Walau Berakhir Tragis, Ranieri Tetaplah Legenda di Leicester

Cerita

by Redaksi 33 43477

Redaksi 33

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Walau Berakhir Tragis, Ranieri Tetaplah Legenda di Leicester

Sebuah kisah kadang tak harus berakhir dengan manis. Dalam beberapa cerita, terkadang sebuah kisah berakhir dengan tragis, yang kelak akan menjadi pelajaran tersendiri yang bisa dipetik bagi khalayak, bahwa kejadian yang sama mungkin terjadi di tempat yang lain. Inilah yang dialami oleh Claudio Ranieri.

Jejak rekamnya sebagai manajer memang tidak terlalu mentereng. Ia terhitung jarang, bukan tidak pernah, memberikan gelar kepada tim-tim papan atas sebuah liga yang pernah ia manajeri. Tercatat hanya Valencia dan Leicester-lah, dua tim yang pernah ia bawa meraih supremasi tertinggi sepakbola di Eropa. Valencia dengan Piala Intertoto dan Piala Super Eropa, serta Leicester City dengan gelar juara Liga Primer-nya.

Terkhusus untuk kisah Ranieri di Leicester, kisah ini adalah kisah yang cukup menarik untuk diguratkan. Kisah yang mungkin terhitung ajaib untuk kembali terulang di dunia sepakbola profesional masa kini.

Gelar Juara, Awal Dari Sebuah Legenda dan Kejatuhan

Awal musim 2015/2016, sama sekali tidak ada yang menyangka bahwa The Foxes, julukan Leicester City, akan menjadi juara Liga Primer. Bursa juara masih diisi oleh nama-nama beken Liga Primer macam Chelsea, Manchester United, Manchester City, Arsenal, dan Liverpool. Sama sekali tidak ada nama Leicester di situ. Bahkan sebuah rumah judi bernama Ladbrokes memasang taruhan 5000/1 untuk Leicester City.

Sebuah angka taruhan yang mungkin rasional bagi tim yang pada musim sebelumnya masih berkutat di zona degradasi. Di situlah, masuk Claudio Ranieri yang membawa keajaiban untuk Leicester. Berbekal pemain-pemain yang sebenarnya belum dikenal dan juga banyak dianggap sebagai pemain medioker, Leicester hadir memberikan kejutan.

Di tengah melempemnya tim-tim papan atas, serta penampilan yang konsisten dalam setiap pertandingan, The Tinkerman berhasil membawa Leicester menjadi juara Liga Primer 2015/2016. Keajaiban pun terjadi. Inggris dan Eropa menjadi riuh karena ada tim antah-berantah, tim yang hanya memiliki angka taruhan 5000/1, yang menjadi juara Liga Primer. Leicester berpesta. Masyarakat mengelu-elukan sebuah tim yang tadinya bukan apa-apa, tiba-tiba menjadi sesuatu yang dikenal luas.

Sebuah legenda tercipta di Leicester. Legenda yang menceritakan tentang sebuah tim yang diasuh oleh allenatore asal Italia yang menjadi juara Liga Primer. Legenda, yang jika dilihat dari sisi yang lain, menjadi awal dari kejatuhan itu sendiri.

Musim 2016/2017 dan Kejatuhan yang Sudah Tampak di Depan Mata

Usai sudah pesta-pesta perayaan juara tersebut. Tantangan baru pun hadir di depan mata, yaitu tantangan untuk mempertahankan gelar juara yang telah didapat. Mempertahankan lebih jauh daripada meraih, dan pepatah yang sudah diketahui luas itu pun menjadi kenyataan bagi The Foxes pada musim 2016/2017. Kejatuhan itu sudah mulai tampak bagi Claudio Ranieri.

Sejak masa pramusim, Ranieri sudah mengeluhkan tentang attitude dari para pemainnya yang seperti terlena dengan gelar juara yang sudah diraih. Dibandingkan dengan berlatih serius ketika menjalani masa pramusim di Los Angeles, Amerika Serikat, para pemain Leicester malah berasyik ria menikmati gemerlap kota Los Angeles dan berfoto dengan artis Amerika Will Ferrell. Hal ini pun mengundang kekesalan di dalam diri Ranieri.

Bukan hanya itu saja. Dua hari jelang laga Community Shield menghadapi Manchester United, para pemain malah kepalang senang diberikan mobil Azure Blue 19 oleh pemilik Leicester, Vichai Srivaddhanaprabha. Ranieri pun geleng-geleng kepala, karena ia tahu hal-hal semacam itu akan mengganggu fokus pemain.

Benar saja. Dalam ajang pramusim Leicester malah sempat takluk 4-0 dari PSG. Dalam ajang Community Shield pun, mereka tak berdaya menghadapi Manchester United dengan Zlatan Ibrahimovic-nya dan kalah dengan skor 1-2.

Namun, Ranieri tak kuasa untuk membawa anak asuhnya kembali fokus pada tantangan yang akan mereka hadapi. Apa-apa yang terjadi selama pramusim seolah menjadi prekuel untuk sebuah kisah lanjutan dari 2016/2017 yang akan berakhir sedih.

Benar saja, Leicester pun menjalani musim 2016/2017 dengan kegoyahan luar biasa. Hasil negatif datang bertubi-tubi menghampiri The Foxes sejak dari awal musim. Ancaman degradasi semakin tampak nyata, dan selepas tahun baru 2017, ancaman itu semakin terasa dekat untuk Leicester.

Orang-orang pun saling melakukan analisis untuk mengamati apa yang terjadi di tubuh Leicester pada musim 2016/2017. Hasil-hasil analisis itu pun bermunculan. Mulai dari hengkangnya N`Golo Kante, menurunnya penampilan Riyad Mahrez dan Jamie Vardy, kebijakan transfer yang tidak becus dari manajemen, dan sebagainya.

N`Golo Kante, pemain yang dianggap meninggalkan lubang yang begitu besar di tubuh Leicester

Tapi, satu hal yang bisa dilihat dari semua hasil analisis tersebut, adalah mulai menurunnya semangat para pemain Leicester untuk mempertahankan apa yang sudah mereka raih musim lalu. Ranieri sebenarnya sudah bisa melihat hal ini, tapi ia tak kuasa untuk menarik para pemainnya untuk kembali sama seperti musim lalu. Bukan hanya para pemain yang gagal, Ranieri pun sudah gagal untuk kembali mendapatkan kepercayaan, baik dari para pemain maupun manajemen.

Per akhir Februari 2017, Ranieri meninggalkan Leicester City, ketika The Foxes berada di urutan ke-17 klasemen Liga Primer dengan raihan 21 poin dari 25 pertandingan yang sudah dijalani dan masih bertarung di babak 16 besar Liga Champions 2016/2017.

***

Selayaknya plot-plot dalam teks naratif, Ranieri sudah mengalami titik orientation dan complication-nya bersama Leicester City pada musim 2015/2016. Dari mulai tidak dikenal, menjadi juara, sampai akhirnya mencapai titik resolution-nya sekarang dengan menjadi sebuah legenda, bersama cerita juara yang mungkin hanya tinggal kenangan. Mark Ogden, penulis sepakbola senior di ESPN FC, bahkan sampai menyebut bahwa Ranieri adalah tumbal supaya Leicester selamat dari jerat degradasi musim 2016/2017.

Sekarang, kisah Ranieri ini sudah selesai bersama Leicester. Walau kisahnya ini berakhir tragis, setidaknya para pendukung Leicester akan mengenangnya sebagai seorang legenda. Legenda yang pernah membuat angka taruhan 5000/1 menjadi nyata, juga legenda yang membawa The Foxes manggung di kompetisi Eropa serta memberikan pelajaran kepada khalayak, bahwa apapun bisa terjadi di sepakbola.

Sumber lain: ESPN FC

foto: @IndyFootball

Komentar