Ketika Seorang Suporter (PSIS) Gagal Move On

PanditSharing

by Pandit Sharing 28963

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Ketika Seorang Suporter (PSIS) Gagal Move On

Oleh: Aan Satyo Hantoro

Tugiyo tampak berlari-lari kecil disekitar kotak penalti, posisinya masih fokus pada bola yang dibawa oleh sang kapten Ali Sunan. Benar saja, tidak lama setelah itu umpan silang dilancarkan oleh sang kapten, tepat mendarat di kaki gelandang asing, Ebanda Timothy. Sontekan kecil Ebanda mengelabui libero Persebaya Surabaya, Bejo Sugiantoro. Hingga akhirnya Tugiyo bergerak mencocor bola tersebut masuk ke gawang yang dijaga oleh kiper terbaik nasional saat itu, Hendro Kartiko.

“Gooooolllllll....!!!!!”

Gemuruh ribuan suporter dengan dominasi kaos warna biru, yang selama hampir 90 menit pertandingan menahan nafas, karena tim kesayangannya terus dikurung oleh Bajul Ijo, meledak. Menyambut perayaan gol sang pahlawan, Tugiyo, yang saat itu berlari kearah tribun suporter Semarang adalah teriakan bahagia dan tangis haru yang bercucuran. Kenangan saat para seniornya pada tahun 1987 merebut gelar juara perserikatan kembali hadir. Masa keemasan Ribut Waidi, Ahmad Muhariyah dan kawan-kawan diulangi kembali oleh Tugiyo, Ali Sunan, Agung Setyabudi cs.

Malam itu, 9 April 1999, Stadion Klabat, Manado menjadi saksi sebuah era keemasan klub kebanggaan warga Semarang, PSIS Semarang. Saya? Saat itu nonton bareng bersama ribuan warga Semarang lain di halaman balai kota, bersama Bapak dan beberapa tetangga, juga teman sepermainan, yang memang hampir semua gila bola, persis seperti kebanyakan Warga Negara Indonesia lainnya, yang menganggap sepak bola adalah sebuah hiburan paling cocok, murah dan bergengsi di tengah kondisi ekonomi yang saat itu tengah kacau balau.

Mahesa Jenar (julukan PSIS Semarang) saat itu di bawah komando pelatih kharismatik, Edy Paryono. Di bawah tangan dinginnya, PSIS diubah menjadi kekuatan yang menakutkan. PSIS memang identik sebagai klub yang mempunyai tradisi kuat, layaknya Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, PSM Ujung Pandang maupun PSMS Medan, sehingga kehadirannya di Liga Indonesia V memang cukup diperhitungkan. Materi pemain saat itu juga sangat mumpuni, dengan kombinasi wajah senior dan pemain muda potensial.

I Komang Putra, Agung Setyabudi, Wasis Purwoko, Hadi Surento, Ali Sunan, Imran Amirullah dan Muhammad Sholeh yang termasuk jajaran pemain senior ditopang oleh darah muda macam Tugiyo, Agus Murod, Deftendi Yuniarto, Nova Ariyanto dan Ari Sadewo. Belum lagi militansi dari para pendukung setia mereka, yang rela ngelurug (away) ke mana pun setiap kali PSIS bertanding.

Jangan lupakan, slot pemain asing mereka juga dihuni oleh nama-nama beken zaman itu. Simon Atangana di lini belakang, Ebanda Timothy mengisi sektor gelandang, dan terakhir Ali Shaha Ali sebagai juru gedor, tentu menjadikan kedalaman skuad Mahesa Jenar terjamin.

Entah kenapa setelah keberhasilan tersebut, saya kemudian mencoba menyamakan (bahasa halus untuk men-cocoklogi-kan) deretan pemain-pemain terbaik tersebut dengan bintang sepak bola dunia saat itu. Hadi Surento adalah Teddy Sheringham-nya Semarang. Apa pasal? Minim teknik, minim kecepatan tetapi sangat berkualitas soal penyelesaian akhir dan penempatan posisi, ditambah sedikit keberuntungan yang sering datang kepadanya.

Postur yang tidak terlalu tinggi dari I Komang Putra saya bayangkan mirip dengan kiper legendaris Meksiko saat itu, Jorge Campos, karena kecepatan refleks dan kelihaian IKP dalam membaca pergerakan bola, saya juga belum lupa bahwa loncatan IKP begitu luar biasa untuk seorang yang berpostur ‘hanya’ 172 sentimeter.

Dennis Wise yang saat itu begitu perkasa dan seolah tidak kenal lelah memimpin lini tengah Chelsea sebelum era The Roman Emperor, bagi saya begitu lekat dengan sosok Ali Sunan, mesin penggerak lini tengah yang kebetulan juga kapten di PSIS Semarang.

Bonggo Pribadi, bagi saya adalah seorang Paolo Montero, tanpa kompromi, bertubuh kekar namun cukup cepat dan lugas mengawal lini belakang PSIS Semarang. Andai saja saat itu Lionel Messi sudah setenar sekarang, mungkin Tugiyo adalah “Messi dari Purwodadi”. Tapi tak apalah, toh Tugiyo justru digelari “Maradona dari Purwodadi”, legenda yang lebih dulu membuat begitu banyak pecinta sepak bola kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan kehebatannya.

Begitulah saya meng-andai-kan pahlawan-pahlawan sepakbola Semarang saat itu.

Tidak terasa, sudah hampir 18 tahun momen itu terlewati. Pengorbanan beberapa suporter yang meregang nyawa kala melakoni away di Jakarta, terutama saat babak delapan besar, dibayar kontan dengan gelar juara yang dipersembahkan kepada masyarakat Semarang.

Lalu, dimana PSIS Semarang kini berada?

Bak roller-coaster, prestasi PSIS setalah juara cenderung naik turun. Setelah juara di LI V pada tahun 1999, musim berikutnya mereka langsung meluncur jatuh ke jurang degradasi. Bertahan satu musim di Divisi 1, PSIS Semarang kembali mengukir prestasi pada periode 2005 dan 2006, ketika itu nama-nama beken juga menghiasi skuad Mahesa Jenar macam Emannuel de Porras, Gustavo Hernan Ortiz, Muhammad Ridwan, Maman Abdurachman dan Khusnul Yaqien yang berhasil mengantar PSIS meraih tempat ke-3 di tahun 2005 dan runner-up di tahun berikutnya.

Namun, runner-up pada LI 2006 adalah prestasi terkahir yang sanggup mereka ukir, karena setelahnya, tepatnya di musim 2008/09, PSIS kembali terjun ke Divisi Utama yang levelnya di bawah Liga Super Indonesia sebagai efek perubahan format kompetisi, hingga saat ini.

Jebloknya prestasi PSIS dalam beberapa tahun terakhir diperparah dengan skandal Sepak Bola Gajah, yang dilakukan bersama PSSSleman pada musim 2015/16. Hal yang tentu sangat mencoreng wajah sepakbola Semarang yang saat itu sedang mengembalikan harga diri mereka sebagai salah satu klub besar di Indonesia.

Entah kapan lagi saya berkesempatan untuk men-cocoklogi-kan nama-nama pemain PSIS Semarang dengan bintang-bintang Eropa seperti dulu. Entah kapan euforia mengarak Piala Liga Indonesia kembali saya rasakan. Entah kapan gambar wajah pemain PSIS Semarang yang sedang mengangkat piala kembali beredar di headline media olahraga tanah air. Satu, dua, lima, sepuluh atau bahkan berapa puluh tahun lagi? Tapi satu yang pasti, tagline berikut ini akan selalu tertanam dalam hati saya....

Es Congyang Tiga Rasa, Semarang Bergoyang Pasti Juara

Nb : Congyang adalah minuman keras (jenis fermentasi anggur) khas Semarang

Penulis adalah pekerja lepas yang selalu yakin bahwa Indonesia, PSIS Semarang dan AC Milan akan memenangkan pertandingan setiap kali mereka memulai pertandingan. Bisa dijumpai di akun Facebook Aan Satyo Hantoro atau dihubungi lewat email satyohantoro@gmail.com. Gambar Fitur merupakan hasil jepretan penulis sendiri


Tulisan ini merupakan bagian dari Pesta Bola Indonesia, meramaikan sepakbola Indonesia lewat karya tulis. Isi tulisan dan segala opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar