indonesia, tak terlalu banyak pemain di usia tersebut yang masih bermain dalam kualitas level tertinggi. Mungkin di antaranya hanya Cristian Gonzales, Firman Utina, Bima Sakti, Muhammad Ridwan, I Made Wirawan, Bambang Pamungkas dan Ponaryo Astaman yang masih dilirik kesebelasan-kesebelasan ISL.
Baca juga: Perihal Cristian Gonzales yang Masih Diandalkan
Namun berbeda dengan aturan 35 tahun, aturan 25 tahun di Divisi Utama tampaknya akan mematikan mata pencaharian banyak pemain. Apalagi usia 26 sampai 32 tahun merupakan puncak karier seorang pesepakbola, dan sangat banyak pemain di kisaran usia tersebut yang masih bisa berkompetisi di Divisi Utama.
PSS Sleman misalnya, mereka mengakui terdapat delapan pemain berusia di atas 25 tahun di skuatnya saat ini yang dinilai layak mendapatkan perpanjangan kontrak. Namun karena adanya aturan ini, manajemen PSS pun harus kembali memutar otak dan mencoret setidaknya tiga pemain, bahkan lebih jika ingin mendatangkan pemain anyar, yang hendak mereka kontrak tersebut.
“Ada delapan pemain kita proyeksi untuk kompetisi 2017 yang berusia di atas 25 tahun,” kata manajer PSS, Arif Juli Wibowo, seperti yang dikutip Solo Pos. “Mau tidak mau kita harus mencoret beberapa pemain untuk memenuhi regulasi.”
Apa yang dialami PSS juga tampaknya akan dialami oleh juara ISC B, PSCS Cilacap. Dari daftar pemain yang berlaga pada final, ada delapan pemain PSCS yang berusia di atas 25 tahun. PSCS yang sudah memiliki skuat juara, tentu harus kembali merombak skuatnya.
Kasus di atas baru dialami oleh dua kesebelasan saja. Kesebelasan Divisi Utama lain pun tampaknya memiliki banyak pemain yang berusia di atas 25 tahun yang hendak mereka gaet.
Sementara itu, untuk aturan pemain usia di bawah 23 tahun di ISL, aturan ini juga memiliki sisi negatifnya. Dengan ada kewajiban setiap tim menurunkan tiga pemain U23 sejak menit pertama, ini akan membuat harga-harga kontrak pemain muda melonjak. Secara psikologis, ini bisa menjadi berbahaya bagi pemain muda.
Aturan ini memang menjadi jalan pintas bagi para pemain muda. Namun yang perlu diperhatikan juga, aturan ini memiliki risiko pemain muda yang tampil tak terlalu impresif terpaksa dimainkan demi memenuhi regulasi. Ini bisa mengurangi kualitas tim, yang nantinya berpengaruh pada level dan kualitas kompetisi.
***
Di balik tujuan mulia dari aturan-aturan di atas, ada sejumlah ancaman yang justru menghantui sepakbola Indonesia itu sendiri seperti yang dikemukakan di atas. Apalagi secara garis besar, aturan-aturan di atas tampaknya demi mengejar prestasi instan di Sea Games 2017 dan Asian Games 2018. Pada Kongres PSSI 2017 pun Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi, menargetkan Indonesia juara Sea Games 2017.
Sebenarnya, alangkah lebih baiknya jika Indonesia memiliki target yang lebih besar walau baru bisa diraih tidak dalam waktu dekat. Misalnya mulai membenahi sistem kompetisi U21, salah satunya dengan memberikan hadiah yang cukup besar. Ini dilakukan agar kesebelasan-kesebelasan Indonesia nantinya membentuk skuat U21, bahkan berinvestasi untuk akademi, sehingga bisa melahirkan pemain-pemain muda berbakat, tidak hanya mengurusi pemain senior saja.
Atau juga misalnya Indonesia menyiapkan para pemain usia 15 tahun saat ini agar ketika mereka mencapai usia emas memiliki kualitas dan kemampuan bersepakbola yang bisa bersaing di Asia (bukan lagi Asia Tenggara). Karena, setidaknya bagi saya, pembinaan usia muda baiknya dilakukan sejak dari dasar, usia 15 tahun atau bahkan 13 tahun misalnya, tidak hanya sekadar meraih prestasi instan. Apalagi jika melihat kemampuan dasar para pemain Indonesia yang masih perlu dibenahi, terlihat ketika menghadapi Thailand di final Piala AFF 2016 misalnya.
Dengan berinvestasi banyak pada pemain-pemain muda di bawah 15 tahun, ini sama artinya membangun pondasi bagi sepakbola Indonesia setidaknya untuk 10 atau 15 tahun ke depan. Para pemain ini disiapkan agar dalam 10 hingga 15 tahun ke depan, Indonesia mulai bisa melahirkan pemain-pemain berkualitas, khususnya pada posisi gelandang dan penyerang. Dengan sendirinya pemain asing bukan lagi kebutuhan utama kesebelasan/mendatangkan pemain asing yang benar-benar berkualitas.
Ya, butuh proses, perencanaan, yang dimulai sejak usia dini, untuk bisa meningkatkan kualitas sepakbola Indonesia di masa yang akan datang, bukan hanya sekadar mengincar hasil instan. Rasanya tidak akan masalah jika Indonesia melepaskan Sea Games 2017 dan Asian Games 2018 jika targetnya adalah memiliki pemain berkualitas yang bisa bersaing di Piala Dunia 2026 atau 2030 misalnya. Asalkan program ini benar-benar berjalan dan diaplikasikan dengan baik oleh kesebelasan-kesebelasan di Indonesia.
Hal seperti ini yang dilakukan Jepang. Saat berupaya meningkatkan kualitas sepakbola pada 1992, Jepang justru memiliki rencana 100 tahun untuk memajukan Negara lewat sepakbola. Pada 1992, setelah menaturalisasi pemain tak mengangkat prestasi Jepan, Jepang punya target juara Piala Dunia 2092. Masih amat sangat lama, namun tampaknya mereka berpikir realistis.
Baca juga: Sepakbola Profesional a la Jepang: Mapan Dulu, Jago Belakangan
Salah satu program Jepang dalam memajukan sepakbolanya tersebut adalah setiap kesebelasan wajib mengembangkan klub sepakbola di sekolah-sekolah yang berada di daerah tempat asal kesebelasan tersebut. Ini artinya, Jepang ingin talenta-talenta berbakat mereka sudah mendapatkan penanganan khusus sejak usia 15 tahun (usia SMP) untuk mencapai potensi terbaik mereka di kemudian hari. Karenanya jangan heran scout-scout kesebelasan Eropa sudah mulai beredar pada kejuaraan antar SMA.
Memberdayakan pemain sejak usia 15 tahun, bukan 23 tahun. Memiliki target 100 tahun, bukan satu atau dua tahun saja. Itu bedanya pembinaan sepakbola Jepang dan pembinaan sepakbola Indonesia saat ini.
Baca juga: Semangat Bushido dalam Pelatihan Sepakbola Jepang
PSSI sebenarnya berencana membuat kurikulum untuk SSB (Sekolah Sepak Bola) yang ada di Indonesia, menyeragamkan cara pelatihan pemain-pemain muda Indonesia. PSSI juga mengatakan akan berkiblat pada sepakbola Spanyol, dan dengan cara ini diharapkan Indonesia bisa menemukan Indonesian Way, atau ciri khas permainan Indonesia. Namun program ini tidak dijelaskan secara detil pada Kongres PSSI 2017 kemarin, yang saya hadiri, sehingga masih patut kita nantikan seperti apa lagi rencana PSSI terkait pembinaan usia muda ini.
Jadi, semoga saja saya salah. Semoga PSSI benar-benar memiliki tujuan jangka panjang, bukan semata prestasi instan semata. Juga semoga sepakbola Indonesia bisa maju lebih cepat dengan program PSSI yang sudah disiapkan saat ini. Dan yang terpenting, niatan mulia PSSI ini harus sejalan dan benar-benar dilakukan oleh semua kesebelasan Indonesia, tanpa permisif ketika ada kesebelasan yang melanggar regulasi.
Komentar