Akademi Dangdut dan Akademi Sepakbola

PanditSharing

by Pandit Sharing 30540

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Akademi Dangdut dan Akademi Sepakbola

Oleh: Barlian Juliantoro

Kalau ada, cari satu untukku

Kalau bisa, kabarkan segera

Pacar Dunia Akhirat – Rita Sugiarto

Akhir-akhir ini, saya sering sekali menonton acara pencarian bakat dengan genre dangdut di salah satu stasiun televisi. Saking seringnya, kalau sudah menyetel televisi, saya akan langsung menyetel acara tersebut. Acara ini disiarkan pada waktu prime time, sehingga menjadi hiburan tersendiri bagi seluruh keluarga apalagi yang baru saja pulang kerja. Kita sebut saja acara tersebut Dangdut Academy.

Acara ini memang dikhususkan untuk menjaring bakat calon penyanyi dangdut terbaik di Indonesia. Dengan sistem audisi se-Indonesia, acara ini memiliki tingkat persaingan yang tinggi sekaligus memiliki daya tarik yang luar biasa bagi seluruh penggemar dangdut di Indonesia.

Para kontestan yang lolos audisi, nantinya akan dibina oleh tim profesional. Tidak hanya itu, komentator dan jurinya pun berasal dari ahli pada bidangnya sehingga menjamin kualitas dari penampilan setiap kontestan. Sebut saja Iis Dahlia, Elvi Sukaesih atau Rita Sugiarto yang saya jadikan kutipan awal pada artikel ini.

Rita Sugiarto adalah salah satu penyanyi dangdut terbaik yang dimiliki oleh Indonesia. Tidak heran, karena memang Rita Sugiarto memiliki kualitas sekelas diva soal kualitas vokal. Walaupun Rita Sugiarto berlatar belakang penyanyi pop, tetapi cengkok dangdutnya sangat paten.

Mengawali karier sebagai tandem Raja Dangdut, Rhoma Irama, Rita Sugiarto menjelma menjadi talenta hebat yang membanggakan. Paling tidak, saya mengetahui kenapa ibu saya menjadi penggemar beratnya. Saya sering terpaksa mendengarkan lagu-lagunya ketika ibu menyetel album Rita Sugiarto sambil bekerja. Entah kenapa, lama-kelamaan saya menikmati alunan musiknya.

Kembali pada acara Dangdut Academy, acara ini memang sangat kompetitif (lupakan soal ribut-ribut antara Dewi Perssik dan Nassar). Dari tiga perhelatan acara ini, tiga besar pemenang bukan berasal dari Ibukota Jakarta. Hal ini membuktikan bahwa peluang juara tidak hanya dimiliki orang-orang yang tinggal di perkotaan saja, tetapi putra daerah memiliki peluang dan kualitas yang sama. Seharusnya Indonesia juga tidak usah khawatir soal masa depan dangdutnya.

***

Melihat kesuksesan dari penyelenggaraan Dangdut Academy, muncul pertanyaan apakah sistem ini bisa diterapkan juga pada sepakbola. Sederhananya, tugas dari acara pencarian bakat yang akan diadakan nanti hanyalah mencari 12 pemain terbaik untuk diproyeksikan menjadi calon-calon penggawa timnas Indonesia. Dengan jumlah 250 juta-an penduduk, Indonesia seharusnya tidak perlu pusing-pusing mencari bibit unggul.

Dengan konsep yang sama, pemain-pemain berbakat ini akan diseleksi dan kemudian diberikan pembinaan dari para profesional. Sebut saja pemain-pemain yang sudah berkaliber timnas atau para pensiunan penggawa timnas. Ada sistem eliminasi bagi pemain yang tidak masuk dalam kualifikasi yang ditetapkan agar suasana kompetitif terbangun. Cukup familiar kah?

Sebenarnya pun ajang pencarian bakat semacam itu pun sudah pernah diselenggarakan oleh Indonesia. Program My Team Indonesia pernah menjadi sebuah asa di tengah gersangnya prestasi timnas Indonesia kala itu. Program yang digawangi oleh legenda timnas seperti Anjas Asmara, Rony Pasla dan Ipong Silalahi ini mampu merebut animo masyarakat ketika proses seleksi awal pembentukan kerangka tim. Sasarannya adalah pemain yang bukan profesional yang bisa mengikuti program ini.

Tercatat 1.500 pendaftar yang mengikuti seleksi. Angka yang cukup banyak untuk penyelenggaraan perdana sebuah ajang pencari bakat berbasis olahraga. Dari sekian banyak pendaftar, akan dijaring 23 nama yang akan dibentuk sebagai tim yang nantikan menjadi perwakilan My Team Indonesia.

Anjas Asmara yang dipercaya sebagai pelatih kepala menegaskan bahwa My Team Indonesia tidak bermaksud untuk menyaingi timnas Indonesia. Justru Anjas Asmara mempunyai harapan bisa menjaring calon pemain timnas yang luput dari penjaringan PSSI sebagai induk sepakbola Indonesia.

Apakah program ini berhasil? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Kalau parameternya adalah mencetak pemain profesional, My Team Indonesia mampu mencetak pemain profesional. Tetapi kalau parameternya adalah seluruh pemain My Team Indonesia menjadi pemain profesional, tentu saja tidak.

Beberapa jebolan My Team Indonesia mampu menembus ketatnya persaingan liga profesional. Sebagai contoh M. Rahmat dan Vydelis Clementer Xilvenos (PSM), Absor Fauzi (Persiba), serta Wirya Kumandra (Jakarta FC) yang kesemuanya berlaga di Liga Primer Indonesia (LPI).

***

Semua mempunyai harapan dan keinginan melihat timnas Indonesia menjadi kampiun sebuah kompetisi. Apalagi mampu berlaga di Piala Dunia. Ya, hanya sekadar berlaga saja sudah membuat rakyat Indonesia senang bukan kepalang. Penampilan Indonesia pada Piala Asia terakhir kali adalah pada tahun 2007, itu pun sebagai tuan rumah.

Yang baru saja selesai, Indonesia berlaga di AFF Cup 2016. Tanpa sekali pun meraih gelar, tetapi melihat Indonesia bisa bermain bola saja, masyarakat sudah bisa bersenang-senang. Ditambah lagi kalau juara, bisa-bisa masyarakat Indonesia bisa bersukacita sepanjang zaman.

Maka dari itu, tugas dari federasi sepakbola Indonesia adalah memastikan kebahagiaan masyarakat dengan cara membuat timnas sepakbola yang kuat dan mampu menjuarai berbagai kompetisi. Terlalu muluk kah? Jelas sangat muluk kalau tidak diimbangi dengan tata kelola organisasi yang baik dan konsep pembinaan yang jelas dari federasi. Federasi sepakbola Indonesia bisa belajar bagaimana seriusnya sepakbola Tiongkok belakangan ini.

Salah satu caranya adalah dengan mendirikan sebuah akademi sepakbola terbesar di dunia di bawah naungan klub Guangzhou Evergrande. Akademi ini didirikan oleh Xu Jiayin, pemilik klub Guangzhou Evergrande. Konstruksi tersebut dikabarkan memakan biaya sedikitnya 48 miliar yuan (4,6 juta poundsterling).

Tujuan mendirikan sebuah akademi sepakbola terbesar ini tak lain karena Tiongkok memiliki jumlah penduduk terbanyak di dunia. Dengan adanya akademi ini, para pesepakbola muda diharapkan bisa mendapatkan fasilitas akademi yang sama sehingga bisa menciptakan talenta-talenta muda berbakat.

Proyek Xu Jiayin ini memiliki lebih dari 50 lapangan sepakbola, sebuah kolam renang standar kolam Olimpiade, sebuah bioskop, dan empat gedung di mana 500 pekerja tinggal di sana. Evergrande menargetkan 10.000 murid yang menimba ilmu sepakbola di tempat ini. Sedangkan saat ini tercatat ‘baru’ memiliki 2.400 murid.

Proyek ambisius yang memang memiliki tujuan jelas. Mempunyai visi ke depan dan bukan hal yang murah untuk mencapainya. Indonesia tidak perlu melakukan hal itu jika tidak mampu. Kenapa tidak melakukan hal yang murah dan bisa dilakukan, membuat ajang pencarian bakat lagi misalnya?

foto: mediadangdut.com

Penulis adalah seorang Altruism Enthusiast dan Footballholic. Biasa berkicau di akun Twitter @barli_toro


Tulisan ini merupakan bagian dari Pesta Bola Indonesia, menyemarakkan sepakbola Indonesia lewat karya tulis. Isi dan opini dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar