Oleh: Muhammad Jaka
Sebetulnya saya sempat ragu untuk mempublikasikan tulisan berikut ini, dengan ketakutan bahwa akan muncul tuduhan kampanye atau melanggar masa tenang kampanye pilgub DKI. Tapi, sepertinya segmen pembaca tulisan ini sudah cukup dewasa untuk bisa membedakan tulisan yang bermuatan kampanye dan mana yang bukan dan juga jauh lebih mencintai sepakbola daripada hiruk pikuk politik dengan segala kegaduhannya.
Semua berawal ketika saya mengamati proses kampanye Basuki Tjahaja Purnama (dikenal juga dengan nama Ahok), hingga saat saya mengamati proses hukum yang sedang dia jalani. Entah mengapa, ingatan saya lalu mengasosiasikan Ahok dengan satu figur di sepakbola yang juga kontroversial.
Ya, figur tersebut adalah Jose Mourinho. Kenapa Jose Mourinho? Mourinho juga memiliki aura yang mirip dengan Ahok, mereka berdua sama-sama membelah opini publik dengan sangat bertolak belakang. Yang mendukung, akan mendukung dengan gigih, dan yang berseberangan, juga akan dengan sangat gigih menyuarakan mengapa mereka tidak suka dengan cara-cara yang ditempuh oleh Ahok ataupun Mourinho. Bahkan metode jenjang karier yang mereka pilih pun bisa dibilang agak mirip.
Mourinho di era manajerialnya yang pertama di Chelsea, pernah mengatakan, bahwa bila dia menginginkan pekerjaan yang mudah, lebih baik dia tetap di Porto, dengan kursi biru yang indah, trofi Liga Champions, dan pujaan dari para pendukungnya. Ketika Mourinho selalu memiliki Porto, bagi Ahok, dia akan selalu memiliki Belitung, di mana dia selalu bisa pulang dan hidup tenang di sana.
Ahok dan Mourinho pun memiliki timing yang baik untuk memutuskan kapan akan pindah (baik klub ataupun parpol) atau mencari tantangan baru, suatu hal yang membuat keduanya sering dijuluki sebagai kutu loncat. Ketika Ahok menjadi bupati, ia mencalonkan diri sebagai gubernur, menjadi anggota DPR, mencalonkan diri sebagai wakil gubernur, bahkan saat dia menyatakan keluar dari partai pengusungnya ketika ada perbedaan pendapat terkait RUU Pilkada, itu semua menunjukkan pemilihan timing politik yang tepat, karena semua pilihan tersebut meningkatkan elektabilitasnya.
Demikian halnya dengan Mourinho. Saat dia memutuskan meninggalkan Porto, dia memilih Chelsea yang sedang berbenah dengan pemilik baru jutawan asal Rusia. Ketika dia memilih untuk membesut Inter Milan, dia tahu, bahwa Massimo Morratti sudah amat sangat mendambakan gelar juara Eropa, dan karenanya, Morratti akan menuruti apapun yang Mourinho inginkan. Ini menunjukkan pemilihan timing yang sangat baik. Ketika Ahok tahu bahwa di Gerindra, Prabowo Subianto akan selalu menjadi big boss, Mourinho pun tahu bahwa selama Florentino Perez masih bertahta di Real Madrid, selama itu pula siapapun pelatih yang datang silih berganti akan selalu berada di bawah bayang-bayang Perez.
Mourinho tumbuh di era ketika Portugal sedang dikuasai oleh pemerintahan fasis. Ia hidup nyaman karena pamannya saat itu adalah seorang pengusaha. Mou bersekolah di sekolah swasta, belajar banyak bahasa (yang kemudian menjadi titik tolak kariernya, menjadi penerjemah), tapi semua kenyamanan hidup itu terenggut darinya ketika terjadi revolusi.
Perusahaan milik keluarganya dinasionalisasi, dan keluarganya pun kehilangan banyak hal. Apa pengaruh dari hal ini secara psikologis bagi Mourinho? Ini membuat Mourinho tumbuh menjadi seorang yang paranoid, dan menebalkan prinsip “It’s us or them” yang ia miliki. Ahok juga tampak mengadopsi prinsip “It’s us or them” ini dalam kampanyenya, mungkin karena posisinya sebagai etnis minoritas.
Dalam proses penataan kota, ketika banyak kritikan atas penggusuran demi penggusuran yang Pemprov DKI lakukan, Ahok dengan lantang bersuara bahwa semua itu perlu dilakukan, demi mencapai penataan kota yang baik. Ketika banyak pihak mengatakan bahwa tim besutan Mourinho bermain terlalu defensif, Mourinho akan dengan lantang bersuara bahwa kemenangan adalah yang utama.
Keduanya adalah persona yang sangat mengutamakan hasil. Dan ketika muncul kritikan bahwa Ahok terlalu dekat dengan para pengembang raksasa, Mourinho menikmati hubungan baik dengan Jorge Mendes, salah satu super agent di sepakbola modern. Kedekatan Ahok dengan para pengembang ini kemudian diterjemahkan menjadi CSR dalam proses pembangunan rumah susun maupun RTPRA.
Pun dengan kedekatan Mourinho dengan Mendes memudahkan Mourinho untuk mendapatkan pemain yang juga berada di bawah asuhan Mendes. Mungkin bila ada hal yang membedakan mereka, tampaknya pemanfaatan anggaran adalah salah satunya. Mourinho terkenal sangat royal dalam urusan belanja pemain, sedangkan Ahok mengedepankan citra bahwa ia cermat dan ketat dalam pemanfaatan anggaran.
Ketika banyak orang mengernyitkan dahi dengan pernyataan-pernyataan Ahok yang dianalisa sebagai bunuh diri politik, mungkin orang yang sama akan mengernyitkan dahi juga dengan pernyataan-pernyataan Mourinho di masa lalu yang tampak janggal atau tidak pada tempatnya. Hal ini, secara psikologis, bisa diartikan sebagai upaya untuk menebalkan mentalitas bersama (siege mentality), karena keduanya berfokus untuk merapatkan barisan ke dalam, bagaimana terus memperkuat soliditas internal.
Dalam perspektif sepakbola, Mourinho tidak memerdulikan tanggapan orang atas gaya permainan timnya, atau cara mereka meraih kemenangan, karena baginya, kemenangan itu adalah hal yang utama. Dengan pandangan “It’s us against them”, ia memperkuat soliditas timnya untuk berjuang mencapai tujuan itu.
Dalam perspektif politik, Ahok juga tampak tidak acuh dengan “swing voters” atau bahkan suara pemilih yang sudah jelas-jelas tidak akan memilihnya, dia tampak lebih memilih untuk memperkuat soliditas suara pendukungnya, dengan metode yang sama dengan Mourinho. Metode itu juga membuat para relawan maupun pendukung Ahok semakin gigih memperjuangkan calon pilihan mereka. It’s us against them. Apakah metode ini akan berhasil? Sebagaimana metode itu pernah berhasil bagi Mourinho di masa lalu? Sejarah yang akan membuktikan.
Akhir kata, selamat menikmati pesta demokrasi, manfaatkan hak pilih yang anda miliki, dan saya akan menikmati hari libur yang diberikan.
Penulis adalah seorang Pegawai Dinas Pajak, penikmat sepakbola, pengamat jersey, sekaligus juga seorang Conspiracy Theorist. Biasa berkicau di akun Twitter @jekijack
Tulisan ini merupakan kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi tulisan dan opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.
Komentar